Blogger Kalteng

INTERAKSI KIMIA


INTERAKSI KIMIA


Salah satu masalah dalam toksikologi terutama toksikologi lingkungan adalah kenyataan bahwa orang praktis selalu menggunakan campuran zat, yang seringkali susunan kualitatif dan kuantitatifnya beragam. Akibatnya penentuan risiko yang timbul akibat pemakaian campuran zat hampir tidak mungkin. Zat toksik biasanya berada dalam bentuk campuran/kombinasi, sehingga harga MAC tidak begitu berarti. Oleh karena itu harga MAC bukan merupakan nilai pasti, tetapi hanya merupakan batas yang diizinkan. Dalam praktek, harus digunakan konsentrasi yang secara ekonomis dan teknis paling rendah. Tujuannya bukan batas-tanpa-efek (no-effect-level) melainkan batas-tanpa-risiko (no-risk-level). Untuk interaksi dua zat atau lebih terdapat berbagai kemungkinan. Kedua zat itu dapat diabsorpsi bersama-sama atau dapat pula ada perbedaan waktu antara absorpsi senyawa yang satu dengan absorpsi senyawa yang lain. Kombinasi dapat menyebabkan diperkuatnya efek toksik, atau dua efek toksik yang tak saling mempengaruhi atau reaksi toksik yang diperlemah. Reaksi toksik yang diperlemah berlaku pada pemberian zat yang bekerja melindungi atau penggunaan antidot pada keracunan.

INTERAKSI SELAMA FASE EKSPOSISI

a. Kombinasi Zat yang membahayakan
Kombinasi zat yang membahayakan adalah kombinasi dari zat-zat yang hanya berbahaya jika diberikan bersama-sama. Zat semacam ini harus disimpan secara terpisah, harus dibungkus dan diangkut secara terpisah pula. Contohnya, jika asam berkontak dengan sianida akan terbentuk gas asam sianida yang sangat toksik (HCN). Berbagai peroksida dapat menimbulkan ledakan kalau berkontak dengan logam atau senyawa logam tertentu. Logam alkali, aluminium dan magnesium bubuk tidak boleh berkontak dengan halogen dan karbontetraklorida, karena akan bereaksi dengan hebat (Ingat peristiwa bom di Bali). Untuk meminimalkan bahaya, maka diperlukan penanganan dalam hal pengangkutan dan penyimpanan zat yang berisiko menimbulkan bahaya. Risiko ledakan atau kebakaran harus dinyatakan secara jelas dengan tanda khusus pada kemasan atau ruang penyimpanan.

b. Bahaya kebakaran dan penanggulangannya
Penggunaan air pada penanggulangan kebakaran mempunyai masalah tersendiri. Berbagai zat kimia, bila bereaksi dengan air membebaskan gas yang mudah terbakar(misalnya logam alkali natrium dan kalium, kalsiumkarbida). Bila terkena air akan terurai dan membentuk gas beracun serta kalor dalam jumlah besar (misalnya aluminium klorida, fosfortriklorida, dan fosfida). Uap dan gas beracun dapat pula terbentuk pada kebakaran atau pada penanggulangan kebakaran. Jika pada pembuatan kerangka kapal digunakan pembakar asetilen, serta kapal dicat dengan zat warna yang mengandung timbal atau senyawa timbal, akan sangat berbahaya kalau pekerjaan tersebut dilakukan dalam ruang tertutup.

c.  Pembentukan produk toksik dalam lingkungan
Pada reaksi kimia antara zat-zat yang mencemari lingkungan, terdapat bahaya timbulnya produk toksik, bahkan tanpa perlakuan apapun oleh manusia. Contohnya adalah kabut fotokimia. Kabut terdiri dari zat yang terbentuk karena interaksi nitrogen oksida dan hidrokarbon tertentu dengan oksigen, dibawah pengaruh sinar matahari. Ozon dan peroksida organik merangsang selaput lendir dengan sangat kuat. Hasil pembakaran industri dan mobil dapat berubah menjadi kabut fotokimia pada kondisi cuaca tertentu, misalnya pada penyinaran oleh sinar matahari dan tak ada angin. Contoh lain adalah berubahnya senyawa raksa anorganik menjadi senyawa raksa organik oleh mikroorganisme, terutama metil dan dimetil raksa (II). Karena senyawa raksa organik bersifat lipofil, maka akan tertimbun dalam ikan dan anjing laut. Hal yang sama terjadi pada DDT, yang menyebabkan terjadinya pemekatan sepanjang rantai makanan, dan hewan/organisme yang ada pada ujung rantai ini akan terkena bahayanya.

d.    Adsorbensia dalam Filter
Penggunaan adsorbensia dalam filter (termasuk filter pada topeng gas) juga dapat dilihat sebagai interaksi zat selama fase eksposisi. Karena terdapat begitu banyaknya racun yang berbeda-beda, maka tidak dapat digunakan filter universal. Tergantung pada jenis uap atau gas racun yang mungkin terjadi, maka digunakan filter tertentu yang ditandai dengan nomor atau warna.

