Blogger Kalteng

FAKTOR RESIKO TOKSISITAS

FAKTOR RESIKO TOKSISITAS


Setiap zat pada dosis tertentu dapat bekerja sebagai racun. Seringkali keadaanlah yang menentukan apakah suatu zat bekerja toksik atau tidak. Zat berbahaya adalah zat yang risikonya besar. Untuk mendapatkan data risiko pengaruh zat berbahaya ini ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas berdasarkan fase toksik, yaitu fase eksposisi, fase toksikokinetik, dan fase toksikodinamik.


FAKTOR RISIKO PADA FASE EKSPOSISI

a.    Dosis
Dosis ditentukan oleh konsentrasi dan lamanya eksposisi zat yang diberikan pada seseorang. Faktor tertentu seperti ventilasi di tempat kerja, jenis kerja, kegunaan pelindung debu pada mesin yang menimbulkan debu, memegang peranan penting pada penentuan dosis. Dosis juga dipengaruhi oleh jumlah jam kerja (termasuk lembur) dan waktu kerja. Konsentrasi zat berbahaya yang ada di lingkungan seringkali lebih tinggi pada sore hari daripada pagi hari, pada saat pekerjaan baru dimulai. Untuk membatasi eksposisi sebaiknya istirahat kerja dilakukan di tempat yang tidak tercemar (terkontaminasi). Juga penting untuk mempersingkat jangka waktu eksposisi dengan melakukan pergantian kerja.

b.    Higiene Kerja Umum
Pakaian kerja yang tercemari (terkontaminasi) setelah berdinas tidak dibawa pulang dan secara teratur dibersihkan. Hal yang penting juga untuk higiene kerja yaitu menyimpan zat berbahaya secara terpisah, dengan benar dan aman. Hal ini juga berlaku untuk zat kimia yang digunakan dalam rumah tangga seperti deterjen, pelarut kosmetika dan obat. Bahan-bahan ini harus disimpan sedemikian rupa sehingga tak mudah dicapai anak-anak. Terutama anak balita yang secara alamiah akan memasukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulutnya. Kecerobohan yang tak bertanggung jawab yang kadang-kadang menjurus pada perbuatan kriminal seringkali merupakan penyebab keracunan anak-anak.

c.     Higiene Kerja Perorangan
Higiene perorangan di tempat kerja dapat dicapai antara lain dengan menjelaskan pada pekerja bagaimana misalnya membatasi pembentukan debu dan sedapat mungkin menghindari kontak antara bahan berbahaya dengan kulit. Juga menerangkan pemakaian alat-alat kerja, sarung tangan dan lain-lain secara benar. Peraturan saja tidak cukup, tetapi harus dilaksanakan. Harus diperhatikan bahwa pekerja dapat mengerti peraturan yang ada. Kurangnya tanggung jawab sosial dan intelegensia pemberi kerja dapat menyebabkan timbulnya bahaya kerja karena cara yang salah.


d.    Pelaksanaan Pengawasan
Pengawasan yang penting yaitu memeriksa ulang nilai MAC. Sangat penting untuk menentukan konsentrasi zat berbahaya sewaktu-waktu secara teratur di tempat kerja, untuk memastikan bahwa nilai MAC tidak terlampaui. Jika digunakan zat radioaktif, harus diperhatikan bahwa pekerja memakai plakat dengan film yang peka penyinaran, yang menunjukkan dosis penyinaran radioaktif. Dengan suatu sistem perlindungan lingkungan, pengotoran udara harus secara teratur dijaga dan kemudian diikuti dengan peringatan jika nilai toleransi sudah terlampaui.
Nilai MAC dapat dibandingkan dengan nilai ADI (Acceptable Daily Intake). Nilai ini penting untuk menentukan jumlah yang diizinkan dari bahan tambahan pada makanan dan residu (termasuk pestisida). Nilai ADI ialah dosis (dalam mg/kg BB) atau konsentrasi zat (dalam ppm) yang tidak menunjukkan kerja biologi (no effect level), dibagi dengan suatu faktor keamanan. Faktor keamanan ini tergantung pada jumlah data yang ada tentang toksisitas senyawa tersebut. Pada DDT misalnya yang jumlah data toksikologinya sangat banyak dan sejumlah uji toksisitasnya menunjukkan hasil negatif, maka faktor keamanannya mempunyai harga 10, sedangkan dieldrin diharuskan memiliki faktor 200 karena pada mencit menunjukkan kerja karsinogenik.

