BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
‘Iddah bermakna
perhitungan atau sesuatu yang di hitung. Secara bahasa mengandung pengertian
hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita. sedangkan ssecara istilah, ‘’ iddah mengandung arti masa menunggu arti
masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya
perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan
untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami.[1]
Para ulama
mendefinisikan ‘iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesuciaan seorang istri
yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu
dilarang untuk di nikahkan.[2]
Dengan redaksi
yang agak panjang Ahmad Al-Ghundur memberikan definisi ‘iddah dengan, jenjang
waktu yang di tentukan untuk menanti kesucian (kebersihan rahim) dari pengaruh
hubungan suami istri setelah sang istri di ceraikan atau ditinggal mati suami,
yaitu waktu yang biasa dipikul oleh istri setelah putus ikatan pernikahan
karena dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam pengaruh hubungan kelamin atau
yang sesamanya seperti bermesra-mesraan(dengan pria lain jika ia segera
menikah).[3]
Menurut Sayuti
Thalib, pengertian kata ‘iddah daat di lihat dari dua sudut pandang :
Pertama,
di lihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat
rujuk kepada istrinya. Dengan demikan, kata ‘iddah dimaksudkan sebagai
suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak,
dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya.
, dengan demikian
dilihat dari segi istri, masa ’iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang
waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak
laki- Kedua laki lain.[4]
Penting di
catat, masa ‘iddah ini hanya berlaku bagi yang telah di dukhul. Sedangkan bagi isrti yang belum yang di dukhul (qabla al-dukhul) dan putusnya
bukan karena kematian suami maka
tidak berlaku baginya masa ‘iddah.
Menyankut
ayat-ayat tentang ‘iddah ini dapat
dilihat firman Allah SWT. Yang artinya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ebelum kamu
mencamprinya, maka sekali-kali tidak wjib atas mereka “iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS. Al-ahzab/33:49).
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang talak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali (quru’) (QS. Al-baqarah/2:228).
Berkenaan
masalah quru’ terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Wanita ygtidak
yang mengandung dan masih termasuk dalam kategori orang-orang maih haid, masa
‘iddahnya di atur menurut aqra’. Dalam hal ini terdapat perbedaan di kalangan
ulama malikiyah dan ulama Syafi’iyyah. Bagi ulama Malikiyah makna salasata
quru’ adalah tiga kali haid, sedangkan Syafi’i memahaminya tiga kali suci.
Kendati demikian jika di konvesi ke dalam hitungan hari sebenarnya hampir sama
yaitu lebih kurang 3 bulan. Bagi wanita yang belum atau tidak haid lagi, masa
‘iddahnya selama tiga bulan.
Selanjutnya
mengenai ‘iddah putusnya pekawinan dengan sebab kematian terdapat pada ayat
berikut ini:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri tesebut)
menagguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan
sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah/2:234).
Berangkat dari
ayat-ayat di atas, menurut kalangan Fuqaha ‘iddah itu terbagi ke dalam dua
kategori utama. Pertama, ‘iddah yang terjadi karena wanita tersebut ditinggal
mati oleh suaminya. Kedua, ‘iddah yang terjadi bukan karena ditinggal mati
suami. Kondisi orang yang ditinggal mati ini adakalanya wanita tersebut dalam
keandaan mengandung dan adakalanya sedang kosong (bara’aturahmina). Apabila
dalam keadaan mengandung, masa ‘iddahnya adalah a menungu sampai kandungannya
lahir.Apabila dalam keadaan tidak mengandung, dalam pengertian tidak ada benih
di dalamnya, masa ‘iddahnya 4 bulan sepuluh hari.
