Permintaan maaf adalah kata yang selayaknya
sering diucapkan untuk melanggengkan hubungan suami isteri, sehingga bahtera
rumah tangga berhasil mencapai tujuan. "Duhai sayang, maafkan
saya"... "Aku tiada bermaksud demikian"... "Aku telah salah
dalam memberikan hakmu" ... adalah ungkapan-ungkapan yang sering kita
gunakan tetapi memiliki satu makna, yaitu meminta maaf yang merupakan terminal
yang pasti akan kita lalui dalam melanggengkan kehidupan suami istri dari
keruntuhan dan kehancuran.
Sesungguhnya suami isteri secara bersama,
masing-masing memiliki saham dalam keberhasilan dan kebaha-giaan keluarganya,
lalu kenapa salah seorang di antara mereka berdua memunculkan kalimat
"kebencian" pada saat muncul masalah!!! Andai salah seorang dari
mereka berdua berbuat salah, lalu ia meminta maaf kepada pasangannya, apakah
hal ini akan menghinakan dirinya? Jika seperti itu sikap suami isteri, tentulah
kehi-dupan mereka akan mengalami satu dari dua hal: mungkin akan langgeng rumah
tangganya tetapi kurang harmonis dan banyak perselisihan, dan mungkin juga akan
berujung kepada hancurnya kehidupan suami isteri, cerai.
Kehidupan suami isteri itu ibarat sebuah kapal
yang sedang berlayar, padanya ada nahkoda dan awak kapal. Semua yang ada di
dalam kapal itu bahu-membahu berusaha menyelamat kan kapal yang mereka tumpangi
pada saat saat kapal ditimpa badai agar semu anya selamat dan sampai ke
"pulau idaman".
Demikian juga halnya suami, Allah menjadikannya
sebagai pemimpin bahtera rumah tangga, pelindung, dan pengayom bagi keluarga,
bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Kepe-mimpinan yang diembannya itu
adalah tugas,bukan intimidasi atas kesewe-nang-wenangan. Maka suami yang baik
adalah orang yang memahami kebutuhan dan perasaan isterinya, dan menjadikan
tampuk kepemimpinannya penuh dengan kasih sayang, kesejukan dan kedewasaan,
tidak mudah emosi, namun tetap tegas pada saat harus bersikap tegas !!!
Akan tetapi, sebagian suami yang meremehkan tugas
ini memahami, bahwa meminta maaf kepada istri akan menghinakan dirinya sebagai
laki-laki, bahkan ia berpendirian bahwa kemu-liaannya tidak membolehkan dirinya
untuk mengucapkan kalimat "Istriku, maafkan aku, aku salah" kepada
isteri-nya, bagaimanapun keadaannya. !!!
Maka, keegoannya terus ia pertahankan dan istri
selalu diposisikan “bersalah”, ia tidak pernah meminta maaf kepadanya, yang
kemudian menyeretnya kepada kehancuran rumah tangga dan kalimat
"cerai" pun tak terhindarkan, padahal sangat mungkin rumah tangga itu
bisa dilang-gengkan dengan ucapan "maafkan suamimu, sayang".
Ketika “Rasa Gengsi” Ikut Campur
Seorang istri pernah menceritakan tentang
pengalamannya:
Dahulu, kehidupanku bersama suamiku demikian
bahagia. Akan tetapi itu semua berubah ketika terjadi beberapa percekcokan
tentang urusan rumah. Waktu itu aku tinggal bersama di rumah mertuaku, maka aku
memutuskan untuk pindah dan keluar dari rumah mertuaku, walaupun sendirian.
Suamiku menolak rencanaku dan menjelaskan, bahwa ia suatu hari nanti akan bisa
memiliki rumah sendiri. Dan terkadang suamiku memberi alasan tidak bisa
meninggalkan ibunya, dan lain-lain, sampai suatu hari, terjadilah perselisihan
antara aku dengan suamiku. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah
mertuaku dan kembali ke rumah orang tuaku, dan aku katakan, jangan menjenguk
atau menjemputku sebelum engkau memiliki rumah sendiri. Maka, aku dan suamiku
pun sama-sama bersikukuh dengan pendirian masing-masing.