e.    Peraturan Perundang-undangan
Sampai batas tertentu, pejabat yang berwenang dapat memberikan pedoman berdasarkan perundang-undangan tentang pengembangan zat yang kurang berbahaya. Kadang-kadang dapat dihindari secara menyeluruh pemakaian zat yang berbahaya. Contohnya penggantian fosfor kuning pada kepala korek api dengan fosfor merah, penukaran bahan anti letup pada bensin yang mengandung timbal dengan bahan anti letup bebas timbal karena meningkatnya pencemaran lingkungan oleh timbal, penggantian deterjen yang mencemari lingkungan dengan deterjen lain, dan pelarangan penggunaan DDT. Pada umumnya pejabat yang berwenang tidak dapat melarang pemakaian zat tertentu secara mutlak tetapi mereka dapat membuat peraturan yang lebih ketat.

f.     Keadaan Fungsi Organ yang Berkontak
Keadaan fungsi organ yang berkontak dengan suatu zat toksik, akan mempengaruhi kerja eksposisi. Hal ini terutama berlaku untuk sistem respirasi dan kulit. Pada respirasi dapat dibedakan antara jumlah zat yang terdapat dalam udara yang dihirup dan jumlah zat yang tertinggal dalam paru-paru. Hal yang terakhir ini bukan ukuran jumlah zat yang diabsorpsi. Jumlah yang tertinggal dalam paru-paru sebanding dengan volume pernapasan tiap menit dan perbedaan konsentrasi udara yang dihirup dan udara yang dikeluarkan. Oleh karena itu, hal ini tergantung pada, antara lain, frekuensi pernapasan, beban kerja dan usia yang bersangkutan, juga pada suhu dan kelembaban udara relatif.
Absorpsi melalui kulit dipengaruhi oleh kandungan kelembaban, peredaran darah kulit dan keadaan masing-masing lapisan kulit. Jika permukaan lapisan lemak kulit rusak, maka tidak hanya zat lipofil yang diabsorpsi, tetapi juga zat hidrofil. Pada absorpsi melalui saluran pencernaan pH lokal sangat berperan (kecuali untuk toksikologi kerja).
Pada keadaan dimana terjadi bioinaktivasi atau bioaktivasi dalam hati, maka cara masuknya zat ke dalam organisme memegang peranan penting. Zat yang diinaktivasi dengan cepat di hati, akan lebih toksik jika masuk melalui pernapasan atau melalui kulit dibandingkan dengan pemasukan secara oral. Sebaliknya zat yang menjadi toksik di hati, maka pemberian secara oral akan lebih toksik daripada cara pemberian lain. Contohnya, paration yang dalam bentuk aslinya tidak toksik, tetapi dalam hati diubah menjadi paraoksan yang merupakan racun sesungguhnya dan merupakan inhibitor tak bolak-balik yang sangat kuat dari asetilkolinesterase.


FAKTOR RISIKO PADA FASE TOKSIKOKINETIK

a.    Keadaan Fungsi Organ pada Ekskresi dan Detoksifikasi
Untuk biotransformasi dan ekskresi, keadaan fungsi hati dan ginjal sangat penting. Karena untuk eliminasi, hubungan kedua sistem organ ini sangat erat. Pada pasien yang berpenyakit hati dan insufisiensi ginjal, terjadi perlambatan detoksifikasi dan ekskresi zat toksik, sehingga jika terjadi kontak dengan zat toksik maka pasien tersebut lebih peka dibandingkan dengan orang normal.
Yang harus dipertimbangkan tidak hanya keadaan fungsi organ yang bertanggung jawab pada ekskresi, yaitu ginjal, tetapi juga keadaan fungsi saluran urin. Hal ini terutama berlaku untuk hidrolisis konjugat (misalnya glukuronida) zat toksik terutama karsinogen.

