Pengertian Hukum Agraria
Hukum Agraria pasti berbicara tentang hukum
soal tanah, demikian kebanyakan kita berpikir mengenai agraria yang sering
diperbincangkan. Karena istilah agraria memang identik dengan persoalan tanah.
Demikian pula dengan hukum agraria. Ketika mendengarnya kita langsung
menyamakan dengan pengaturan atas tanah berdasarkan peraturan yang ada. Dan hal
ini tidak sepenuhnya salah ketika mengidentikkan hukum tentang tanah dengan
hukum agraria.
Hukum Agraria dalam ilmu hukum sebenarnya memiliki
pengertian yang lebih luas. Dalam bahasa latin, agraria yang sering di sebut
dengan “ager” mempunyai arti tanah atau sebidang tanah. Dalam bahasa latin pula
kata “agrarius” berarti persawahan atau perladangan atau bisa juga pertanian.
Jika kita buka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “Agraria”
berarti urusan pertanahan dan atau tanah pertanahan serta urusan pemilikan atas
tanah. Sedang dalam bahasa inggris istilah agraria atau sering disebut dengan
“agrarian” yang berarti tanah dan sering dihubungkan dengan berbagai usaha
pertanian.
Definisi tentang agraria yang demikian, sangat
berlainan dengan pengertian agraria yang termaktub dalam Undang-Undang Pokok
Agraria (Hukum Agraria) yang memberikan pengertian agraria dalam arti yang
lebih luas, ialah bahwa agraria meliputi bumi, air, dan dalam batas-batas
tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hukum agraria yang berarti sangat luas tersebut
berdasarkan berbagai rumusan dapat kita temukan dalam Undang-Undang Pokok
Agraria, baik di dalam konsiderans, pasal dan penjelasan Undang-Undang Pokok
Agraria atau sering kita sebut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA
No.5/Tahun 1960).
Beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para
ahli dalam menerangkan tentang hukum agraria diantaranya adalah: Gouwgiokssiong
dalam Buku Agrarian Law 1972, mendefinisikan bahwa hukum agraria merupakan
hukum yang identik dengan tanah, hukum agraria dalam arti yang sempit.
Dalam buku Pengantar dalam Hukum Indonesia 16, E.
Utrecht memberikan pengertian yang sama terhadap hukum agraria dan hukum tanah.
Dia berpendapat bahwa hukum agraria (hukum tanah) menjadi bukum tata usaha
negara
W.L.G Lemaire dalam buku Het Recht in Indonesia
1952 membicarakan hukum agraria adalah suatu kelompok hukum bulat yang meliputi
bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi
negara.
Sedang Bachsan Mustafa, SH., memberikan
pengertian bahwa hukum agraria adalah sebagai himpunan peraturan yang mengatur
bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan tugas di bidang
keagrariaan.
Dan Boedi Harsono, memberikan pengertian terhadap
hukum agraria bahwa hukum agraria bukan hanya satu perangkat bidang hukum
semata. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum yang mengatur
penguasaan atas berbagai sumber daya alam tertentu yang termasuk di dalam
pengertian agraria.
Dari berbagai pengertian tentang hukum agraria di
atas, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya hukum agraria mempunyai pengertian
baik dalam pengertian hukum agraria secara luas maupun pengertian hukum agraria
secara sempit.
Azas Hukum Agraria
Hukum agraria di Indonesia menggunakan berbagai
azas antara lain ialah:
Hukum agraria berasaskan nasionalisme dimana
hanya warga negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang
boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan
antara laki dan perempuan serta warga negara asli dan keturunan.
Hukum agraria berazaskan hukum adat, mengandung
maksud bahwa hukum adat yang digunakan dalam hukum agraria adalah hukum adat
yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya
Hukum agraria berasaskan dikuasai oleh negara,
seperti yang termaktub dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
tahun 1960 yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hukum agraria berazas fungsi sosial, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang
menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang
lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan.