Agaknya yang
menjadi perdebatan di kalangan ahli fikih adalah menyangkut ‘iddah wanita yang
hamil yang di tinggal mati oleh suaminya. Baginya berlaku dua masa ‘iddah;
‘iddah melahirkan dan ‘iddah wafat. Jumhur ulama fikih menyatakan masa
‘iddahnya adalah sampai ia melahirka, sekalian kelahiran itu belum mencapai
waktu empat bulan epuluh hari. Bahkan menurut mereka, sekalipun wanita tersebut
melahirkan beberapa saat kematian suami. Alasan-nya adalah firman Allah surah
ath- talaq ayat 4 di atas.[5]
Akan tetapi
menurut Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas, ‘iddah yang pakai adalah yang
terlama. Jika wanita tersebut melahirkan sebelum masa empat bulan sepuluh
hari, maka ‘iddahnya tetap empat bulan sepuluh hari, jika setelah lewat empat
bulan sepuluh hari, tetapi wanita tersebut belum juga melahirkan maka ‘iddahnya
sampai ia melahirkan. Dalil yang mereka gunakan adalah surah Al-Baqarah/2:234.[6]
Dengan asumsi bahwa
dewasa ini khususnya masyarakat awam terkadang yang menyangkut urusan syariat
dalam hal ini mengenai bagaimana hak dan kewajiban seorang suami terhadap
istrinya dan begitupun sebaliknya pada saat telah jatuhnya talak (masa iddah)
mereka hanya berlandaskan pada kebiasaan-kebiasaan yang kemudian berkembang di
lingkungan domisili mereka. Padahal sama kita pahami bahwa dalam hal semacam
ini ajaran (Islam) kita telah menguraikannya secara jelas dan bahkan dalam UU
No. 1 1974 tentang perkawinan juga telah dijelaskan tentang hal tersebut.
Memang tidak ada salahnya ketika kita juga mempergunakan adat (kebiasaan) yang
selama ini berkembang di dalam masyarakat akan tetapi alangkah sempurnanya
pemahaman kita ketika kita mampu mensingkrongkan antara hukum Islam, hukum
perdata dan hukum adat. Berangkat dari dasar tersebut sehingga kami
berinisiatif untuk menyuguhkan makalah ini yang memuat penjelasan “Iddah
dalam Perspektif Islam” (Hak dan kewajiban Suami Istri dalam Masa Iddah).
B.
Rumusan Masalah
Adapaun yang
menjadi rumusan masalah pada makalah ini ialah bagaimanakah hak dan kewajiban
suami istri dalam masa iddah?
BAB II
PEMBAHASAN
HAK DAN KEWAJIBAN
SUAMI ISTRI DALAM MASA IDDAH
Penting untuk
diketahui bahwa perceraian atau talak
raj’i (talak 1 & 2) belumlah memutuskan perkawinan dalam makna yang
sesungguhnya. oleh sebab itu, wanita yang telah di talak suaminya, selama
berada pada masa iddah tetap dipandang sebagai istri dari suaminya dan suami
dari istrinya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh lagi.
Menurut hukum
Islam kewajiban memberikan nafkah kepada bekas istri disebutkan dalam al-Qur’an
surah al-Thalaq ayat (1) yang artinya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا
الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ
وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي
لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah.
Jangan kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan)
keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu
hal yang baru.
Menurut T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy seorang ulama besar dalam bidang tafsir dan hadis, ayat
inilah yang menjadi pegangan ulama dalam membagi talak menjadi talak sunnah dan
bid’ah. Talak sunnah (sunny) adalah
talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang
suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Sedangkan yang dimaksud
talak bid’ah (bi’di) adalah
talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan
haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut.
Mencermati ayat
di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat.
a)
Bahwa menalak
istri hendaklah dalam keadaan si istri suci dan belum dicampuri, ini berarti
talak sunni. Sedangkan menjatuhkan talak dalam keadaan haid atau dalam keadaan
suci tapi telah dijima’ (disetubuhi) maka hukumnya haram atau dilarang.
b)
Suami wajib
memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalak, selama mereka masih dalam
iddah dan tidak boleh mereka keluar/pindah ketempat lain kecuali mereka
bersikap yang tidak baik.
c)
Tempat tinggal
tidak wajib diberikan kepada istri yang tidak dapat rujuk lagi.
d)
Tidak boleh
dilkukan sebagai jalan keluar dari pergaulan suami istri yang tidak aman.
