Jam telah nampak pada pukul 01.23
am saat saya mulai menulis tulisan ini. Malam ini juga rasa bercampur aduk,
rasa rindu teramat sangat kepada keluarga dikampung Desa Tanjung Jariangau, dan
lagi rindu kepada sosok embun yang tak pernah lelah memberikan kesejukan itu.
Sampai-sampai ada yang pernah bilang aku sang “Pemuja Embun”. Pernyataan itu
memang benar adanya, kini aku menjadi “Pemuja Embun”.
Lama tak mendengar suara ayah
bunda, kedua adikku gia dan lia. Mereka yang menyadarkan aku untuk apa aku
hidup dan terus berjuang. Melawan kerasnya dunia, yang kadang tak bersahabat
dengan apa yang ku mau. Ku sadar do’a dan harapan mereka ingin melihat aku
sukses sangatlah besar, karena di keluarga hanya aku yang bisa kuliah, kedua
adikku masih SMP dan satunya akan masuk ke SLTA. Mereka berdualah yang akan
mengikuti jejak ku kelak, kuliah mendapatkan gelar Sarjana.
Malam ini memoriku kembali jauh
kebelakang, tepatnya Agustus 2012. Saat hujan reda di hari itu, sisa-sisa
hujanpun masih ada. Cuaca masih dingin, aku berdiri dan memandang sosok wanita
yang tidak terlalu jauh. Sosok dua tahun lebih itu, hingga sekarang masih setia
menjadi penyejuk. Layaknya embun yang senantiasa hadir menyejukkan suasana di
pagi hari, hingga bias sejuknya tetap terasa sampai pagi esok tiba.
Berada jauh dengan orang yang
kita sayangi itu adalah sebuah tantangan terbesar. Belajar untuk yakin dan
percaya itulah yang harus dilakukan pertama kali. Selalu berdoa untuk hal yang
terbaik merupakan tugas satu dan lainnya. Cukup sulit, menjadi orang sebatang
kara. Kadang kebingungan, tak tahu harus melakukan apa. Ini sifat normal
manusia, akui itu sebagai anugerah bukan kekurangan. Lebih tepatnya, khawatir
dan terus berharap suatu kebaikkan dan Tuhan menjawab semuanya.
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.