PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu binatang yang menjadi
polimik terkait status kehalalannya adalah bekicot. Terlebih bagi mereka yang
tinggal di iklim tropis, hewan ini sangat mudah dan banyak dijumpai. Hewan yang
berjenis molusca ini berasal dari daerah Afrika Timur, kemudian menyebar ke
seluruh belahan dunia dalam waktu yang relatif singkat, ini dikarenakan hewan
bekicot dapat berkembang biak dengan cepat. Selain sebagai hewan yang bertulang
lunak, bekicot juga merupakan hewan hermaprodit atau hewan berkelamin ganda.
Berarti hewan ini memiliki dua macam sel gamet pada tubuhnya. Tetapi pada
bekicot, kedua macam sel gamet tersebut tidak masuk dalam waktu yang bersamaan,
sehingga untuk reproduksinya masih diperlukan dua hewan agar terjadi
fertilisasi.
Bagian tubuh bekicot terbagi atas 4
bagian utama yaitu kepala, leher, kaki, serta alat-alat dalam. Kepala bekicot
memiliki sepasang tentakel yang berukuran pendek, tentakel tersebut berfungsi
sebagai indera pencium dan sepasang tentakel panjang yang berfungsi sebagai
indera penglihatan.
Salah satu ciri khas bekicot dapat
dilihat pada lendir yang berbeda di bagian bawah kepalanya, informasi yang
bersumber dari beberapa artikel hasil Search Google, lendir pada bekicot
tersebut berasal dari kelenjar mukosa. Fungsi lendir pada bekicot sendiri untuk
membasahi perutnya yang berfungsi sebagai kaki, perut bekicot tersebut tersusun
dari otot-otot yang kuat dan bergelombang. Bisa kita lihat, bekicot akan
meninggalkan jejak berupa lendir ketika sedang berjalan. Adapun manfaat bekicot
bagi kesehatan antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi
karena mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap.
2.
Dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti kekejangan,
jantung suka berdebar, tidak bisa tidur atau insomania, leher membengkak dan
penyakit kaum wanita termasuk keputihan.
3.
Lendir pada bagian dalam cangkangnya dapat digunakan sebagai
obat luar untuk luka sayat dan luka robek, juga untuk mempercepat pematangan
bisul.
4.
Dagingnya baik untuk pengobatan penyakit liver dan Hepatitis
B. Biasa di temui di angkringan, daging bekicot dibuat sate atau kripik
bekicot.
Namun apapun itu, sejatinya
permasalahan halal dan haramnya bekicot termasuk masalah ijtihadiyah, sehingga
tidak selayaknya di bawah ke ranah aqidah atau
bahkan menjadi sumber perpecahan.
Meski
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memutuskan bahwa mengkonsumsi
bekicot sebagai makanan hukumnya haram, namun sebagian masyarakat mengabaikan
fatwa MUI tersebut. Fatwa MUI ini sebetulnya sudah disahkan pada 2012. Fatwa
tersebut ditandatangani Prof DR Hasanuddin AF selaku Ketua Komisi Fatwa.
Makalah
ini akan mencoba mengkaji secara sederhana bagaimana status hukum mengkonsumsi
bakicot, dan letak ketidak sesuaian antara suatu pendapat dengan pendapat lainnya, dan
selanjutnya pembaca sendirilah yang menentukan kejelasan dari hukumnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang
melatarbelakangi sehingga terjadinya perbedaan pendapat mengenai bekicot ini?
2.
Bagimana
pendapat para ulama mengenai bekicot?
3.
Bagaimana cara
masyarakat awam menyikapi dari pada perbedaan pendapat masalah bekicot ini?
4.
Apa sebenarnya
hukum mengkonsumsi bekicot ini?
C. Tujuan Penulisan
Memberikan penjelasan kepada para
pembaca bagaimana tinjauan para ulama mengenai hukum mengkonsumsi bekicot, dan
sebagai bahan telaah serta sebagai referensi untuk dasar pembahasan masalah
yang berhubungan dengan bekicot selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tinjauan
Hukum Mengenai Bekicot
Bekicot bahasa Arabnya adalah halzuun
barriy (keong
darat). Bekicot itu ada dua macam, ada bekicot darat
dan bekicot air. Adapun bekicot darat digolongkan sebagai hasyarot (hewan kecil
di darat seperti tikus, kumbang, dan kecoak yang tidak memiliki darah mengalir.
Adapun bekicot air (disebut keong) digolongkan sebagai hewan air.