Selanjutnya
dalam surah Ath-Talaq ayat 6 disebutkan:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا
تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ
فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ
تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Tempatkanlah mereka (para istri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan hati mereka dan jika mereka istri-istri yang sudah
ditalak itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya; dan musyawarakanlah diantara segala sesuatu, dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu
untuknya.
Demikianlah
hukum Islam telah Islam telah menentukan dengan tegas tentang istri yang
ditalak suaminya. Ayat ini merupakan dasar bagi suami untuk memberikan tempat
tinggal bagi istri-istri yang ditalaknya, bahkan ayat ini memberikan pengertian
yang tegas tentang kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh suami seperti
memberikan biaya untuk menyusukan anak-anaknya.
Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada
bekas istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar bekas istri
yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu
memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian,
suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas
istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut ialah:
a) Memberikan mut’ah yang layak
kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri
tersebut qobla al dhukhul;
b) Memberikan nafkah kepada bekas istri selama masa iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak
ba’in atau nasyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terutang dan apababila
perkawinan itu qabla al dhukul mahar
dibayar setengahnya;
Bagi pegawai
negeri sipil penentuan kewajiban untuk memberikan biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri, diatur tersendiri dalam PP No. 10 tahun 1983 yang telah
diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 dimana pasal 8 ayat 1 menyebutkan “Apabila
perceraian terjadi diatas kehendak pegawai negeri sipil saja, maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk kehidupan bekas istri dan anak-anaknya”
Untuk hak dan
kewajiban seorang istri yang berada dalam masa iddah, khususnya talak raj’i diantarannya ialah:
a) Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara
terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
b) Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain
mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq
ayat 1 yang artinya “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan
yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan dengan
beberapa hadis Rasululullah SAW.[8]
c) Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama
menjalani masa iddah.
d) Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan
nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru
tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap
tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
e) Wanita tersebut wajib berihdad[9] (iddah wanita yang ditinggal mati
suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri
selama empt bulan sepuluh hari.
f) Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang
wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.
Sedangkan
menurut Muhammad Baqir Al-habsyi ada empat hak perempuan yang
berada dalam masa iddah:
a)
Perempuan dalam
masa iddah akibat talak raj’i berhak menerima tempat tinggal dan nafkah,[10]
mengingat bahwa statusnya masih sebagai istri yang sah dan karenanya tetap
telah memiliki hak-hak sebagai istri. Kecuali ia dianggap nusyuz (melakukan hal-hal yang dianggap “durhaka”, yakni melanggar
kewajiban taat kepada suaminya) maka ia tidak berhak apa-apa.
b) Perempuan dalam masa iddah akibat talak ba’in (yakni yang
tidak mungkin rujuk) apabila ia dalam keadaan mengandung, berhak juga atas
tempat tinggal dan nafkah seperti di atas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun yang menjadi
kewajiban seorang suami dalam masa iddah (talak raj’i) yaitu memberikan
tempat tinggal dan nafkah kepada istrinya. Dan jika dia punya seorang anak maka
dia juga berkewajiban membiayai anaknya. Sedangkan yang menjadi hak dan
kewajiban seprang istri dalam masa iddah ialah:
1)
Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara
terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2)
Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain
mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq
ayat 1 yang artinya “janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan dengan
beberapa hadis Rasululullah SAW.
3)
Berhak untuk
tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
4) Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan
nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru
tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap
tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5)
Wanita tersebut
wajib berihdad (iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk
mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6) Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta
waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak
berhak mendapatkanya.
B. Saran
Kami sadar bahwa apa yang ada
ditangan pembaca saat ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami senantiasa
mengharapkan uluran tangan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makala ini
dikemudian hari. Kami hanya berharap bahwa makala ini mampu menjadi sebuah referensi yang
ideal dalam hal pengkajian tentang Iddah Dalam Perspektif Islam (Hak dan
Kewajiban Suami Istri dalam Masa Idda) . Terkhusus dalam menyelesaikan dilema-dilema yang sering
muncul dalam kalangan masyarakat awam mengenai masalah iddah
khususnya mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam masa iddah.