e.    Pembentukan produk toksik oleh kerja sistem biologik
Pembentukan senyawa metil dan dimetil raksa (II) yang relatif toksik daripada raksa anorganik oleh mikroorganisme, serta pembentukan HCN dari sianogen (misalnya, dari amigdalin dengan bantuan ludah) merupakan contoh pembentukan produk toksik karena kerja sistem biologi. Contoh lain adalah pembentukan asam sulfida yang toksik selama proses pembusukan. Pembentukan nitrosamin karsinogenik pada reaksi antara nitrit dengan sejumlah amin pada pH rendah, misalnya dalam lambung. Nitrit terdapat dalam produk-produk daging dan dapat juga terjadi dari nitrat yang terdapat dalam air tanah dan sayur yang pada penanamannya menggunakan pupuk yang mengandung N dalam jumlah besar.

f.     Peningkatan absorpsi racun oleh ikan
Untuk perlindungan lingkungan perlu diketahui bahwa ikan yang berkontak dengan deterjen, akan menyebabkan absorpsi berbagai racun melalui insang ikan tersebut diperbesar. Hal ini berarti bahwa pemeriksaan dengan zat tunggal untuk menentukan batas toleransi akan dapat memberikan hasil yang salah, karena toksisitas akan dapat sangat dipertinggi dengan adanya deterjen yang secara praktis terdapat dalam semua air limbah.

INTERAKSI SELAMA FASE TOKSIKOKINETIK

Interaksi semacam ini akan meyebabkan naik atau turunnya konsentrasi zat dalam plasma atau menyebabkan bertambah lama atau bertambah singkatnya obat/zat ada dalam organisme. Berbagai zat, mulai dari zat kimia biasa sampai obat-obatan bahkan komponen makanan dapat ikut ambil bagian disini.

a. Interaksi antara senyawa yang menginhibisi biotransformasi zat asing dengan zat toksik
Inhibisi enzim yang berperan pada biotransformasi dapat menaikkan kerja biologik suatu zat dan dengan demikian akan memperkuat efek toksiknya. Karena sejumlah besar senyawa kimia yang masuk ke dalam organisme, pada metabolismenya diuraikan oleh beberapa enzim yang sama, maka seringkali terjadi interaksi pada proses enzimatiknya. Induksi enzim, disamping dapat timbul karena insektisida (DDT) atau obat-obatan tertentu, juga dapat disebabkan oleh zat kimia yang digunakan di industri.

b.    Interaksi akibat reaksi pendesakan
Pendesakan zat toksik dari berbagai tempat ikatan, dapat mengubah distribusi zat tersebut dalam jaringan, dan kerja toksik akan meningkat atau pada keadaan tertentu juga dapat turun. Yang paling berarti adalah interaksi pada ikatan protein plasma. Karena pendesakan suatu tokson dari tempat ikatannya pada protein plasma, maka konsentrasinya dalam jaringan akan naik.

c.     Interaksi kimiawi langsung
Berbagai antidot bekerja dengan melakukan interaksi dengan zat toksik yang ada dalam tubuh. Jika pada keracunan secara oral digunakan emetika atau laksansia (misalnya magnesium atau natrium sulfat), maka interaksi terjadi pada peralihan dari fase eksposisi ke fase farmakokinetik. Contoh lain dari interaksi kimiawi langsung ialah perubahan asam sianida menjadi asam rodanida dengan pemberian tiosulfat, atau menciptakan terjadinya methemoglobinemia secara sengaja dengan nitrit pada keracunan HCN. Tidak seperti hemoglobin, methemoglobin mengikat HCN dan dengan demikian mencegah inhibisi sistem redoks pada rantai pernapasan di dalam sel.

d.    Cara mempengaruhi laju ekskresi
Pada ekskresi juga dapat terjadi interaksi, dan interaksi ini akan menyebabkan perubahan laju ekskresi. Zat pengasam atau pembasa yang mengubah pH urin akan dapat mempengaruhi laju ekskresi asam atau basa lemah. Pengaruh pada ekskresi ini terjadi pada transpor pasif, artinya pada absorpsi ulang zat bersangkutan dari urin melalui epitel tubulus masuk ke dalam plasma. Interaksi pada proses angkutan aktif, antara lain dalam ginjal, terjadi jika suatu zat mengusir zat lain dari sistem pengemban (carrier) yang berperan pada transpor aktif. Produk konjugasi, yang terbentuk sebagai produk akhir metabolisme zat asing dalam tubuh, pada umumnya diekskresi melalui transpor aktif. Karena sistem transpor untuk ekskresi sangat terbatas untuk sejumlah zat, maka interaksi pada transpor aktif sering terjadi.

