Blogger Kalteng

BANI UMAYYAH, BANI ABASSIYAH, DAN TURKI USMANI (Ketatanegaraan dalam Islam)


MAKALAH
FIQH SIYASAH
Dosen mata kuliah : Sanawiyah, M. HI.


BANI UMAYYAH, BANI ABASSIYAH, DAN TURKI USMANI
(Ketatanegaraan dalam Islam)


Disusun oleh :
YANDI NOVIA
NIM. 10.41.11884



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH  PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
TAHUN 2012       


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Islam adalah agama yang penuh dengan aturan. Baik dalam hal hubungan dengan Allah SWT., maupun dengan sesama manusia. Hubungan dengan sesama ini mencakup dalam beberapa aspek kehidupan diantaranya tata negara atau pemerintahan. Tata negara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan  seperangkat prinsip dasar yang mencakupi peraturan susunan pemerintahan, bentuk negara dan sebagainya yang menjadi dasar pengaturan suatu negara. Berangkat dari pengertian ini dan dengan mengacu pada aspek pembahasan, maka dalam makalah ini akan di jelaskan bagaimana tata aturan pemerintahan dalam Islam pada masa Dinasti Umayyah, Dinasti Abassiyah, dan Turki Utsmani.

B.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah tata negara dan pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah, Dinasti Abassiyah, dan Turki Utsmani?
2.      Bagaimanakah pemikiran dan analisa serta gambaran secara umum tentang ketatanegaraan dan kekuasaan pemerintah dari ketiga periode tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN
1.             Masa Pemerintahan Dinasti Umayyah
Setelah goncatan perang dan umat di masa pemerintahan Dinasti Umayyah mulai meredam, maka Umayyah mulai menata politik dan pemerintahan. Perubahan politik yang dilakukan Muawiyah adalah memindahkan ibu kota Negara ke Damaskus. Perubahan lain yang dilakukan Muawiyah adalah mengganti sistem pemerintahan yang bercorak syura dengan pemilihan kepala Negara secara penunjukan.
Selain itu, Bani Umayyah juga melakukan berbagai penyempurnaan di bidang administrasi Negara (birokrasi), perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima dapartemen, yaitu Diwan al-Jund (militer), Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan), Diwan al-Rasa'il (surat menyurat), Diwan al-Khatam (arsip dan dokumentasi negara) dan Diwan Al-Barid (pelayanan pos dan registrasi penduduk).
Dalam pemerintahan daerah, wilayah kekuasaan Bani Umayyah dibagi menjadi lima propinsi besar, yaitu:
a.       Hijaz ,Yaman dan Arabia
b.      Mesir bagian utara dan selatan
c.       Irak dan Persia
d.      Mesopotamia, Azebaizan dan Armenia
e.       Afrika Utara, Spanyol dan Prancis bagian selatan
Tiap-tiap propinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bertugas menjalankan administrasi politik dan militer untuk wilayah masing-masing. Dalam bidang birokrasi, bani Umaiyah mempelopori pembentukan pengawal pribadi khalifah (hajib). Struktur pemerintahan pusat terdiri dari 5 depatemen yakni militer, perpajakan dan keuangan, surat menyurat, arsip dan dokumentasi Negara serta layanan pos dan registrasi penduduk. Masing-masing departemen dipimpin oleh seorang sekretaris (katib).
Dalam perekonomian dan peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerintahan bani Umayyah mencatat perkembangan yang pesat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), alat tukar mata uang Bizantium dan Persia yang terjadi sebelumnya diganti dengan mata uang yang dicetak sendiri dan memakai bahasa Arab.  
Untuk mensejahterakan penduduk, bani Umaiyah memberikan tunjangan yang besar yang disesuaikan menurut jasa masyarakat. Kekuasaan bani Umaiyah runtuh setelah berjaya hampir seratus tahun. Adapun faktor internal penyebabnya antara lain
a.       Bani Umaiyah yang memisahkan kekuasaan agama dan politik.
Pada masa pemerintahannya, bani Umaiyah menetapkan Platform sebagai negara sekuler. Hal ini menimbulkan ketidak senangan dikalangan rakyat.
b.      System suksesi berdasarkan warisan.
Dengan system ini tidak ada kesempatan bagi masyarakat menilai kualifikasi pemimpin mereka.
c.       Politik diskriminatif kerajaan terhadap non-Arab
2.             Masa Pemerintahan Dinasti Abassiyah
Kebijakan terpenting yang dilakukan Khalifah Dinasti Bani Abbas yaitu al-Manshsur adalah memindahkan Ibu Kota pemerintahan ke Baghdad pada tahun762 M. Ada beberapa hal penting yang dilakukan oleh khalifah-khalifah Bani Abbas dalam menjalankan pemerintahan. Bani Abbas mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek, yaitu:
1.    Aspek Khilafah
Bani Abbas memepersatukan kekuasaan agam dan politik. Khalifah memerintah berdasarkan mandate dari Tuhan dan bukan pilihan rakyat. Oleh karena itu kekuasaannya adalah suci dan mutlak harus dipatuhi oleh umat. Menurut prinsip ini kekuasaan khalifah bersifat absolut dan tidak boleh digantikan samapi meninggal.
2.    Aspek Wizarah
Wizarah adalah salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas kepala negara, sedangkan wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas kenegaraan.
3.    Aspek Hijabah
Hijab adalah penghalang, dan hajib (petugas) hijab berarti pengawal khalifah yang bertugas menghalangi dan membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu khalifah.
