Blogger Kalteng

POLEMIK RUU PILKADA (Wacana Pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota Oleh DPRD dalam RUU PILKADA)

RUU Pilkada merupakan topik yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Rancangan undang-undang pilkada ini dibuat untuk menentukan kepastian hukum terhadap evaluasi kebijakan pemilu-walaupun telah ada Bawaslu dan Panwas - yang dirasa belum dapat mengatasi beberapa masalah dalam proses pemilu. Pembahasan ruu pilkada ini telah dilaksanakan semenjak awal tahun 2012 namun, hingga saat ini pembahasan RUU ini belum juga rampung. Kerumitan serta tarik ulur kepentingan dalam pembahasan RUU Pilkada ini semakin lama semakin membuat ruu pilkada berujung pada kebuntuan.
RUU Pilkada membahas beberapa hal-hal penting yang mendasar dan berbeda dari Pilkada yang dilaksanakan selama ini. Salah satu hal yang paling krusial dalam pembahasan RUU PILKADA ini adalah penyelanggaraan serentak Pemilihan Kepala Daerah karena hal ini akan dianggap lebih efisien dan hemat anggaran. RUU ini juga membahas mengenai pembatasan wewenang calon incumbent dalam menggelonorkan dana bantuan sosal dan rotasi jabatan pegawai jelang PEMILUKADA. Pembatasan wewenang ini untuk mengurangi terjadinya kecurangan indikasi money politic. Pola yang biasa digunakan oleh calon Incumbent dalam meningkatkan elektabilitas dirinya adalah dengan cara memberikan dana bantuan sosial jelang pemilu serta rotasi pegawai.
Selain itu RUU Pilkada ini juga membahas terkait dengan dinasti politik kepala daerah. Pemerintah telah mengidentifikasi sebanyak 57 kepala daerah membangun dinasti politik lokal. Dan sejauh ini sebagian besar kandidat yang kerabat terpilih kembali. Namun, sebagian pengamat politik menyatakan bahwa bukanlah dinasti politik yang menjadi masalah tetapi lebih masalah pada kompetensi dari calon tersebut. Sehingga yang penting dari pencolanan adalah kompetensi dari calon itu sendiri.
Pembicaraan hangat yang terjadi akhir-akhir ini adalah mengenai wacana pemilihan Bupati/Walikota atau Gubernur yang tidak dipilih secara langsung melainkan dipilih oleh DPRD. Pada awalnya dalam RUU Pilkada Bab 2 pasal 2 dikatakan bahwa Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asa bebas, jujur, rahasia dan adil. Namun, hal ini mendapatkan protes dari banyak pihak maka panitia mengubahnya dengan Bupati/Walikota yang dipilih oleh DPRD. Namun tetap saja, keputusan ini masih menuai protes.
Penambahan kewenangan yang dimaksudkan adalah pemberian sejumlah izin pengelolaan sumber daya dan penertibaban izin investasi kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan perikanan. Adapun bupati/walikota diberi kewenangan untung menangani pelayanan public seperti pendidikan, kesehatan, kependudukan, pekerjaan umum, dan perhubungan.
Alasan kuat dari wacana pemilihan Gubernur atau bupati/walikota dipilih oleh DPRD adalah terkait efisiensi dan penghematan biaya. Wakil ketua DPR RI Priyo Budi Santoso dilansir dalam metrotvnews.com lebih cenderung untuk mengabaikan masalah efesiensi dan penghematan biaya melalui pemilihan Gubernur atau Bupati/walikota melalui DPRD, dia lebih penghematan biaya dan efisiensi cukup dilaksanakan dengan cara pelaksanaan Serentak dari Pemilukada.
