Rancangan
Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sudah sejak 2010
disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sesuai kesepakatan antara
Komisi II DPR dengan Kemendagari, RUU Pilkada akan diselesaikan sebelum
penyelenggaraan Pemilu 2014. Dengan demikian pilkada pasca-Pemilu 2014 sudah
menggunakan undang-undang baru.
Naskah akademik
RUU Pilkada menyebutkan tiga tujuan: pertama, memberikan arahan dalam
penyusunan norma-norma pengaturan dalam undang-undang tentang pemerintahan
daerah; kedua, menyelaraskan pengaturan norma dalam undang-undang sesuai
dengan norma akademis, teoritis dan yuridis; ketiga, memberikan
penjelasan mengenai kerangka pikir dan tujuan norma-norma pengaturan dalam
undang-undang tentang pemilihan gubernur dan bupati/walikota.
RUU Pilkada
terdiri atas 7 bab dan 181. Dalam RUU ini terdapat dua ketentuan baru yang
berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004: pertama, pilkada hanya
memimilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil gubernur dan wakil
bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS; kedua, gubernur dipilih
tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi.
Pengesahan RUU Rancangan Undang-Undang Pilkada menjadi
Undang-Undang Pilkada 25 September 2014 oleh DPR adalah merupakan hal yang menjadi penting untuk tahun-tahun
berikutnya mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah langsung oleh rakyat
atau pun melalui Pilkada oleh DPRD.
Totalnya, terdapat 361 anggota DPR RI yang memberikan
suaranya, termasuk 6 anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD). Dalam paripurna itu,
FPD sebelumnya memutuskan walk out. Hanya saja 6 anggotanya masih bertahan
karena mendukung opsi pilkada langsung.
Sedangkan hasil akhir dari voting itu adalah 135 anggota DPR
mendukung pilkada secara langsung dan 226 anggota DPR memilih mekanisme pilkada
lewat DPRD. Artinya, mekanisme pilkada yang selama langsung oleh rakyat akan
dikembalikan lagi ke mekanisme melalui DPRD sebagaimana pernah dipraktikkan
sebelum 2004.
Isi
Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah
Berikut beberapa point penting yang terdapat pada pengesahan RUU Pilkada Menjadi UU Pilkada antara lain adalah
sebagai berikut :
Pilkada Serentak; Pemerintah mengusulkan
pelaksanaan pilkada serentak pada 2015 dan 2018. Pada 2015, dilaksanakan
pilkada serentak tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati dan wali kota yang
masa jabatannya berakhir di tahun tersebut. Pilkada serentak tahap kedua
berlangsung 2018 untuk gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya
berakhir tahun 2016, 2017 dan 2018.
Pengisian Wakil Kepala Daerah; Pengisian
wakil gubernur, bupati, wali kota melalui mekanisme pengangkatan oleh
pemerintah. Sebab wakil kepala daerah itu akan melaksanakan tugas jabatan administratif.
Politik Dinasti; Pemerintah
mengatur politik dinasti sedemikian rupa, agar terhindar uji materi di Mahkamah
Konstitusi (MK). Dalam RUU Pilkada, calon kepala daerah tidak boleh mempunyai
kepentingan langsung dan tidak langsung dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Kabupaten Kota.
Penyelesaian Sengketa Pilkada; Sengketa yang terjadi antar peserta pemilihan, lalu peserta pemilihan
dengan penyelenggara sebagai akibat dikeluarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang berkaitan penetapan calon kepala daerah, diselesaikan terlebih
dahulu di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Kalau tidak bisa, maka pihak yang merasa dirugikan bisa
mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN). Selanjutnya, penyelesaian sengketa yang timbul akan dilakukan
sesuai tahapan. Pengajuan gugatan yang diajukan ke PTTUN dilakukan setelah
seluruh upaya administratif di Bawaslu selesai.
Biaya Pilkada; Sumber
dana pilkada berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
tapi dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Pengaturan kampanye, difasilitasi dan diselenggarakan KPU
Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Hal tersebut dinilai penting untuk menghindari
kapitalisasi. APBN sendiri akan membiayai, debat publik, penyebaran bahan
kampanye, pemasangan alat peraga, iklan dan rapat umum.
Nuansa panas menjelang
pengesahan RUU Pilkada masih terasa, demo penolakan dimana-mana, alasan yang
substansial tentang kenapa harus di sahkan tak lantas diterima. UU Pilkada Tak langsung ditolak dengan alas an
yang sangat mendasar yakni memilih pemimpin adalah hak konstitusional rakyat,
UU Pilkada akan menyuburkan praktek korupsi karena ruang bermain politisi
semakin sempit dan menghambat regenerasi kepemimpinan nasional.
Pasca disahkannya UU Pilkada muncul episode baru yakni episode keputusan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu)
pilkada, dan dianggap berlebihan. Karena, tindakan itu malah semakin
memperkisruh polemik UU Pilkada. Kata fraksi Partai Golkar DPRD Jabar Yod
Mintaraga.
Ahli hukum tata negara dari
Universitas Indonesia, Refly Harun mengungkapkan Perppu hanya bisa diterbitkan
dalam keadaan genting. Menurut dia, kondisi yang ada saat ini sudah genting
lantaran UU Pilkada sudah mengancam demokratisasi yang dibangun 16 tahun
terakhir. "Ini alarm. Muncul kelompok oligarki baru, ingin menentukan
jabatan-jabatan bagi kelompoknya," ujarnya.
Di lain pihak Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie menuturkan tak ada guna Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono atau Pemerintah mengajukan uji materi Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah tak memiliki legal
standing atas undang-undang yang dibuatnya sendiri.
Menurutnya cukup masyarakat, LSM, akademisi
saja yang mengajukan uji materi UU Pilkada. Sehingga Pemerintah tak perlu repot
mengajukan karena sudah ikut membahas UU tersebut bersama DPR.
Saran Jimly, ada
dua cara yang bisa ditempuh. Pertama ada dua cara yang bisa dilakukan presiden
yakni mengkritik UU tersebut. Artinya, presiden menandatangani UU Pilkada
dengan catatan-catatan. "Presiden boleh mengritik undang-undang. Atau, Presiden SBY yang juga Ketua
Umum Partai Demokrat bisa menginstruksikan kadernya di DPR
mengubah UU itu melalui legislatif review.
Cara kedua,
dengan mengefektifkan upaya judicial review di MK. Jimly menyarankan, para
pihak yang mengajukan judicial review atau uji materi UU Pilkada harus
memperkuat argemen-argumennya. Bukan hanya melalui materi tapi juga menguji
formil UU. Pengujian
formil UU Pilkada meliputi prosedur pembentukan, prosedur pengesahan, bahkan
format undang-undangan itu.
Lalu, bagaimana komitmen semua
kalangan mendukung UU Pilkada? Hingga saat ini hanya segelintir kalangan yang
mendukung dan komitmen mendukung UU Pilkada, karena mereka menilai Pilkada
langsung tak banyak membawa manfaat dan perubahan, bahkan rakyat yang
seharusnya menggunakan hak pilihnya dengan hati nurani terjual oleh money
politic, kecurangan dimana-mana, dan tak jarang rakyatlah yang menjadi korban.
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.