Hukum agraria berazas gotong royong, disebutkan
dalam pasal 12 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan
bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan
bersama dalam rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau dalam
bentuk usaha gotong royong lainnya dan negara dapat bersama-sama dengan pihak
lain untuk menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.
Hukum agraria berdasarkan azas kebangsaan
menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia baik asli maupun warga Indonesia
keturunan berhak memiliki hak atas tanah.
Hukum agraria berdasar azas unifikasi, menyatakan
bahwa hukum agraria disatukan dalam sebuah undang-undang yang diberlakukan bagi
seluruh warga negara Indonesia, yang berarti hanya ada satu hukum agraria yang
berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Pokok Agraria.
Hukum agraria berdasar azas non-diskriminasi
dengan tegas menyebutkan bahwa azas yang melandasi hukum agraria (Undang-Undang
Pokok Agraria) adalah bahwa undang-Undang Pokok Agraria tidak membedakan antara
sesama warga negara Indonesia baik yang asli maupun keturunan asing.
Hukum agraria berdasar atas azas pemisahan
horizontal. Terdapat pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda
atau bangunan yang terdapat diatas tanah tersebut. Asas ini merupakan lawan
asas vertikal atau asas perlekatan yang menyatakan bahwa segala apa yang
melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu bagian dengan benda tersebut
dianggap menjadi satu dengan bagian tersebut atau dengan kata lain tidak
terdapat pemisahan antara hak atas tanah dengan bangunan yang terdapat
diatasnya.
Sumber Hukum Agraria
Sumber hukum agraria yang tertulis pertama ialah
Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sumber hukum agraria
tertulis berikutnya adalah Undang-Undang Pokok Agraria, dimana Undang-undang
ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam
Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara nomor 2043, kelak pada tanggal tersebut diperingati sebagai
hari tani nasional.
Sumber hukum agraria tertulis lainnya adalah
peraturan pelaksanaan UUPA dan peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak
diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktek. Selain juga peraturan lama, tetapi
dengan syarat tertentu berdasakan peraturan atau pasal peralihan yang masih
berlaku.
Sedang sumber hukum agraria yang tidak tertulis
ialah kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya
Konsepsi Hukum Agraria
Setidaknya ada lima kelompok yang membedakan
tentang hukum agraria di Indonesia. Ada hukum tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan ataas tanah dalam arti bumi. Ada hak air yaitu aturan hukum yang
mengatur hak-hak atas air. Ada hukum pertambangan atau hukum yang mengatur hak
atas kekayaan alam yang terkandung dalam air. Ada hukum perikanan yaitu hukum
yang hak atas kekuasaan alam dalam air. Dan hukum penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa. Serta hukum kehutanan adalah atuan yang
mengatur hak-hak penguasaan atas hutan.
Konsepsi hukum agraria bersifat religius
disamping hak bangsa Indonesia baik hak milik yang mempunyai kedudukan paling
tinggi yang meliputi seluruh tanah yang ada di Indonesia dan bersifat abadi
juga hak menguasai negara. Seperti termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 dan pasal
2 ayat 2 UUPA mengatakan bahwa negara mengatur dan menyelenggarakan peruntukan
pengguna, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, bumi, air dan ruang
angkasa.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Jadi, kesimpulan dari
hukum agraria adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai agraria (pertanahan).
Sejarah Politik Hukum Agraria
Politik hukum agraria pada Zaman Kerajaan yang
terjadi adalah politik hukum agraria yang diusahakan sebesar-besarnya bagi
kerajaan. Raja biasanya memberikan tanah kepada para hambanya yang dianggap
berjasa bagi kerajaan, mereka yang berjasa tersebut yang diberi kewenangan
untuk mengelola dan hasilnyapun harus diserahkan kepada kerajaan atau
istilahnya dipotong pajak istana.