b.    Eksposisi Sebelumnya
Eksposisi dengan suatu zat yang terjadi sebelumnya, yang terakumulasi di dalam tubuh (misalnya, timbal, insektisida tertentu) akan mempertinggi risiko pada kontak berikutnya dengan zat tersebut. makin besar jumlah yang tersimpan dalam tubuh, bahaya yang diakibatkan mobilisasi dari jaringan lemak atau tulang akan makin tinggi. Jika bahaya semacam ini ada, maka tugas orang yang bersangkutan harus diubah atau bahkan berganti profesi.

c.     Perbedaan pada Pra-disposisi Genetik
Perbedaan genetik dapat merupakan penyebab perbedaan kemampuan tubuh untuk menawarkan racun, misalnya terjadinya perpanjangan kerja suksinikolin pada pasien dengan kelainan genetik dari kolineterase plasma, atau perbedaan laju asetilasi obat. Suatu sistem enzim yang kurang mampu menawarkan racun, dapat menyebabkan kadar xenobiotika lebih tinggi dari biasanya.

d.    Pelaksanaan Uji Eksposisi secara Berkala
Uji yang dilaksanakan secara berkala pada orang yang tereksposisi racun yang potensial dapat merupakan tindakan pencegahan untuk menemukan secara dini hal tersebut. Uji ini biasanya dilakukan pada urin, karena konsentrasi zat asing atau metabolitnya dalam urin pada umumnya lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga identifikasi dalam urin akan lebih mudah. Walaupun metode untuk penentuan dalam urin harus cukup peka untuk dapat mengukur juga kadar dibawah MAC.


FAKTOR RISIKO PADA FASE TOKSIKODINAMIK

a.    Perbedaan Kepekaan Perorangan
Perbedaan kepekaan perorangan dapat mempengaruhi baik fase toksokinetik maupun toksodinamik. Contohnya usia, jenis kelamin, kehamilan gizi dan keadaan kesehatan menyeluruh dari individu bersangkutan. Pada kehamilan terutama pada 3 bulan pertama, disamping diperhatikan pengaruh obat-obatan juga harus diperhatikan pengaruh zat toksik.
Pasien yang cenderung terkena reaksi alergi, juga akan berbahaya jika berkontak dengan zat kimia. Pasien yang berpenyakit saluran napas, misalnya asma dan bronkhitis, akan cepat bereaksi terhadap pengotoran udara.

b.    Perbedaan karena Faktor Genetik
Pada fase toksodinamik juga dapat terjadi perbedaan karena faktor genetik. Contohnya, tingginya pembentukan methemoglobin pada pasien yang menderita kekurangan glukose-6-fosfat dehidrogenase dalam eritrositnya.

c.     Eksposisi Sebelumnya
Kontak yang terjadi sebelumnya juga berperan pada fase toksodinamik, terutama pada racun yang menunjukkan adanya kumulasi kerja (misalnya karsinogen, mutagen). Dalam hal ini risiko akan dipertinggi karena kerusakan kromosom yang terjadi pada waktu lampau dan yang terjadi sekarang akan dijumlahkan (beradisi). Oleh karena itu  eksposisi dengan zat yang menyebabkan kerusakan genetik harus dicegah sebelum dan selama masa pubertas. Hal ini juga akan berlaku sinar radioaktif dan senyawa karsinogen potensial selama usia pertumbuhan. Kemungkinan besar perokok berat, yang risikonya untuk menderita penyakit saluran napas dan kanker paru-paru tinggi, akan lebih peka terhadap zat kimia yang juga merusak seperti rokok.

d.    Pemeriksaan Kesehatan yang teratur
Pada toksikologi kerja, pemeriksaan kesehatan yang teratur bagi para pekerja yang berkontak dengan zat toksik harus merupakan bagian upaya pencegahan. Disamping itu, adanya bukti-bukti yang kuat tentang bahaya keracunan akan menyebabkan ketidaktenangan dan rasa takut. Dengan analisis yang teliti tentang penyebab kegagalan kerja karena penyakit dan keluhan keadaan penyakit pada berbagai industri, akan dapat dideteksi bahaya, yang dapat dicegah dengan menggunakan mekanisme pelindung yang tepat.