Apakah ashl juz’iy jenis
makanan ini haram – dimana ia adalah ashl yang keluar
dari ashl kulliy diperbolehkannya
semua jenis makanan dan daging – karena ia termasuk jenis makanan yang buruk,
kecuali jika ada dalil yang membolehkannya seperti belalang. Hal ini didasarkan
oleh firman Allah ta’ala :
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ
الْخَبَائِثَ
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [QS. Al-A’raaf : 157].
Ataukah, ashl juz’iy jenis makanan ini tidaklah
keluar dari ashl kulliy-nya, yaitu boleh kecuali ada dalil yang
melarangnya berdasarkan firman Allah ta’ala :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” [QS. Al-Baqarah :
29].
وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ
عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ
إِلَيْهِ
“Mengapa
kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu
apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [QS.
Al-An’aam : 119].
a.
Bekicot Air
Bekicot air, baik perairan tawar
atau laut, hukumnya halal, meskipun langsung dimasak tanpa disembelih. Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Quran,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ
وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang
dalam perjalanan… (QS. Al-Maidah: 96)
Ibn Abbas dalam riwayat yang sangat
masyhur, mengatakan,
{صيده} ما أخذ منه
حيًا {وَطَعَامُهُ} ما لفظه ميتًا
“Binatang buruan laut adalah hewan laut yang diambil
hidup-hidup, dan makanan
dari laut adalah bangkai hewan
laut.” (Tafsir Ibn Katsir, 3/197).
Al-Bukhari membawakan satu riwayat
dari Syuraih, salah seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
beliau mengatakan,
كُلُّ شَيءٍ فِي الْبَحْرِ مَذْبُوحٌ
“Semua yang ada di laut, statusnya sudah disembelih” (HR. Bukhari
secara muallaq).
b.
Bekicot Darat
Bagian inilah yang diperselisihkan
ulama. Pendapat pertama, bekicot darat termasuk hasyarat.
Dan hasyarat hukumnya haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama,
diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Daud Ad-Dhahiri, dan Syafiiyah.
An-nawawi mengatakan,
مذاهب العلماء في حشرات الأرض …. مذهبنا أنها حرام ، وبه قال
أبو حنيفة وأحمد وداود . وقال مالك : حلال
“Madzhab-madzhab para ulama tentang hewan melata bumi…,
madzhab kami (syafiiyah) hukumnya haram. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan
Daud. Sementara Malik mengatakan, boleh.” (Al-Majmu’, 9/16)
Ibnu Hazm mengatakan,
ولا يحل أكل الحلزون البري , ولا شيء من الحشرات كلها : كالوزغ
، والخنافس , والنمل , والنحل , والذباب , والدبر , والدود كله – طيارة وغير طيارة
– والقمل , والبراغيث , والبق , والبعوض وكل ما كان من أنواعها ؛ لقول الله تعالى
: (حرمت عليكم الميتة) ؛ وقوله تعالى (إلا ما ذكيتم)
“Tidak halal makan bekicot darat, tidak pula binatang
melata semuanya, seperti: cicak, kumbang, semut, lebah, lalat, cacing dan yang lainnya, baik yang bisa
terbang maupun yang tidak bisa terbang, kutu kain atau rambut, nyamuk, dan semua
binatang yang semisal. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Diharamkan bagi
kalian bangkai, darah…..” kemudian Allah tegaskan yang halal, dengan
menyatakan, “Kecuali binatang yang kalian sembelih.”
Kemudian Ibn Hazm menegaskan,
وقد صح البرهان على أن الذكاة في المقدور عليه لا تكون إلا في
الحلق ، أو الصدر , فما لم يقدر فيه على ذكاة : فلا سبيل إلى أكله : فهو حرام ؛
لامتناع أكله ، إلا ميتة غير مذكى
“Sementara dalil yang shahih telah mengaskan bahwa cara
penyembelihan yang hanya bisa dilakukan pada leher atau dada. Untuk itu, hewan
yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan kaluar untuk bisa memakannya,
sehingga hukumnya haram. Karena tidak memungkinkan dimakan, kecuali dalam
keadaan bangkai, yang tidak disembelih. (Al-Muhalla, 6/76).
Pendapat kedua,
merupakan kebalikannya, bekicot hukumnya halal. Ini adalah pendapat Malikiyah.
Mereka punya prinsip bahwa hewan yang tidak memiliki sistem transportasi darah
merah, tidak harus disembelih. Mereka mengqiyaskannya sebagaimana belalang.[1]
Cara menyembelihnya bebas, bisa
dengan langsung direbus, dipanggang, atau ditusuk dengan kawat besi, sampai
mati, sambil membaca basmalah.
