Blogger Kalteng

TOKSIKOMETRIK


TOKSIKOMETRIK


PENDAHULUAN
Sifat spesifik dan efek suatu paparan secara bersama-sama akan membentuk suatu hubungan yang lazim disebut sebagai hubungan dosis-respon. Hubungan dosis-respon tersebut merupakan konsep dasar dari toksikologi untuk mempelajari bahan toksik.
Penggunaan hubungan dosis-respon dalam toksikologi harus memperhatikan beberapa asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut adalah:
Ø Respon bergantung pada cara masuk bahan dan respon berhubungan dengan dosis.
Ø Adanya molekul atau reseptor pada tempat bersama bahan kimia berinteraksi dan menghasilkan suatu respon
Ø Respon yang dihasilkan dan tingkat respon berhubungan dengan kadar agen pada daerah yang reaktif
Ø Kadar pada tempat tersebut berhubungan dengan dosis yang masuk

Dari asumsi tersebut dapat digambarkan suatu grafik atau kurva hubungan dosis-respon yang memberikan asumsi
(1) respon merupakan fungsi kadar pada tempat tersebut
(2) kadar pada tempat tersebut merupakan fungsi dari dosis
(3) dosis dan respon merupakan hubungan kausal
Pada kurva dosis-respon nampak informasi beberapa hubungan antara jumlah zat kimia sebagai dosis, organisme yang mendapat perlakuan dan setiap efek yang disebabkan oleh dosis tersebut. Toksikometrik merupakan istilah teknis untuk studi dosis-respon, yang dimaksudkan untuk mengkuantifikasi dosis-respon sebagai dasar ilmu toksikologi. Hasil akhir yang dihasilkan dari jenis studi ini adalah nilai Lethal Dose 50 (LD50) untuk zat kimia.

HUBUNGAN DOSIS-RESPON (DOSE RESPONSE RELATIONSHIP)
Penyelidikan hubungan antara dosis atau konsentrasi dan kerja suatu bahan kimia dapat dilakukan dengan dua cara:
1)  Menguji frekuensi efek yang timbul pada satu kelompok objek percobaan dengan mengubah-ubah dosis (hubungan dosis-reaksi=dose-respons relationship), atau
2) Mengubah-ubah dosis, kemudian mengukur intensitas kerja pada satu objek percobaan (hubungan dosis-kerja=dose-effect relationship).
Pada cara yang pertama, jumlah objek percobaan yang menunjukkan efek tertentu akan bertambah sampai maksimum, sedangkan pada cara yang kedua, intensitas efek yang bertambah.

Perilaku efek suatu bahan kimia digambarkan sebagai peningkatan dosis akan meningkatkan efek sampai efek maksimal tercapai. Hubungan dosis-respon biasanya berciri kuantitatif dan hal tersebut yang membedakan dengan paparan di alam dimana kita hanya mendapatkan kemungkinan perkiraan dosis. Suatu respon dari adanya paparan dapat berupa respon respon yang mematikan (lethal response) dan respon yang tidak mematikan (non-lethal response). Bahan kimia dengan tingkat toksisitas rendah memerluikan dosis besar untuk menghasilkan efek keracunan dan bahan kimia yang sangat toksik biasanya memerlukan dosis kecil untuk menghasilkan efek keracunan.

a. Hubungan Dosis-Reaksi
Karakteristik paparan dan efek bersama-sama yang membentuk suatu hubungan korelasi sering disebut sebagai hubungan dosis-respon. Hubungan dosis-respon merupakan konsep dasar dalam toksikologi. Pengertian dosis respon dalam toksikologi adalah proporsi dari sebuah populasi yang terpapar dengan suatu bahan dan akan mengalami respon spesifik pada dosis, interval waktu dan pemaparan tertentu.