e.    Pemeriksaan Epidemiologi Umum
Untuk mendapatkan petunjuk tentang faktor penyebab penyakit di tempat kerja, dapat dianalisis data yang didapatkan dari daftar isian tentang riwayat kerja seseorang. Penyebaran geografis penyakit yang timbul di daerah tertentu (misalnya jenis kanker tertentu) merupakan kemungkinan lain untuk mendeteksi penyebab kerusakan semacam itu. Biasanya cara hidup dan kebiasaan makan berpengaruh pada kerja zat toksik. Contohnya, penyakit Itai-itai yang ada pada daerah tertentu di Jepang. Penyakit ini disebabkan oleh konsentrasi kadmium yang tinggi dalam sungai di daerah tersebut yang berasal dari tambang seng. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam makanan dan air minum kadar kadmium mencapai 1 ppm, sehingga tiap orang menerima 2 mg kadmium tiap hari.
Contoh lain adalah penyakit Minamata, yang timbul di sekitar teluk Minamata di Jepang. Di sini penyakit disebabkan oleh konsentrasi senyawa raksa yang tinggi (50-80 mg/kg) dalam ikan yang berasal dari teluk tersebut. Industri di sana menggunakan raksa sebagai katalisator dalam jumlah besar, dan sisa buangan, antara lain metilmerkuri, dialirkan ke teluk sehingga dengan cara ini terjadi pencemaran air. Senyawa raksa yang larut dalam lemak akan tertimbun dengan cepat dalam organ biologi.
Disamping pemeriksaan penduduk secara teratur, informasi penting tentang bahaya lingkungan dapat diperoleh pula dari pemeriksaan fauna dan flora, sehingga risiko yang timbul dari penggunaan racun dapat ditekan. Contohnya adalah musnahnya lumut, tumbuhan epifit ini sangat peka terhadap SO2- segera setelah konsentrasi SO2 dalam udara lebih besar dari 0,035 ppm.

f.     Keadaan Gawat Darurat
Disamping MAC, pada keadaan tertentu juga digunakan nilai lain, misalnya pada pembersihan ruangan. Nilai adalah ETL (Emergency Tolerance Limit=Batas Toleransi Darurat) yang nilainya lebih tinggi, tetapi hanya diizinkan untuk waktu yang singkat. Pada keadaan gawat darurat digunakan nilai EEL (Emergency Eksposure Limit=Batas Eksposisi Darurat), yang memberikan waktu eksposisi maksimum untuk konsentrasi zat toksik tertentu.


FAKTOR RISIKO PADA PEJAMU

a.    Spesies, Strain dan Individu
Terdapat perbedaan efek toksik antara satu spesies dengan spesies yang lain. Hal ini digunakan untuk mengembangkan, misalnya pestisida yang lebih toksik bagi hama daripada bagi manusia dan mamalia lain. Diantara berbagai spesies mamalia, efek toksikan kurang lebih serupa. Meskipun demikian, diantara mamalia pun ada perbedaan yang menonjol dalam toksisitas. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme detoksikasi.
Keragaman dalam bioaktivasi juga memyebabkan banyak perbedaan dalam toksisitas. Meskipun perbedaan dalam biotransformasi, termasuk bioaktivasi, menyebabkan variasi spesies dalam kerentanannya terhadap sebagian besar zat kimia, faktor lain seperti absorpsi, distribusi, dan ekskresi juga berperan.

Terlepas dari variasi kerentanan antara satu spesies dan spesies lain, serta antara satu strain dengan strain lain, ada juga variasi di antara individu dalam spesies yang sama dan strain sama. Variasi individual semacam itu biasanya relatif kecil, tetapi ada beberapa kekecualian.

b.    Seks, Status Hormonal dan Kehamilan
Hewan jantan dan betina dari strain dan spesies yang sama biasanya bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang sama pula. Meskipun demikian, ada perbedaan kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan mereka, terutama pada tikus. Tikus betina lebih peka daripada tikus jantan terhadap insektisida organofosfat. Perbedaan antarseks dalam kerentanan juga terlihat untuk zat kimia lain. Ketidakseimbangan hormon nonseksual dapat juga mengubah kerentanan hewan terhadap toksikan. Ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa tikus hamil lebih rentan terhadap aktivitas karsinogenik.