4.     Aspek Kitabah
Membentuk jabatan katib untuk mengkordinir masing-masing departemen dalam membantu pemerintahan wazir. Katib bertugas mengawasi administrasi departemen dan menjalankannya sesuai petunjuk khalifah dan wazir.
Selain empat aspek tersebut diatas, untuk urusan daerah (propinsi), Khalifah Bani Abbas mengangkat kepala daerah ( Amir ) sebagai pembantu mereka. Ketika Khalifah masih kuat, sistem pemerintahan ini bersifat sentralistik. Namun setelah kekuasaan pusat lemah, masing-masing Amir berkuasa penuh mengatur pemerintahannya sendiri. Sampai pada akhirnya banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Pada masa al-Saffah daerah kekuasaan bani Abbas terbagi menjadi dua belas propinsi.
Seperti halnya masa Bani Umayyah, kekuasaan yudikatif dibagi ke bidang hisbah, al-Qadha ' dan al-Mazhalim . Tugas dan kewenangan mereka juga tidak berbeda dengan waktu yang sebelumnya namun selain tiga bidang tersebut, Bani Abbas juga membentuk lembaga peradilan militer.
Dalam perekonomian, sumber pendapatan terbesar Negara berasal dari pajak Negara. Selain pajak, sumber devisa Negara lainnya adalah pada pertanian, perdagangan dan industri. Setelah mengalami kemajuan tersebut, lambat laun pemerintah bani Abbas pun mengalami kemunduran dan kelemahan, sampai akhirnya pada 1258 M, Daulat ini hancur diserang oleh tentara Mongol dibawah pimpinan Hulaghu Khan.
3.             Ketatanegaraan Pada Masa Turki Usmani
Dinasti ini didirikan oleh suku nomad Kayi yang dipimpin Sulaiman Syah yang menyelamatkan diri dari serangan mongol. Mereka membantu Sultan Alaiddin dari Saljuk dalam memerangi tentara Romawi. Akibat diserang bangsa mongol, kerajaan ini menjadi terpecah-pecah. Hal ini dimanfaatkan oleh Usman untuk membentuk pemerintahan yang baru.
Dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, penguasa imperium Usmani bergelar Sultan dan khalifah sekaligus. Sultan untuk masalah duniawi dan khalifah untuk masalah keagamaan. Kebijakan yang diambil negara terlebih dahulu didiskusikan dan dibicarakan dalam lembaga Divan-I Humayun. Lembaga ini adalah pusat organisasi pemerintahalam masalah keagamaan, usman dibantu oleh para mufti dan Kadi. Mufti sebagai penafsir hukum dan kadi pelaksaannya. Sultan berhak membuat undang-undang sendiri. Peraturan yang dibuat Sultan dinamakan Kanun yang memiliki tiga kategori, yakni sifatnya khusus pada topik tertentu, mengacu pada wilayah tertentu dan secara umum diterapkan dalam kerajaan.
Dalam sitem pemerintahan didaerah Sultan dibantu kadi dan Bey. Bey adalah gubernur yang berasal dari militer dan menjadi wakil sultan dalam bidang eksekutif. Selama periode 1808, terjadi berbagai pembaruan dalam kerajaan Usmani. Pada masa Mahmud II dikembangkan demokrasi yang melanggar tradisi aristokrasi dan monarki. Usaha Mahmud II memasukkan pengaruhnya dilanjutkan oleh gerakan Tanzhimat mendapat perhatian dari Mustafa Kemal. Kemal yang menjadi pelopor berdirinya negara Turki modern dan berakhirlah kekuasaan kekhalifaan Islam.
4.             Pemikiran dan Analisa serta Gambaran secara Umum Tentang ketatanegaraan dan Kekuasaan Pemerintah
a)        Badan Eksekutif
Dalam konsep eksekutif, bahwa umat haruslah menyerahkan segala urusan umum kepada khalifah. Oleh karena itu ada dua kewajiban pokok seorang khalifah: menegakkan Islam dan mengurus urusan Negara dalam batas-batas garis ajaran Islam.
Yang dimaksudkan mengurus Negara dalam batas-batas garis ajaran Islam antara lain,  keharusan menjalankan prinsip ketatanegaraan Islam, seperti prinsip musyawarah yang tercermin dari terbentuknya ahl halli wa al-aqdi, prinsip keadilan dan kepastian hukum yang tercermin dalam lembaga peradilan. Sepuluh macam tugas pokok seorang khalifah:
1.        Menjaga agama sesuai dengan ajaran dasar yang pasti dan ajaran-ajaran yang telah ijma’ salaf ummat;
2.        Menjalankan hukum antara mereka yang berselisih dan menghentikan permusuhan antara mereka yang bertengkar sehingga keadilan merata;
3.        Menjaga keamana umum agar manusia bebas berusaha bebas mencari penghidupan dan dapat melakukan perjalanan dengan aman, tidak terancam jiwa dan hartanya
4.        Menegakkan hukum pidana hudud
5.        Memperkuat ketahanan Negara dengan kelengkapan dan kekuatan
6.        Berjihad melawan musuh-mush Islam setelah dilakukan dakwah
7.        Mengumpulkan harta, pajak, dan sedekah yang telah ditetapkan oleh syara’
8.        Menetapkan uang keluar dari kas Negara (menetapkan APBN)
9.        Mengangkat orang-orang yang dipercaya dan jujur untuk memangku jabatan yang ada hubungannya dengan keuangan Negara
10.    Mengendalikan langsung dan memeriksa urusan-urusan pemerintahan dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan Negara.
b)        Badan Ahlul Ikhtiar (Legislative)
Dalam ketatanegaraan Islam, badan legislatife ini mulai dikenal pada masa Daulah Bani Umayyah. Ia disebut dengan sebutan Ahl Halli Wa Al-Aqdi. Badan ini bertugas menyampaikan aspirasi rakyat kepada kepala Negara dan juga ia berfungsi memilih seorang khalifah. Dan yang paling penting peraturan perundang-undangan lahir atas kerja sama seorang khalifah dengan lembaga ini.