Hubungan dosis reaksi menentukan berapa persen dari suatu populasi (misalnya, sekelompok hewan percobaan) memberikan efek/reaksi tertentu terhadap dosis tertentu dari suatu zat. Hasilnya dapat digambarkan dalam diagram antara dosis dan jumlah individu dalam kelompok yang menunjukkan efek yang diinginkan. Banyaknya individu yang menunjukkan efek ini dengan demikian merupakan fungsi dosis. Pada kurva dengan gambar secara linier terhadap dosis, maka dosis yang menyebabkan 50 % individu memberikan reaksi, digunakan sebagai besaran bagi aktivitas (ED50) atau letalitas/kematian (LD50) dari senyawa yang diperiksa.

b.  Hubungan Dosis-Kerja
Ciri kurva dosis-kerja biasanya dijelaskan berdasarkan interaksi antara bahan kimia dan tempat kerja sesungguhnya yaitu reseptor. Besarnya efek tergantung pada konsentrasi/dosis zat, juga dari tetapan  kesetimbangan atau tetapan afinitas yaitu parameter yang menentukan kecenderungan bahan kimia untuk bereaksi dengan reseptor.

Kurva dosis-kerja dapat juga ditinjau sebagai kurva dosis-reaksi untuk suatu populasi dari satuan efektor, tiap efektor akan bereaksi menurut hukum ‘semua atau tak satupun’ (all or none). Implikasinya adalah bahwa reaksi suatu efektor merupakan andil tertentu bagi efek keseluruhan. Kurva dosis-kerja dengan demikian menggambarkan peranan setiap efek tersebut secara kumulatif. Dosis, yang menyebabkan efektor memberi reaksi akan tersebar di sekitar dosis yang menyebabkan 50% satuan efektor bereaksi. Jika 50 % dari satuan efektor memberikan reaksi maka akan timbul efek yang merupakan 50 % efek maksimum yang mungkin dapat dicapai oleh senyawa tersebut.

Pada kurva dosis-kerja, dapat dibedakan dua parameter: (1) afinitas, dan (2) aktivitas instrinsik. Pada prinsipnya sebuah zat harus mempunyai afinitas terhadap resepor khas agar dapat menimbulkan efek tertentu. Afinitas dapat ditentukan dari dosis yang dibutuhkan untuk mencapai efek tertentu misalnya 50 % efek maksimum. Kalau dosis tinggi, berarti afinitas rendah, kalau dosis kecil, berarti afinitas besar.

Disamping afinitas, suatu zat dapat mempunuyai kemampuan untuk menyebabkan perubahan di dalam molekul reseptor dan melalui beberapa tingkat reaksi berikutnya baru kemudian dicapai efek sesungguhnya. Sifat ini disebut aktivitas intrinsik senyawa bersangkutan. Hal ini menentukan besarnya efek maksimun yang dapat dicapai oleh senyawa tersebut.

Banyak bahan kimia memiliki afinitas terhadap reseptor khas akan tetapi tidak mempunyai aktivitas intrinsik. Zat ini disebut antagonis kompetitif, dapat bereaksi dengan reseptor akan tetapi tidak menimbulkan efek. Tetapi senyawa ini mampu bersama pada tempat kerja dengan zat yang mempunyai baik afinitas maupun aktivitas instrinsik.

c.   Hubungan Waktu-Kerja
Jika eksposisi suatu zat hanya terjadi satu kali, seperti pada keracunan akut, mula-mula efek akan naik tergantung pada laju absorpsi dan kemudian efek akan turun tergantung pada laju eliminasi. Di bawah konsentrasi plasma tertentu disebut konsentrasi sub-efektif atau subtoksik, sedangkan mulai dari konsentrasi tersebut dinamakan konsentrasi efektif/toksik.