Sedang politik hukum agraria pada zaman
penjajahan, pemanfaatan tanah penjajahan hanya diperuntukkan semata-mata buat
pemerintah Hindia Belanda dalam peraturan Agrariche wet 1866 & Agrariche
bescuet. Dimana dalam hukum agraria tersebut setidaknya ada empat bagian
mengenai hak atas tanah. Hak erfact adalah tanah yang dikuasai oleh penguasa
penjajah. Hak milik atau eigendom yaitu tergantung pada sifat mutlak kepada
pemiliknya sepenuh untuk didaftarkan. Hak Obstal atau hak guna bangunan yaitu
bangunan yang ada pada suatu tanah, diberikan kepada pemerintah dari negara
Eropa.Tanah partikiler adalah tanah yang dimiliki oleh eigendom yang memiliki
sifat dan seni khas tersendiri.
Politik hukum agraria yang demikian tersebut
dikarenakan adanya suatu badan perdagangan yang dibentuk oleh pemerintah
Belanda yang di beri nama VOC. Yang kemudian mengeluarkan sebuah hukum agraria
sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap pertanahan, dimana orang pribumi
asli harus mengeluarkan beberapa persen pajak hasil dari pertaniannya kepada
pemerintah Belanda. Politik hukum agraria ini dianggap merugikan bangsa
indonesia karena penggunaan dan kepemilikan tanah lebih dipentingkan kepada
pengusaha-pengusaha besar bangsa eropa.
Perkembangan politik hukum agraria selanjutnya
pada tanggal 31 Desember 1779 VOC dibubarkan dan digantikan oleh Batetse
republik. Dan mulai tanggal 01 Januari 1800 Indonesia dijadikan bagian bagian
dari wilayah negara Belanda yang di sebut dengan Nederland Hindi atau Hindia
Belanda. Setelah VOC dibubarkan, kebijakan Politik hukum agraria diambil dan
dipimpin oleh B.W Dendels. Semua hasil pertanian pribumi dijula kepada
pengusaha –pengusaha besar dari Belanda sendiri maupun negera-negara lainnya.
Pada saat itu tanah-tanah yang menjadi sasaran kebijakan tersebut dinamakan
tanah Parthikuler yang keperuntukannya deberikan kepada bangsa penjajah.
Politik hukum agraria dari Dendels kemudian
digantikan oleh Janssen. Namun tidak jauh berbeda dengan politik hukum agraria
sebelumnya, politik hukum agraria pada massa Janssen ini juga masih tetap
merampas hak-hak kekayaan masyarakat pribumi. Setelah Dendels, politik hukum
agraria kemudian digantikan oleh Ravles dengan membentuk sebuah hukum agraria
yang berbunyi, semua hak-hak pertanahan adalah milik raja. Penerapan pajak
tanah atau domeen laudrent dijadikan dasar dalam memberlakukan pertanahan
sebagai ketentuan tanah yang dikuasai atau diterapkan oleh Ravles adalah milik
raja.
Politik hukum agraria saat itu, petani membayar
pajak tidak berdasar pada luasan lahan yang digarap, melainkan pendapatannya
diberikan kewenangan oleh kepala desa yaitu siapa yang lebih besar membayar
pajak, lahan yang digarap akan semakin luas. Sedang yang membayar pajak lebih
sedikit maka garapannya semakin dipersempit. Hal ini sangat berbeda dengan
keadaan zaman sekarang dimana orang yang memiliki lahan pertanian luas maka ia
wajib membayar pajak lebih. Oleh Vand de Bosch, politik hukum agraria yang
digulirkan oleh Ravles tersebut kemudian diganti dengana hukum agraria yang
ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Kepemimpinan hukum agraria oleh van den
Bosch ini tepatnya pada tahun 1816- 1830. Kelak hukum agraria van den Bosch ini
kita kenal sebagai sistem tanam paksa. Karena ternyata semua jajahan diwajibkan
untuk menanam tanaman-tanaman tertentu yang dibutuhkan di pasar internasional
seperti kopi, teh, panila dan lain sebagainya.
