Blogger Kalteng

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة



BAB I
PENDAHULUAN

As-siyasah merupakan kebijakan dan wewenang pemerintah untuk melakukan tindakan atas dasar kemaslahatan, meskipun tanpa dilandasi dasar partikular (dalil juz’i). Hukum siasah yang adil (as-siasah al-adilah) konsep hukum yang mengandung prinsip pokok yaitu mencegah semua bentuk pengananiayaan, melindungi hak rakyat, menindak pelaku kejahatan, dan mewujudkan cita-cita syariat (maqosid as-syariah).
            Seperti diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum islam yang objek bahasannya tentang kekuasaan. Apabila disederhanakan , fiqh siyasah meliputi hukum negara,  hukum internasional, dan hukum ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqh siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam ruang lingkup satu negara atau antar negara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.
Pemerintah (al-imam) dalam tatanan syariat adalah sebuah intitusi yang sangat menentukan kelangsungan hukum dan segala bentuk aturannya demi terciptanya kesejahteraan umat. Menjadi pemegang amanat yang dipercaya umat untuk mengatasi segala gangguan terutama dalam bidang hankam (pertahanan keamanan) (Team Pembukuan Manhaj,2005:207) . Kebijakan pemerintah dalam setiap aspek kehidupan bernegara, menurut tatanan syariat harus selalu mengandung muatan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat. Karena kewajiban untuk patuh pada pemegang urusan umat terutama pemerintah terutama dalam kacamata syariat, selalu diselaraskan dalam wujud tidaknya sebuah nilai kemaslahatan umum.


BAB II
PEMBAHASAN

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“Tasharruf (tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi’i:

 Kedudukan Imam terhadap  rakyat adalah  seperti  kedudukan wali  terhadap  anak yatim”.
Menurut beliau, fatwanya adalah  berasal dari fatwa Umar  bin Khattab RA yang diriwayatkan  oleh Sa’id  bin Mansur dari Abu Ahwash  dari Abi Ishaq dari Barro’ bin  ‘Azib:
إنى انزلت نفسى من مال الله منزلة ولى اليتيم إن احتجت أخذت منه وإذا أيسرت رددته وإذا استغنيت استعففت.
“Sungguh aku menempatkan  diriku terhadap  harta Allah  seperti  kedudukan wali  terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan  apabila  ada  sisa  aku kembalikan. Dan apabila  aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya (menahan diri dari padanya)” (Assuyuty,82).
Secara  umum  sesungguhnya  kaidah  ini  sudah  termasuk  dalam  kandungan  Hadits Nabi SAW:
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيت
Masing-masing  dari kamu  adalah penggembala, dan tiap-tiap penggembala  dimintai pertanggung  jawaban  atas  penggembalaannya”.
Lapangan pelaksanaan kaidah ini adalah dalam bidang-bidang  yang  menyangkut  bidang pemerintahan dan kebijaksanaan dalam hubungannya dengan rakyat,  sehingga  memberikan  pengertian  bahwa setiap tindakan atau  kebijaksanaan  yang menyangkut dan mengenai hak-hak  rakyat  harus dikaitkan dengan  kemaslahatan  rakyat  banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan.  Dengan demikian  tindakan  penguasa  yang hanya  sekedar  menuruti  hawa  nafsu serta kesenangan  sendiri dan tidak  membawa  kebaikan  pada rakyat  adalah  tidak  dibenarkan.
Menurut Dr. Muhammad al-Bauny dalam karanganya yaitu al-Wajiz fi Idohi qawaid alfiqh alkulliyyah bahwa dalil tentang qoidah di atas adalah  hadis nabi yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Imam Muslim  yaitu:
ما من عبد يسترعيه الله عز وجل رعية يموت وهو غاش رعيته إلا الله عليه الجنة
“Tidak ada seorang hamba yang diberi kekuasaan oleh Allah atas rakyat lalu dia meninggal dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya surga.”
Adapun dalil yang lainya adalah hadist Nabi saw:
ما من أمير يلي أمور المسلمين ثم لم يجهد لهم وينصح لهم كنصحه وجهده لنفسه إلا لم يدخل معهم
 “Tidak ada seorang pemimpin yang memegang kaum muslimin kemudian dia tidak berupaya keras untuk mereka dan tidak memberikan nasehat, melainkan dia tidak masuk surga bersama mereka” (Zaidan, 2008: 155).
Pengertian Kaidah                                                                  
Menurut bahasa, lafad الرعية   itu bermakna bahwa setiap orang yang berada di bawah kekuasaan manusia dan sedangkan lafad منوط berasal dari musytaq isim maf’ul dari fi’il madli نيط  yang bermakna berhubungan. Sedangkan makna istilahnya adalah sesunguhnya  tindakan  seorang imam  atau seorang wali pada suatu urusan umat Islam itu bergantung pada kemaslahatan ummat (Muhamma Sidqi,1996: 348).
Makna Kaidah
Didalam penjelasan kaedah ini diterangkan bahwa karena pemimpin kaum muslimin memiliki wilayah pengawasan atas rakyat secara umum dan dalam urusan-urusan umum, maka tindakan dan kebijaksanaannya terhadap rakyat harus berdasarkan kemaslahatan umum. Oleh karena itulah, perintah-perintahnya harus sesuai dengan kemaslahatan-kemaslahatan rakyat. Sebab, sesungguhnya kepemimpinan diberikan kepadanya untuk kemaslahatan, menjaga darah, kehormatan, dan harta rakyat (Zaidan Karim,2008;156).
Rakyat adalah mereka yang berada dibawah orang yang diangkat oleh syara’ untuk memimpin dan menguasai mereka. Maka dalam konteks pemimpin masuk sultan dan hakim serta seluruh para pemegang urusan pemerintahan, mulai dari para pejabat, para pegawai, dan setiap orang yang memegang urusan orang lain.
Contoh :
1)  Pembagian zakat terhadap delapan  golongan (asnaf tsamaniyah) oleh petugas ‘amil  tidak boleh  dilebihkan yang satu di atas yang lain dalam kondisi yang sama kepentingannya.
2) Penguasa tidak boleh mengangkat orang fasiq menjadi imam shalat, sekalipun sah makmum  dibelakangnya,  karena  hanya  makruh saja. Dalam  hal  seperti  ini  penguasa  harus  benar-benar  memperhatikan  kemaslahatan. Kalau tidak,  akan mendorong  orang gampang  dan  ringan  memandang  hal-hal  yang  makruh.
3)   Masih di dalam konteks contoh tersebut, pemerintah tidak boleh  mengangkat seseorang yang tidak memiliki keahlian untuk suatu  jabatan, sedang  tenaga  profesi  yang  diperlukan  untuk  jabatan  itu  ada. Menempatkan orang  yang bukan ahlinya  pasti mengakibatkan  ketidak-suksesan   dalam  mewujudkan  kemaslahatan atau kepentingan umum.
4) Pemerintah boleh menggusur  perkampungan  rakyat untuk  kepentingan  sarana umum dengan memberikannya ganti rugi yang memadai.



DAFTAR PUSTAKA

Aziz Abdul, Muhammad Azzzam. Qawaid al-fiqqiyah. Kairo: Dar al-Hadits, 2005
Depag. Terjemah Al-Qur’anul karim. Madinah: Maktabah Malik Mahad fad, 1990.
Djazuli, A.Prof. H. Kaidah-kaidah fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Grup, 2010.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post