Kenapa lembaga ini disebut dengan ahl ikhtiyar, karena lembaga ini bertugas memilih seorang khalifah. Pada hakikatnya banyak terjadi perbedaan pendapat mengenai penyebutan lain dari lembaga ini, seperti halnya al-Baghdadi menyebut lembaga ini dengan sebutan ahl ijtihad karena tugasnya menetapkan hukum, Ibnu Taimiyah menyebutnya dengan sebutan ahl asy-syaukah, sedangkan ulama’ lain menyebutnya dengan ahl syura.
Ahl halli wa al-aqdi ini lebih popular dengan sebutan ahl syura karena lembaga ini sebagai lembaga yang mencerminkan prinsip musyawarah dalam ketatanegaraan Islam. Keberadaan ahl halli wa al-aqdi ini secara yuridis tidak dijumpai didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Namun secara historis lembaga ini mengacu pada peristiwa pengangkatan Usman bin Affan melalui mekanisme musyawarah yang dilakukan oleh enam sahabat senior atas intruksi khlaifah Umar ibn Khattab.
Berangkat dari praktek yang dilakukan oleh khulafa’ ar-rasyidun ini, para ulama’ siyasah menyebut dan merumuskan pandangannya perihal Ahl halli wa al-aqdi. Al-Mawardi berpendapat Ahl halli wa al-aqdi ini sebagai representatife perwakilan umat. Oleh karena itu ia memberikan syarat yang mutlak terhadap mereka yang menjadi anggota Ahl halli wa al-aqdi, yaitu adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala Negara yang akan dipilih, dan mempunyai kebijakan serta wawasan yang luas sehingga ia tidak salah dalam memilih seorang kepala Negara.
Namun tidak ada penjelasan secara memadai mengenai prosedur pemilihan anggota ahl ikhtiar, dan tidak pula menjelaskan hubungan lebih jauh antara lembaga ini dengan khalifah.
Para ahli sejarah Islam berpendapat, selain lembaga ini berhak memilih khalifah, lembaga ini juga mempunyai wewenang dapat menjatuhkan kepala Negara bila terbukti tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan tuntutan agama.
c)        Badan Peradilan (Yudikatif)
Dalam praktek peradilan sejarawan menyebut tiga unsur penopang tegaknya hukum pada masa itu, yaitu:
1.         Hakim
Hakim adalah orang yang berhak memeriksa, mengadili, serta memutus suatu perkara hukum. Sehingga orang yang berhak menjabat hakim haruslah memiliki ketentuan-ketentuan tertentu. Al-Mawardi memberikan tujuh syarat bagi seorang hakim, yaitu:
a)        Laki-laki
Syarat ini mengandung dua unsur sekaligus, yaitu baligh dan tidak wanita.
b)        Kemampuan akal pikiran untuk mengetahui taklif (perintah), ia harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang penting dan mampu membedakan sesuatu dengan benar cerdas, dan jauh dari sifat lupa.
c)        Merdeka
d)       Islam
e)        Adil
Yang dimaksud dengan adil adalah, berkata denagn benar, jujur, bersih dari hal-hal yang diharamkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah, serta mengunakan sifat kesatria dalam agama dan dunianya.
f)         Sehat pendengaran dan penglihatan
g)        Ia mengetahui hukum-hukum syariat, ilmu-ilmu dasar beserta cabang-cabangnya.
2.         Wali pidana
Wali pidana ialah pejabat Negara yang diberikan wewenang untuk mengajak pelaku pidana kepada keadilan dan melarang pihak-pihak yang berperkara dari saling memusuhi. Seorang wali pidana harus memiliki criteria antara lain:
a)        Memiliki kedudukan tinggi dimata masyarakat
b)        Perintahnya dipatuhi
c)        Berwibawa
d)       Bersih
e)        Tidak ambisius
f)         Menjauhi hal-hal yang sifatnya maksiat
g)        Lembaga al-Hisbah
Yang dimaksud dengan lembaga hisbah adalah muhtasib yang kewenangannya adalah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar. Yang dimaksud dengan muhtasib adalah petugas yang diangkat oleh pemerintah oleh Sulthan (pemerintah), dan wilayah ini khusus menangani masalah moral dan kesusilaan.
Dalam mengemban amanatnya sebagai penegak hukum ,maka lembaga al hisbah memiliki tugas dan kewenangan pokok :
a)        Memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas hizbah.
b)        Mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab kesusialaan yang tidak boleh dilanggar oleh umum.
c)        Memberikan putusan terhadap hal-hal yang bersifat mendesak dan segera.
d)       Meneliti segala bentuk kemungkaran yang menjadi tuntutan.
e)        Mengangkat pegawai-pegawai daerah atau untuk urusan tertentu.
Atas dasar kewenangan yang dimiliki lembaga al hisbah ini, maka petugas-petugas al hisbah (muhtasib) memiliki tugas dan kewenangan untuk:
a)         Amar ma’ruf nahi mungkar
b)         Membimbing masyarakat memelihara kemaslahatan umum
c)         Mencegah masyarakat utuk membangun rumah yang menyebabkan sempitnya jalan umum
d)         Mencegah penempatan barang dagangan yang mengganggu lalu lintas
e)         Mencegah buruh yang membawa beban yang diluar batas kemampuan kendaraan
f)          Memerintahkan kepada pemilik rumah yang hampir roboh utk merobohkan
g)         Memberikan pelajaran kepada guru-guru yang memukul muridnya lebih dari kepatutan
h)         Menindak tetangga yang mengganggu hak sesamanya tetangganya
i)           Menerima pengaduan, seperti penipuan timbangan atau jual beli
j)          Mendesak orang yang menangguhkan pembayaran hutang untuk segera melunasinya
k)         Meneliti dan memperhatikan keadaan pejabat tinggi dalam memenuhi tugas kewajibannya.