Dalam Al-Mudawanah dinyatakan,
“سئل
مالك عن شيء يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل ؟
قال : أراه مثل الجراد ، ما أخذ منه حيّاً فسلق أو شوي : فلا أرى بأكله بأساً ,
وما وجد منه ميتاً : فلا يؤكل
Imam Malik ditanya tentang
binatang yang ada di daerah maroko, namanya bekicot.
Biasanya berjalan di bebatuan, naik pohon. Bolehkah dia dimakan?
Imam Malik menjawab:
“Saya berpendapat, itu seperti belalang. Jika ditangkap
hidup-hidup, lalu direbus atau dipangggang. Saya berpendapat, Tidak masalah
dimakan, namun jika ditemukn dalam keadaan mati, jangan dimakan.”
(Al-Mudawwanah, 1/542)
Al-Baji juga pernah menukil
keterangan Imam Malik tentang bekicot,
ذكاته بالسلق ، أو يغرز بالشوك والإبر حتى يموت من ذلك ،
ويسمَّى الله تعالى عند ذلك ، كما يسمى عند قطف رءوس الجراد
“Cara menyembelihnya adalah dengan dimasak, atau ditusuk
kayu atau jarum sampai mati. Dengan dibacakan nama Allah (bismillah) ketika itu. Sebagaimana
membaca bismillah ketika memutuskan kepala belalang.” (Al-Muntaqa Syarh
Muwatha’, 3/110)
2.
Epilog
a.
Keterangan yang melarang makan bekicot, lebih mendekati
kebenaran. Karena bekicot darat termasuk hewan melata yang tidak bisa
disembelih. Dan semua binatang yang tidak mungkin bisa disembelih, maka tidak
ada cara untuk bisa memakannya, karena statusnya bangkai.
b.
Sisi yang lain, terdapat kaidah yang diakui bersama bahwa
tidak mengkonsumsi binatang yang halal dimakan setelah disembelih, termasuk
tindakan menyianyiakan harta, yang itu dilarang secara syariat. Sementara
binatang seperti membuang bekicot, tidak termasuk bentuk menyia-nyiakan harta.
c.
Sementara mengqiyaskan bekicot dengan belalang, seperti yang dipahami malikiyah,
adalah qiyas yang tidak benar. Karena belalang dikecualikan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hukum bangkai yang
haram. Sementara bekicot tetap harus disembelih (menurut Malikiyah), hanya saja
dengan cara yang tidak pada umumnya diterapkan.
d.
Kalau ditinjau dari segi kesehatannya, maka
Bekicot ini sangat besar manfaatnya bagi kesehatan, sehingga status hukumnya
halal. Dengan berpedoman pada hukum asal makanan itu halal selama tidak ada
dalil yang mengharamkannya atau tidak ada alasan untuk mengharamkan. Adapun
menjijikkan itu bersifat relatif, kadang satu orang dan lainnya berbeda.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz, , Abdullah bin
Abdurrahman, Lajnah Da’imah lil Buhuts al-Ilmiah wa Ifta’, Fatwa-Fatwa
Terkini (Al Fatawa Asy-Syar’iyyah fi al masa ‘il al ashriyah min fatawa
ulama al balad al haram), Darul Haq, Jakarta, 2004
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih;
Kaidah-Kaidah Hukum islam dalam Menyelaisaikan Masalah-masalah yang praktis, Kencana,
Jakarta, 2007
Hanafie, A, Usul Fiqh,
Widjaya, Jakarta, 1989, Cet. Ke-11
Syarifudin Amir, Garis-garis
Besar Fiqh, Kencana, Jakarta, 2003, Cet. Ke-2
Syihab Quraisy, M. Quraisy Syihab
Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut anda Ketahui, Lentera Hati,
Jakarta, 2008, Versi. OnLine (Bunga Rampai/www.pakdenono.com)
[1]
Dalam kitab Al-Mudawwanah 1/542
disebutkan :
سئل
مالك عن
شيء يكون
في المغرب يقال له
الحلزون يكون
في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل ؟
قال : أراه
مثل الجراد ، ما
أخذ منه
حيّاً فسلق
أو شوي
: فلا أرى
بأكله بأساً , وما وجد
منه ميتاً : فلا يؤكل
Maalik pernah ditanya tentang
hewan yang ada di negeri Maroko yang disebut halzuun(siput) yang hidup di
padang pasir, menempel di pepohonan. Bolehkah ia dimakan ?. Maalik berkata :
‘Aku berpendapat ia seperti belalang. Jika ia diambil dalam keadaan hidup,
lalu direbus atau dipanggang, maka aku berpendapat tidak mengapa
memakannya. Apabila didapati dalam keadaan mati, maka tidak boleh dimakan”
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.