Dalam pernyataanya priyo menuturkan bahwa dia lebih memilih untuk pemilihan secara langsung keduanya baik gubernur atau bupati/walikota. Namun,  bila disuruh memilih priyo lebih memilih untuk mengadakan pemilu kada langsung untuk bupati/walikota dan pemilihan oleh DPRD untuk gubernur. Hal ini dapat dipahami karena tujuan dari desentralisasi dan politik lokal adalah agar pemerintahan lebih tanggap terhadap kepentingan masyarakat didaerah masing-masing, maka yang terbaik adalah melalui mekanisme pemilihan secara langsung pada tingka bupati/walikota dengan segala konsekuensinya.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari ketua DPD RI Imam Gusman yang dilansir dalam suaramerdeka.com yang merekomendasikan pemilukada gubernur dan bupati/walikota dilakukan secara langsung atau dipilih rakyat. Menurutnya pemilukada mampu mendekatkan rakyat karena terjadi transfer kekuasaan secara langsung. Dia mengatakan bahwa dengan pemilukada rakyat bisa memilih dan menilai kinerja pemimpin atau wakilnya. Sehingga, istilanya, tidak berlaku ungkapan memilih kucing dalam karung, karena seleksi dilakukan secara terbuka.
Pemilu merupakan salah satu ruh terpenting dalam demokrasi. Demokrasi secara sederhana dapat dikatan sebagai pemerintah dari, untuk dan oleh rakyat, hal ini mengindikasikan bahwa rakyat merupakan pemegang kedaulatan dalam sebuah sistem demokrasi, terlepas dari berbagai macam model demokrasi yang berkembang saat ini.
Demokrasi dalam konsepsi filsuf yunani kuno dilaksanakan dengan mengumpulkan seluruh warga negara dalam sebuah koloseum untuk menentukan sebuah kebijakan.
Pemilu dapat dikatakan sebagai mekanisme mengubah suara pemilih menjadi kursi di lembaga eksektif dan legislatif. Melihat pengertian pemilu seperti diatas maka kita dapat menarik kesimpulan juga bahwa pemilu dapat digunakan sebagai sarana akuntabilitas dan aksesibilitas terhadap wakil mereka dalam pemerintahan. Pada masa orde baru pemimpin daerah dipilih oleh pemerintah. Namun, pasca reformasi penyelenggaraan pemilukada merupakan isu yang hangat di perbincangan beriringan dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan. Kebijakan desentralisasi dengan memberikan wewenang yang sangat luas pada bupati/walikota bertujuan agar respon terhadap kearifan lokal masyarakat tertentu lebih mudah terakomodir sehingga terwujudnya pemerintahan daerah yang demokrais dan kesejahteraan masyarakat.
Pemilihan secara langsung bagi para kepala daerah dan para anggota dewan perwakilan rakyat daerah merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif, serta terbangungnya persamaan hak politk di tingkat lokal. Hal ini menyatakan bahwa melalui mekanisme pemilukada dapat membuat wakil dapat akuntabel terhadap masyarakat, evaluasi ini akan menjadi masukan bagi pengetahuan masyarkat pada pemilukada berikutnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa ketika desentralisasi sebagai tujuan dan demokratisasi di tingkat lokal diartikulasi sebagai tujuan, maka sangat jelas bahwa pilkada langsung merupakan paket yang tidak terpisahkan dari dua konsep tersebut.

Akhirnya bila berkaca pada polemik dalam RUU Pilkada ini ada beberapa hal yang menjadi substansial untuk dikaji lebih dalam yakni apakah pemilihan gubernur dan bupati/walikota harus dilaksanakan dengan cara langsung atau sebaliknya. Efisiensi dan penghematan dana menjadi alasan utama disamping pembatasan wewenang dan dinasti politik bagi mereka yang setuju akan RUU Pilkada. Namun, bagi pihak yang tidak setuju mengungkapkan bahwa yang lebih penting adalah penjagaan nilai-nilai demokrasi agar pemerintahan daerah tetap demokratis. Permasalahan pembagian wewenang antara gubernur dan bupati/walikota tidak dapat dijadikan alasan, sekecil apapun wewenang yang dimiliki oleh lembaga pemerintahan harus tetap akuntabel, transparan, dan responsif. Hal ini akan dapat mewujudkan cita-cita dari desentralisasi yaitu menciptakan pemerintahan daerah yang demokratis serta terwujudnya kesejahteraan masyarakat. 

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post