c.     Umur
Neonatus dan hewan yang sangat muda umumnya lebih rentan terhadap toksikan. Untuk sebagian besar toksikan, organisme muda 1,5 – 10 kali lebih rentan daripada yang dewasa. Lebih rentannya hewan muda terhadap banyak toksikan ini disebabkan defisiensi berbagai sistem enzim detoksikasi. Namun tidak semua zat kimia lebih toksik pada umur muda. Zat-zat tertentu, terutama perangsang SSP, tidak begitu toksik bagi neonatus.
Toksikan tertentu lebih banyak diserap oleh mahluk muda daripada mahluk dewasa. Misalnya, anak-anak dapat menyerap timbal 4 – 5 kali lebih banyak daripada orang dewasa dan dapat menyerap kadmium 20 kali lebih banyak. Lebih besarnya kerentanan terhadap morfin pada anak-anak, disebabkan oleh kurang efisiennya sawar darah-otak.

d.    Status Gizi
Biotransformasi utama dari toksikan dikatalisis oleh sistem oksidase fungsi campur (MFO=Mix Function Oksidase) mikrosom. Defisiensi asam-asam lemak esensial dan protein biasanya menekan aktivitas MFO. Berkurangnya MFO berbeda pengaruhnya pada toksisitas zat kimia. Sejumlah penelitian karsinogenesis telah menunjukkan bahwa pengurangan jumlah zat makanan dapat menurunkan kejadian tumor. Kekurangan protein biasanya menurunkan tumorigenesitas karsinogen. Defisiensi vitamin A, C dan E menekan fungsi MFO. Disamping itu defisiensi vitamin A juga meningkatkan kerentanan sistem pernapasan terhadap karsinogen.
Beberapa makanan mengandung cukup banyak zat kimia yang merupakan penginduksi kuat bagi MFO, misalnya, safrol, flavon, xantin, dan indol, serta DDT dan PCB (bifenil poliklorin) sebagai pencemar makanan.

e.    Penyakit
Hati adalah organ utama tempat biotransformasi zat-zat kimia, sehingga penyakit seperti hepatitis akut dan kronis, sirosis hati, dan nekrosis hati sering mengakibatkan menurunnya biotransformasi. Penyakit ginjal dapat juga mempengaruhi manifestasi toksik berbagai zat kimia. Efek ini terjadi akibat kacaunya fungsi ekskresi dan metabolik ginjal. Penyakit jantung yang berat juga dapat meningkatkan toksisitas beberapa zat kimia dengan mengganggu sirkulasi hati dan ginjal, sehingga mempengaruhi fungsi metabolik dan ekskresi alat tubuh ini. Penyakit saluran napas seperti asma membuat penderitanya jauh lebih rentan terhadap pencemaran udara (SO2).


FAKTOR LINGKUNGAN SEBAGAI FAKTOR RISIKO

a.    Faktor Fisik
Perubahan suhu dapat mengubah toksisitas. Efek suhu lingkungan terhadap besar dan lamanya respons tampaknya berhubungan dengan reaksi biokimia yang bergantung suhu, yang berperan dalam menimbulkan efek dan biotransformasi bahan kimia itu. Sementara itu penelitian mengenai hubungan antara tekanan barometrik dan toksisitas kimia berawal dari pajanan manusia terhadap toksikan di angkasa luar serta dalam kapal selam atau peralatan selam. Pengaruh perubahan tekanan barometri pada toksisitas zat kimia tampaknya terutama diakibatkan oleh berubahnya tekanan oksigen, bukan karena efek tekanan secara langsung.
Iradiasi seluruh tubuh meningkatkan toksisitas perangsang SSP tetapi menurunkan toksisitas depresan SSP. Namun iradiasi ini tidak berefek pada analgesik seperti morfin. Efek toksikan sering memperlihatkan pola harian yang terutama berhubungan dengan siklus cahaya.

b.    Faktor sosial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan peternakan dan berbagai jenis faktor sosial dapat mengubah toksisitas bahan kimia pada hewan, seperti penanganan hewan, cara pengandangan (satu demi satu atau dalam kelompok), jenis sangkar, dan bahan alas.


REFERENSI
1.    Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

2.    E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar. Terjemahan oleh Yoke R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

3.    Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Terjemahan oleh Edi Nugroho. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

4.    J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post