Dengan demikian pada prinsipnya ada tiga cara untuk mencegah atau menekan efek toksik, yaitu:
1)  Memperkecil absorpsi atau laju absorpsi, sehingga konsentrasi plasma tetap berada di bawah daerah toksik. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan adsorbensia, misalnya karbon aktif, dengan pembilasan lambung atau dengan mempercepat pengosongan lambung-usus dengan laksansia garam. Hal ini akan mengubah fase eksposisi.
2) Meningkatkan eliminasi zat toksik dan/atau pembentukan suatu kompleks yang tak aktif. Eliminasi dapat ditingkatkan dengan mengubah pH urin, misalnya dengan pembasaan urin dan diuresis paksa pada keracunan barbiturat, sedangkan pembentukan khelat dipakai untuk inaktivasi ion logam yang toksik. Hal ini akan mengubah fase toksokinetik.
3) Memperkecil kepekaan objek biologik terhadap efek. Dalam hal ini konsentrasi plasma tak dipengaruhi, akan tetapi batas kritis konsentrasi toksik minimum ditinggikan. Hampir semua bentuk penanganan keracunan secara simptomatik berdasarkan prinsip ini.

PENGERTIAN LETHAL DOSE50
Salah satu cara untuk lebih memudahkan pengertian hubungan dosis respon adalah menggunakan LD50. Istilah LD50 pertama kali diperkenalkan sebagai indeks oleh Trevan pada tahun 1927. Pengertian LD50 secara statistik merupakan dosis tunggal derivat suatu bahan tertentu pada uji toksisitas yang pada kondisi tertentu pula dapat menyebabkan kematian 50% dari populasi uji (hewan percobaan).

Sebagai contoh: ditemukan suatu senyawa kimia baru dan untuk mengetahui efek toksiknya digunakan LD50. Jumlah hewan percobaan paling sedikit 10 ekor untuk tiap dosis dengan rentang dosis yang masuk paling sedikit 3 (dari 0 – 100 satuan). Hubungan dosis dan respon dituangkan dalam bentuk kurva dimana kurvanya sudah tipikal sigmoid.

Semakin banyak jumlah hewan uji dan rentang dosisnya, kurva sigmoid akan lebih teramati. Dosis yang terendah menyebabkan kematian hewan uji sebesar 1%. Kurva sigmoid distribusi normal seperti ini menunjukkan respon 0% pada dosis yang rendah dan respon sebesar 100% pada dosis yang meningkat tetapi respon tersebut tidak akan melebihi rentang 0 – 100 %.

Bagaimanapun juga setiap bahan kimia mempunyai threshold dose yang tidak sama. Threshold dose adalah suatu dosis minimal yang merupakan dosis efektif dimana dengan dosis yang minimal tersebut individu sudah dapat memberikan atau menunjukkan responnya, sehingga untuk tiap individu threshold dose inipun berbeda.

a. Lethal Dose50 (LD50)
Suatu dosis efektif untuk 50% hewan digunakan karena arah kisaran nilai pada titik tersebut paling menyempit dibanding dengan titik-titik ekstrim dari kurva dosis-respon. Pada kurva normal sebanyak 68% dari populasi berada dalam plus-minus nilai 50%.

b. Lethal Concentration50 (LC50)
Suatu variasi dari LD50 adalah LC50 yaitu konsentrasi bahan yang menyebabkan kematian 50% organisme yang terpapar. Parameter ini sering digunakan jika suatu organisme dipaparkan terhadap konsentrasi bahan tertentu dalam air atau udara yang dosisnya tidak diketahui. Dalam hal ini waktu pemaparan dan konsentrasi harus dinyatakan dengan jelas.

c.   Aplikasi Hubungan Dosis-Respon
TD = Toxic Dose, adalah dosis tertentu yang sudah dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. ED = Effective Dose, adalah dosis tertentu yang mempunyai efek yang ringan namun efektif terhadap jaringan tubuh. Nilai LD50 tidaklah ekuivalen dengan toksisitas tetapi nilai ini dapat diinterpretasikan ke dalam nilai TD da ED.

Toxic Dose (TD) adalah merupakan dosis dari suatu bahan yang dipaparkan pada suatu populasi dan pada tingkat dosis tertentu sudah dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan tubuh hewan percobaan. Effective Dose (ED) adalah merupakan dosis dari suatu bahan dan pada tingkat dosis tersebut sudah dapat menimbulkan efek biologis yang ringan untuk pertama kalinya pada hewan percobaan.