BAB III
PENUTUP
Dari berbagai masa kepemimpinan dalam dalam sejarah ketatanegaraan Islam dapat kita simpulkan bahwa, kerajaan Islam adalah kerajaan yang demokratis. Persamaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu dilaksanakan dengan baik. Dalam menjalankan praktek kenegaraan, pada umumnya diterapkan sitem musyawarah dan bekerja sama. Dalam menyelesaikan masalah khalifah tidak hanya membuat keputusan sendiri tetapi mendengarkan saran dan masukan dari sahabat. kepentingan dan kesejahteraan rakyat sangat diperhatikan sekali. Kekuasaan tidak hanya dipegang oleh khalifah dibagi kepada lembaga-lembaga yang ada. System ketatanegaraan dalam Islam mengedepankan prinsip keadilan dan moral. Demokrasi telah jauh berkembang pada masa kekhalifaan dan sampai pada saat ini. Kesejahteraan rakyat sangat diperhatikan dan kebebasan beragama dijunjung tinggi dapat kita lihat pada masa pemerintahan Nabi yang memberikan kebebasan beragama kepada semua umat.


DAFTAR PUSTAKA
Al Mawardi, Imam, Al Ahkam As Shulthaniyah Al Wilayah Ad Diniyah , terjamah : Fadli Bahri Jakarta : Darul Falah, 2006
Ibnu Syarif, Mujar, Presiden Non Muslim Di Negara Muslim, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2006
Ali Ben Haj, Abu Abdul Fatah dan Iqbal, Muhammad, Negara Ideal Menurut Islam, Jakarta : Ladang Pustaka dan Intimedia, 2002
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, edisi kelima, Jakarta : UI – Press, 2008
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam Jakarta : Radar Jaya Pratama Jakarta, 2001
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : Raja Grafindo 1997

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post