Dan sungguh aku pun akhirnya menyesali
perbuatanku. Akan tetapi aku ingin mengetahui sejauh mana kedudukanku di sisi
suamiku. Ternyata, suamiku bersikukuh tidak mau memaafkanku dan tidak berusaha
meredakan suasana. Ia mengatakan, "Bertobatlah kepada Allah, dan
kembalilah ke rumah ini, jika kamu tidak mau tobat, maka cukup bagiku untuk
menceraikanmu. Demikianlah kepribadian kebanyakan suami, dan sangat sedikit
yang bersikap dewasa. Bahkan di antara mereka ada yang sampai tidak mau
mengasihi dan menyayangi isterinya, walaupun hanya dengan satu kata yang
dicintai isterinya apalagi sampai mau memaafkan isterinya tersebut.
Seorang istri lagi menuturkan: "Para suami
kita, sangat disayangkan sekali, mereka sangat mudah meng-ungkapkan
kata-katanya kepada kita, kecuali "ungkapan maaf", bagaimana pun
keadaannya. Suamiku sangat temperamental, tabiatnya keras dalam mempergauliku.
Ia selalu mengucapkan ungkapan-ungkapan kasar kepadaku, bahkan ia pun pernah
memukulku. Dan aku tetap bersabar sekalipun aku dalam posisi yang benar. Tetapi
suamiku tidak mau mengubah pendiriannya sampai akhirnya aku yang meminta maaf
kepadanya, baik yang salah adalah aku ataupun sebaliknya. Dengan berlalunya
waktu sekian tahun, sikap suamiku kepadaku bertambah jelek, hingga memupus
kesabaranku. Setelah terjadi perselisihan antara aku dan suamiku, aku
memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku. Aku menunggu, semoga suamiku mau
datang dan meminta maaf atas perilakunya selama ini atau barangkali ia mau
menelponku. Akan tetapi ia tidak melakukan itu semua, sampai aku mendengar
tentang dirinya, ia merasa selama ini bersalah, kini menyesal atas perbuatannya
yang telah menzhalimi aku. Akan tetapi, ia tidak mau meminta maaf kepadaku,
karena keegoisan dan kegengsiannya serta merasa menjadi hina dengan hal itu.
Hingga terjadilah cerai atas permintaanku.
Adapun kisah Abu Khalid, ia mengatakan,
"Habis sudah kehidupan ku bersama isteriku, padahal aku men-cintainya,
akan tetapi dengan sebab ketidakharmonisan, dan aku enggan meminta maaf
kepadanya, hingga akhirnya aku menerlantarkan anak-anakku hidup tanpa ibu.
Masalahnya adalah, bahwa isteriku adalah karyawati. Maka, aku katakan padanya berkali-kali untuk meninggal kan pekerjaannya dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Akan tetapi isteriku menolak membicarakan masalah itu. Dan ketika aku larang dia berangkat ke kantor, terjadilah per-selisihan antara aku dengan dia. Dan aku terpeleset salah dalam berkata, aku mengatainya agak lama, maka ia pun pergi pulang ke rumah orang tuanya. Maka, ia pun mengingatkan agar aku meminta maaf dan mengetahui kesala-hanku ketika mengatai dirinya. Akan tetapi aku menjadi sombong dan aku pun menceraikannya hanya untuk mempertahankan harga diriku sebagai laki-laki. Kini aku benar-benar menye-sal dengan penuh penyesalan.
Terapi Jiwa Adalah Solusinya
Dr. Najwa Ibrahim, seorang Guru besar Psikologi
menjelaskan, bahwa pendidikan dan latar belakang hidup seseorang bisa berdampak
sangat penting dalam cepatnya dia meminta maaf atau tidak. Beliau berkata, di
antara sebab-sebabnya adalah sebagai berikut:
- Metode pendidikan yang telah memberi pengaruh kepadanya sehingga dia begitu sulit meminta maaf atau mengungkapkan kata "maaf" .
- Diantara metode ini adalah metode yang ditanamkan kepada kita ketika kecil dalam meminta maaf, baik suka atau tidak. Meminta maaf dikaitkan dengan emosi dan dari pihak yang kalah.
