Saat perjalanan dalam satu
kegiatan di Jakarta, tepatnya di UHAMKA Jakarta Timur. Saya terlibat diskusi
dengan beberapa aktivis dari berbagai daerah. Mereka berbicara masalah
pergerakan mahasiswa secara nasional. Tibalah pergerakan mahasiswa Kalimantan
Tengah yang menjadi sorotan. Arah diskusi inipun saya ikuti, sekaligus saya
menjadi narasumber (diskusi sambil ngopi), hadir sebagai peserta enam orang
masing-masing dari berbagai daerah yang berbeda.
Ada sebuah pernyataan mereka yang
seakan membuat diskusi yang tadinya dingin menjadi hangat. Bahwa, dikatakan
Mahasiswa di Kalimantan Tengah pergerakannya kurang dan aksinya terbilang
lemah. Namun, yang saya sangat sayangkan diskusi ini hanya membahas satu sisi
saja, yakni “Mahasiswa Kalimantan Tengah” kalau aksi/ demo biasa aja, adem
ayem, gak ada gregetnya, sebagai pribahasa para polisi ketika jaga aksi,
dibelakang duduk sambil main domino. Bahkan mereka menyoroti aksi mahasiswa di
Kalimantan Tengah yang sangat jarang masuk berita, apalagi berita-berita
anarkis waktu aksi.
Pernyataan demikian yang mereka
lontarkan kepada saya saat diskusi. Kemudian saya jelaskan kepada peserta
diskusi, maklumlah sayakan sebagai narasumber saat itu, karena kebetulan saya
dari Kalimantan Tengah. Kira-kira berikut ini jawaban yang saya berikan :
“Hal yang sangat perlu kalian
ketahui adalah aksi itu bukan dinilai dari hebatnya kita orasi atau kuatnya
kita rebut ngelawan polisi. Baku hantam melawan polisi, atau ngerusak fasilitas
umum, mecahin kaca perkantoran pemerintah, kenapa gak sekalian makan kaca aja. Kami
mahasiswa Kalimantan Tengah dalam aksi mempunyai prinsip bahwa “aksi kami
santun” namun secara substansial aksi itu sampai pada sasaran dan arah yang
kami inginkan. Pikir kami, buat apa bakar-bakar ban, ban bekas lumayan harganya
apalagi yang masih baru. Mending kami kerahin massa, kumpulin sampah, terus
bakar sampah rame-rame, kan sangat lebih baik. Pasti polisi juga ikut ngumpulin
sampah, bahkan minjamin korek buat hidupin api”
“Sangat sempit sekali kalau kita
beranggapan aksi mahasiswa yang hebat itu dinilai dari kuatnya mahasiswa adu
jotos dengan polisi, sampai berdarah-darah. Ribut dengan polisi itu alternatif terakhir
setelah semua mengalami kebuntuan, itupun alternatif nomor ke-101”.
Tak lama setelah itu, diskusi
selesai, kopi habis dan sebagai narasumber saya ditraktir oleh para peserta
diskusi, dan untuk hari-hari berikutnya. [debuyandi]
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.