Mengingat bahwa
penyelesaian masalah yang belum ada dasar hukumnya bagi masyarakat awam
merupakan hal yang lazim di telinga mereka, tentunya untuk mengamalkannya
memerlukan pemahaman yang cukup memadai agar dalam pelaksanaannya kita tidak
lagi mengalami kekeliruan, karena apabila kita keliru dalam menafsirkan,
niscaya dalam pelaksanakaannya tidak sempurnah. Mudah-mudahan dengan adanya
makalah ini dapat memudahkan kita, khususnya dalam proses pengamalannya.
DAFTAR PUSTAKA
Doktor mustofa
Diil Bigha, Fiqih Syafii (Terjemah St
Tahdziib), (CV bintang Pelajar, 1978).
Dr. H. Amiur
nuruddin & Drs. Azhari Akmal Nuruddin, Hukum
Perdata Islam di Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU
No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006).
Drs. Murni
Djamal (Dirjen Pembinaan Kelembagaan agama Islam Depag), Ilmu Fiqig jilid II cet. II, (Jakarta: Proyek Pembinaan PTA IAIN,
1984).
H. Sulaiman
Rasyid, fiqih Islam, (Jakarta:
Attahiriyah, 1954).
Mohd. Idris
Ramulyo, hukum perkawinan Islam: Suatu
Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996).
Muhammad sayyid
Sabiq, fiqih sunnah Jilid III, (Jakarta:
Pena pundi Aksara, 2009).
Syaikh Muhammad
bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi
Islam al- Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah, 2011).
Soerjono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1983).
[1] Abdul Aziz Dahlan (ed) Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid II, (Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 637.
[3]
Ahmad Al-Ghundur, al-Thalaq al-syari’at al-Islamiyyah wal
al-Qanun, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1997), h. 291.
[4]
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku bagi
Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 122.
[5] Ibn Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid, Juz II, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t) h. 72. Lihat juga A.
Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1998), h. 313.
[7] Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan Drs. Azhari Akmal
Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata Islam di
indonesia, studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
samapai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39.
[8]
Menurut abdurrahman
I do’i, wanita yang sedang dalam mas iddah juga dilarang keluar rumah baik pada
siang hari terlebih lagi pada malam hari. Ulama Hanafi mengatakan, perempuan
yang menjalani masa iddah karena ditalak satu, talak dua atau talak tiga tidak
diperbolehkan keluar rumah baik siang maupun malam hari. Tentu saja berbeda
bagi seorang janda yang telah resmi bercerai. Sedangkan menurut Ulama Hambali,
membolehkan wanita keluar rumah pada siang hari, baik dia dalam iddah karena
cerai ataupun ditinggal amati suaminya. Semuanya ini diberlakukan tidak saja
untuk keselamatan wanita tersebut untuk menghindari fitnah. Dr. H. Amiur
Nuruddin, MA. dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata Islam di indonesia, studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 samapai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 250.
Lihat juga Doktor Mustofa Diibul Bigha, Fiqih
Syafii (Terjemahan St Tahdziib), (CV Bintang Pelajar, 1978), h. 414.
[9]
Ihdad berasal dari kata ahadda
dan terkadang bisa juga disebut al-hidad
yang diambil dari kata hadda. Secara etimologi bermakna al-man’u (larangan). Dalam makna istilah
ihdad bermakna meninggalkan
harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak wangi. Ada juga yang
mendefenisikannya dengan menahan diri dari mempercantik diri atau bersolek.
Lihat, wahbah al-zuhaili, op.cit, h. 659. Lihat juga masalah yang cukup menarik
yang menyangkut ihdad wanita karir dalam, Hafiz Anshary, “Ihdad wanita karir”,
dalam, Problematika Hukum Islam
kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan hafiz Anshary (ed), (Jakarta: Firdaus,
2002), h. 11-34.
[10]
Doktor Mustofa Diibul Bigha, Fiqih Syafii (Terjemahan St Tahdziib),
(CV Bintang Pelajar, 1978), h. 413.
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.