INTERAKSI SELAMA FASE TOKSIKODINAMIK

Masuknya beberapa racun bersama-sama, yang cara kerjanya sangat berbeda satu dari yang lainnya, seringkali mempertinggi risiko karena dengan kerja zat yang satu tidak jarang kemampuan pertahanan tubuh berkurang hingga daya tahan tubuh terhadap racun lainnya juga berkurang. Dalam hal ini terutama pada kerja karsinogenik dan mutagenik, karena biasanya jika dua karsinogen atau dua mutagen bekerja, akan terjadi sumasi (penjumlahan) dari kerja kedua zat tersebut. Juga kontak sebelumnya dengan zat karsinogen atau mutagen patut diperhitungkan. Sumasi kerja dapat pula terjadi pada kerusakan kronis yang terjadi sebelumnya. Contohnya, perokok berat terutama rokok putih seringkali menderita bronkhitis kronis, dan patut dipertanyakan apakah orang ini harus ditempatkan pada kedudukan dimana terjadi rangsangan tambahan lagi bagi saluran napasnya. Pada umumnya setiap orang yang bekerja pada suatu tempat yang mengharuskannya berkontak dengan zat yang dengan cara apapun dapat menimbulkan kerusakan kronis, sebaiknya waktu kerja dibatasi. Misalnya, setelah waktu eksposisi tertentu, diadakan pertukaran atau mutasi kerja. Risiko keracunan di tempat pekerjaan akan lebih tinggi pada orang yang selalu minum obat atau yang selalu merokok. Penggolongan interaksi toksikodinamik dari zat aktif biologi dapat digunakan untuk mengenal dan mengatasi persoalan yang timbul akibat pemakaian kombinasi beberapa zat. Pada kombinasi dua zat dapat terjadi kemungkinan berikut: (1) kombinasi suatu zat aktif A dengan zat B yang tak aktif akan tetapi dapat mengubah kerja zat A, dan (2) kombinasi dua zat, yang keduanya aktif.


a. Antagonisme
1.        Antagonisme Persaingan (Kompetitif).
Pada jenis antagonisme ini, agonis dan antagonis bekerja pada pusat aktif yang sama, reseptor yang sama. Antagonis mendesak agonis dari tempat kerjanya. Jenis antagonisme semacam ini terjadi antara metabolit dan antimetabolit, vitamin dan antivitamin, histamin dan antihistamin, kolinergika dan antikolinergika, dll. Antagonis persaingan (kompetitif) dapat mengambil tempat agonis tetapi tak dapat mengambil alih fungsi agonis tersebut. Antagonisme persaingan penting dalam bidang toksikologi, karena banyak antidot mendasarkan kerjanya pada antagonisme ini.

2.        Antagonisme Kimia.
Antagonisme kimia atau antagonisme dengan penetralan (netralisasi) adalah suatu bentuk antagonisme, yang dalam peristiwa ini antagonis bereaksi secara kimia dengan agonis dan kemudia menginaktifkannya. Jenis antagonisme ini juga sering berguna pada penanganan keracunan. Antagonisme kimia terjadi pada fase toksokinetik.

3.        Antagonisme non-kompetitif.
Pada antagonisme non kompetitif, antagonis mengganggu timbulnya efek oleh agonis. Tanpa bereaksi sendiri dengan agonis ataupun reseptor spesifiknya. Hal ini berarti bahwa suatu antagonis non kompetitif bekerja pada salah satu tingkat reaksi biokimia atau biofisika, yang ada setelah interaksi agonis-reseptor menuju efek sesungguhnya. Beberapa antagonis non kompetitif dengan cara kerja yang berbeda dapat saja mengantagonisasi agonis yang sama, sedangkan satu antagonis non kompetitif dapat pula mengantagonis (melawan) berbagai agonis dengan tempat kerja yang berbeda. Sejumlah antidot terutama yang digunakan untuk penanganan simptomatik keracunan, bekerja sebagai antagonis non kompetitif.

4.      Antagonisme fungsi.
Yang dimaksud dengan antagonisme fungsi adalah jika efek suatu agonis diperlemah oleh efek berlawanan dari agonis lain yang bekerja pada sistem sel yang sama tetapi pada reseptor yang berlainan.

5.      Antagonisme fisiologi.
Antagonisme fisiologi mirip dengan antagonisme fungsi. Disini juga terjadi antagonisme antara dua agonis, tetapi agonis bekerja pada sistem sel yang berbeda dan menimbulkan efek berlawanan pada sistem sel ini sehingga efek yang diukur merupakan resultante kedua efek tersebut.

b.    Sinergisme
Berbagai jenis sinergisme terjadi pada interaksi selama fase eksposis dan toksokinetik. Misalnya, sinergisme antara suatu tokson dengan zat, yang meninggikan absorpsinya atau yang menghambat inaktivasi biokimia atau ekskresinya. Sinergisme lain yang juga terjadi pada fase toksikokinetik, ialah naiknya pembentukan metabolit toksik oleh senyawa yang menaikkan kapasitas sistem enzim di hati dengan induksi. Sedangkan sinergisme pada fase toksikodinamik terutama sinergisme zat karsinogenik dan mutagenik.

REFERENSI
1.   Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

2.   E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar. Terjemahan oleh Yoke R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

3.   Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Terjemahan oleh Edi Nugroho. Jakarta: Universitas Indonesia Press. ¨ H.J. Mukono. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.

4.   J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post