Politik hukum agraria ini sangat merugikan bangsa
pribumi karena tujuannya hanya untuk membangun negeri Belanda. Perkembangan
politik hukum agraria selanjutnya pada tahun 1870 menjadi titik balik dari
berlangsungnya sejarah politik hukum agraria belanda. Dengan diberlakukannya
politik hukum agraria stat blad tahun 1870 nomor 55 yang memberikan kemungkinan
atau jaminan modal yang besar pada wiraswasa asing agar tumbuh di Indonesia dan
melindungi hak-hak rakyat atas tanah. Hukum agraria yang demikian itu terutama
dapat di temukan dalam pasal 51 yang terdiri dari dan berasal dari pasal 63
saat itu. Hukum agraria yang diatur dalam pasal 51 menjelaskan bahwa gubernur
jenderal tidak boleh menjual tanah. Larangan menjual tanah ini terutama tanah
perluasan, namun gubernur jenderal masaih dapat menyewakan tanah. Sedang
tanah-tanah yang diberikan kepada petani pribumi dilakukan sebagai tempat usaha
pengembalaan. Masa berlakunya ordenansi menurut hukum agraria saat itu
ditetapkan selama 75 tahun. Dimana dalam hukum agraria tersebut ditegaskan
bahwa gubernur Jenderal diharapkan mampu menjaga jangan sampai ada pemberian
tanah yang melanggar hak-hak rakyat. Hukum agraria lainnya adalah Deginsel
Domein Verklaring terutama Pasal 1 yang menyebutkan bahwa semua tanah-tanah
yang dikuasai oleh penduduk peribumi yang tidak dapat dibuktikan oleh
kepemilikannya adalah milik negara. Hukum agraria Domain Verklaring ini
membuktikan bahwa tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat pribumi dan tidak
bisa memabuktikannya, maka tanah tersebut adalah milik pemerintah Hindia
Belanda.
Politik hukum agraria pada jaman Hindia Belanda
dengan asas Domein dan Agrarische Wet dengan jelas membuktikan bahawa hukum
agraria tersebut ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula
Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan
dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian
dan perlindungan. Politik hukum agraria menurut Agrarische Wet pemerintah
Hindia Belanda bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur
tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia
merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa.
Hukum agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3). Sedang UUPA No 5 Tahun 1960
mengatur hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang udara
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hubungan hukum agraria antara negara sebagai
organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat indonesia adalah atas dasar hak
menguasai, maka negara dapat menentukan bermacam-macam hak atas tanah, mengatur
pengambilan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, membuat perencanaan
mengenai penyediaan, peruntukan dan penggunaan Bumi Air Ruang Angkasa yang
terkandung di dalamnya, mencabut hak-hak atas tanah untuk keperluan kepentingan
umum, menerima kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, dilepaskan, subyek hak
tidak memenuhi syarat dan mengusahakan agar usaha-usaha di lapangan agraria
diatur sedemikian rupa sehingga meningkatkan produksi dan kemakmuran
rakyat.
Hukum agraria yang bertujuan dalam memberikan hak
menguasai kepada negara ialah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat,
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak negara
untuk menguasai pada hakekatnya memberi wewenang kepada negara untuk: mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi
air ruang angkasa.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah dalam hukum
agraria ialah hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi
atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UU ini dan
peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Landasan Hukum Agraria
Landasan Hukum Agraria ialah ketentuan
Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan
hukum agraria nasional. Hubungan hukum agraria Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA
adalah dimuatnya pasal tersebut dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan
dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi
pengaturannya. bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan
pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal
33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang
ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan
Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua
tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Dalam penjelasan UUPA angka 1 disebutkan bahwa hukum
agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian,
Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan
Garis-garis Besar Haluan Negara.
Pengaturan hukum agraria dalam UUPA yaitu
untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan
dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan
GBHN. Hukum agraria UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional
yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum
bagi bangsa dan negara
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.