
Upacara Tiwah (Tiwah Sacred Ceremony)
Konsep religi yang melekat pada upacara Tiwah berisikan
kepercayaan bahwa bila jasad anggota keluarga yang meninggal dan dikubur tidak
diupacarakan dalam Tiwah maka roh orang mati itu akan gentayangan di dunia dan
bahkan bisa mengganggu kehidupan orang yang masih hidup oleh karena itu perlu
dilakukan upacara pengantaran roh tersebut ke langit ketujuh ke Salupuk Liau,
pesta ini bisa berlasung 7 sampai 40 hari lamanya dengan memotong kerbau, sapi,
babi, ayam.
Untuk melaksanakan upacara ini dibentuklah beberapa panitia
seperti panitia Balian selaku panitia umum yang terdiri dari 7 sampai dengan 9
orang dan salah satu orang tesebut diangkat sebagai pemimpin upacara yang di
sebut Upo. Sebagian pemimpin upacara Tiwah secara keseluruhan diangkat Bakas
Tiwah yang nantinya akan mengatur segala keperluan acara tersebut antara lain
menyediakan paramun sandung (alat-alat sandung) seperti Sandung, Sapundu,
Pantar sangaran, dan Pantar panjang. Untuk lebih jelasnya akan dibahas satu
persatu sebagai berikut:
Sandung
sandung merupakan bangunan berbentuk rumah kecil terbuat dari ulin (kayu besi) tempat penyimpanan tulang-belulang satu keluarga didalam satu keturunan, sandung ini dibangun terlebih dahulu sebelum upacara tiwah dan pada dinding sandung ini terdapat ukiran-ukiran ornamen yang memiliki makna, sejarah dan nilai khusus. Setiap sandung akan mudah diketahui sedikit banyak tentang sejarah kematian maupun jenis kelamin orang yang di tiwah yaitu dengan mengamati jumlah kaki maupun dari patung sapundu yang terdapat di depan sandung. Sandung berkaki satu memiliki makna bahwa orang tersebut kematiannya tidak wajar, sandung berkaki dua disebut juga sandung kariring mengandung makna bahwa anggota keluarga yang meninggal tersebut tidak memiliki keturunan dalam bahasa Dayak disebut tamanang, dan yang terakhir adalah sandung dengan kaki empat, yaitu mengandung makna kematian yang dialami oleh orang tersebut adalah oleh kematian yang wajar seperti sakit, maupun karena usia. Dengan demikian setiap kematian yang berbeda akan ditempatkan pada sandung yang berbeda pula sesuai dengan penyebab kematian seseorang.
sandung merupakan bangunan berbentuk rumah kecil terbuat dari ulin (kayu besi) tempat penyimpanan tulang-belulang satu keluarga didalam satu keturunan, sandung ini dibangun terlebih dahulu sebelum upacara tiwah dan pada dinding sandung ini terdapat ukiran-ukiran ornamen yang memiliki makna, sejarah dan nilai khusus. Setiap sandung akan mudah diketahui sedikit banyak tentang sejarah kematian maupun jenis kelamin orang yang di tiwah yaitu dengan mengamati jumlah kaki maupun dari patung sapundu yang terdapat di depan sandung. Sandung berkaki satu memiliki makna bahwa orang tersebut kematiannya tidak wajar, sandung berkaki dua disebut juga sandung kariring mengandung makna bahwa anggota keluarga yang meninggal tersebut tidak memiliki keturunan dalam bahasa Dayak disebut tamanang, dan yang terakhir adalah sandung dengan kaki empat, yaitu mengandung makna kematian yang dialami oleh orang tersebut adalah oleh kematian yang wajar seperti sakit, maupun karena usia. Dengan demikian setiap kematian yang berbeda akan ditempatkan pada sandung yang berbeda pula sesuai dengan penyebab kematian seseorang.
Sapundu
sapundu merupakan patung yang ditempatkan pada bagian depan sandung, terdapat dua jenis sapundu, yaitu sapundu wanita dan sapundu pria, sapundu ini berguna untuk menemani dan melayani roh orang yang sudah meninggal tersebut menuju ke sorga sehingga apabila yang meninggal adalah pria maka sapundu wanitalah yang akan dibuat di depan sandung, begitu pula sebaliknya bila wanita yang meninggal makan sapundu prialah yang akan dibuat, sapundu ini berguna pula sebagai tempat untuk menambatkan hewan korban pada saat upacara Tiwah, hewan itu harus berlawanan berjenis kelamin dengan sapudu tempat menambatkan hewan tersebut.
sapundu merupakan patung yang ditempatkan pada bagian depan sandung, terdapat dua jenis sapundu, yaitu sapundu wanita dan sapundu pria, sapundu ini berguna untuk menemani dan melayani roh orang yang sudah meninggal tersebut menuju ke sorga sehingga apabila yang meninggal adalah pria maka sapundu wanitalah yang akan dibuat di depan sandung, begitu pula sebaliknya bila wanita yang meninggal makan sapundu prialah yang akan dibuat, sapundu ini berguna pula sebagai tempat untuk menambatkan hewan korban pada saat upacara Tiwah, hewan itu harus berlawanan berjenis kelamin dengan sapudu tempat menambatkan hewan tersebut.
Pantar Sanggaran
merupakan bangunan yang digunakan untuk melengkapi sandung orang
yang pernah memangku jabatan penting dalam kehidupan masyarakat seperti Mangku
yaitu Temanggung, dan Demang yaitu Kepala desa. Pantar ini merupakan gambaran
keberanian, kesaktian dan orang yang disegani oleh masyarakat semasa hidupnya.
Selain itu Pantar ini juga berguna sebagai lambang kekayaan yang nantinya
dibawa ke negeri Liau.
Pantar Panjang
Pantar dibuat sebagai jalan roh ke negeri Liau sebelum pantar
didirikan pada bagian bawah tanah akan digali kemudian akan dimasukkan hewan
korban, lancang tempat sirih pinang, besi, emas, perak, yang melambangkan
kekayaan alam.
(salah satu prosesi upacara Tiwah : one of the
ceremonial procession Tiwah)
(dikutip dari buku Maneser Panatau Tatu Hiang
tulisan Nila Riwut)
Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah
Salumpuk liau Uluh Matei ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan
jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju
yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia
Kamalesu Uhate, Lewu Tatau HabarasBulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu
Liau yang letaknya di langit ke tujuh. Perantara dalam upacara ini
ialah : RawingTempun Telun, Raja Dohong Bulau atau Mantir
Mama Luhing Bungai RajaMalawung Bulau, yang bertempat tinggal di langit
ketiga. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya Rawing Tempun Telun dibantu
oleh Telun dan Hamparung, dengan melalui
bermacam-macam rintangan. Kendaraan yang digunakan oleh Rawing Tempun
Telun mengantarkan liau keLewu Liau ialah Banama
Balai Rabia, Bulau Pulau Tanduh Nyahu Sali Rabia, Manuk Ambun. Perjalanan
jauh menuju Lewu Liau melewati empat puluh lapisan embun, melalui
sungai-sungai, gunung-gunung, tasik, laut, telaga, jembatan-jembatan yang
mungkin saja apabila pelaksanaan tidak sempurna, Salumpuk liau yang
diantar menuju alam baka tersesat. Pelaksana dipantai danum kalunen dilakukan
oleh Basir dan Balian.
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.