Aplikasi lebih lanjut dari TD dan ED adalah untuk menentukan therapeutic index yaitu tingkat keamanan suatu bahan/obat yang diekpresikan melalui perbandingan antara LD50 dengan ED50.

Selain itu aplikasi dari LD dan ED adalah untuk menentukan margin of safety (MS) yaitu rasio antara LD1 dengan ED99.


PRINSIP DOSIS-RESPON DALAM LINGKUNGAN
Dalam praktik sangat sulit untuk mengkuantifikasi dosis dan menentukan kapan saat berhubungan dengan spesies bukan manusia, bahkan tidak mudah untuk menjelaskan efek suatu zat toksik terhadp suatu makhluk hidup. Jika zat toksik terlepas ke dalam lingkungan, sulit untuk dipastikan apakah hal tersebut telah mempengaruhi spesies tertentu.

Banyak proses lingkungan yang beraksi mengubah zat kimia menjadi senyawa lainnya. Senyawa tersebut kemudian berperan menjadi zat kimia yang sebenarnya mempengaruhi lingkungan atau organisme.

Hubungan dosis-respon sangat penting dalam terjadinya keracunan. Kerusakan pada bagian organisme dapat dikontrol dengan cara diabsorpsinya toksikan oleh mikroorganisme, degradasi, dan eliminasi toksikan. Semua organisme yang berada di sekitar bahan kimia alami maupun buatan akan mengalami keracunan apabila terpapar secara berlebihan. Adalah penting mengetahui posisi bahan kimia di udara, air, dan tanah.

NILAI AMBANG BATAS (NAB) BAHAN TOKSIK
Penetapan secara akurat nilai ambang batas dengan tanpa memberikan suatu efek, tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
• Ukuran sampel dan replikasi (pengulangan) pengambilan sampel
• Jumlah endpoint (titik akhir) yang diamati
• Jumlah dosis atau konsentrasi bahan toksik
• Kemampuan untuk mengukur endpoint
• Keragaman intrinsik dari endpoint dalam populasi binantang percobaan
• Metode statistik yang digunakan

RESEPTOR
Telah lama diamati bahwa sejumlah racun menimbulkan efek biologis yang khas. Konsep zat “reseptor” sebagai tempat kerja zat kimia, pertama kali dikemukakan oleh John N. Langley. Dia mengamati bahwa efek nikotin dan kurare pada otot rangka tidak berubah setelah saraf yang mengurus otot tersebut mengalami degenerasi; hal ini menunjukkan tidak terlibatnya ujung saraf seperti yang diyakini sebelumnya. Selain itu, kontraksi otot yang diinduksi oleh rangsangan langsung tidak dipengaruhi oleh zat kimia tersebut. Berdasarkan penelitian ini, disimpulkan bahwa “racun tidak berpengaruh pada protein kontraktil dalam otot, melainkan pada zat-zat lain di otot yang dapat disebut “zat reseptor”.

Reseptor berfungsi sebagai tempat sistem biologi yang dapat mengenali berbagai zat yang mempunyai sifat kimia khusus dan setelah berikatan dengan senyawa tertentu, memulai efek biologi tertentu. Konsep reseptor sangat berguna dalam meningkatkan pengertian mengenai efek biokimia, fisiologi, dan farmakologi tertentu, serta berguna untuk pembuatan obat baru.

Ada banyak contoh efek toksik zat kimia yang bekerja melalui perantaraan reseptor yang berperan dalam fungsi fisiologis. Jadi, suatu agonis dapat menyebabkan efek toksik karena sulit terlepas dari reseptor, dan dengan demikian menghalangi kerja pembawa pesan. Suatu antagonis dapat bersaing dengan pembawa pesan dalam menduduki tempat pada reseptor sehingga menghalangi kerja pembawa pesan ini. Selain itu, suatu toksikan dapat menyebabkan toleransi terhadap toksisitasnya dengan mengurangi jumlah reseptor.

REFERENSI
·      Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

·      E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar. Terjemahan oleh Yoke R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

·      Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Terjemahan oleh Edi Nugroho. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

·      H.J. Mukono. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.

·      J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post