- Pandangan atau keyakinan yang tidak rasional yang tertanam didalam fikiran kita dan begitu besar dampaknya adalah "bahwa laki-laki tidak boleh meminta maaf kepada perempuan";
- Anggapan, orang yang meminta maaf itu lemah kepribadiannya.
Maka, sudah semestinya seorang suami atau isteri
merasa, bahwa ketika perilakunya menimbulkan kemarahan atau melukai perasaan
pasangannya, ungkapan "maaf" lah yang bisa menghilangkan
"ketersinggungan hati dan mencairkan ketegangan". Meminta maaf pada
saat yang tepat juga bisa menghilangkan banyak hal yang bisa merusak hubungan
suami isteri, andai tidak segera dieliminir.
Meminta Maaf Adalah Sifat Jantan
Dr. Muhammad Musthafa, Guru Besar psikologi dan
sosiologi Univ. Malik Su'ud, mengatakan bahwa meminta maaf adalah merupakan
wujud sifat jantan dari seorang suami atau siapapun yang berbuat salah. Meminta
maaf bukan sifat yang dimiliki oleh orang yang lemah, sebagaimana persangkaan
sebagian orang, di mana mereka mengatakan:
Semua orang pernah berbuat salah, namun sedikit orang yang jantan meminta maaf dari kesalahannya kepada orang lain. Apalagi jika yang dimintai maaf itu adalah isterinya. Sebab, setiap suami berbeda-beda cara dan tabiatnya. Sebagian meminta maaf dengan cara tidak langsung akan tetapi mencapai tujuan dan sebagian meng-hindar dari masalah yang ia alami karena demi masa depan dan kejiwaan anak-anaknya yang akan hancur bila mereka berpisah. Ada sebahagian suami yang berlebih-lebihan, ia menolak meminta maaf karena gengsi dan egois, padahal para pakar psikososial menyatakan bahwa meminta maaf bukanlah hal yang jelek. Maka, meminta maaf adalah sesuatu yang mesti dilakukan, dan bagi orang yang bersalah lebih ditekankan lagi. Apabila seseorang berbuat salah, maka tidak ada yang layak baginya selain meminta maaf.
Orang yang bersikukuh menolak meminta maaf kepada
pasangannya dengan alasan akan mengurangi kehormatannya, maka orang yang
demikian terkena penyakit jiwa. Sebab, diantara sifat kemuliaan adalah meminta
maaf ketika berbuat salah kepada orang lain.
Ada Apa Dengan Sifat Laki-Laki
Sifat kejantanan mengarahkan seseorang untuk
meminta maaf jika berbuat salah kepada isterinya atau kepada orang lain. Sebab
jantan berarti jujur dan luhurnya budi pekerti. Di saat seorang suami meminta
maaf, maka ia tidak jatuh di mata isterinya atau akan jatuh harga dirinya sebagaimana
gambaran sebagian suami. Bahkan itu akan mengangkat kedudukannya di mata
isterinya; sebab itu akan menjadi pelajaran dalam amanah dan keluhuran budi dan
kehormatan itu sendiri. Maka, meminta maaf bukan merupakan kelemahan, bahkan
kelemahan itu sendiri adalah seseorang menyembunyikan kesalahannya dan
berlindung dibalik kesombongan dan bersikukuh dengannya.
Dan banyak problem suami isteri diawali dengan
adanya kesombongan sang suami dan enggan untuk meminta maaf kepada isterinya
ketika ia mema-rahi sang isteri. Maka, sudah semesti-nya para suami ingat,
bahwa dengan ia meminta maaf atas kesalahan kepada isterinya, akan bisa
mengembalikan "air" ke dalam alirannya, mengemba-likan perasaan
romatis, merekahnya kecintaan di antara kalian berdua, walaupun sifat
kelaki-lakianmu merasa enggan untuk itu.
Mintalah maaf kepada istrimu atas kesalahan dan kelalaianmu, wahai para suami! Walau tidak kau sampaikan secara langsung. Sebab dengan itu rumah tangga akan menjadi damai, sejahtera dan harmonis. Semoga!
Sumber: Majalah ad Dakwah, dengan beberapa
pengurangan sub bab dan kalimat
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.