Blogger Kalteng

BIOTRANSFORMASI TOKSIKAN


BIOTRANSFORMASI TOKSIKAN


MAKNA BIOTRANSFORMASI
Perubahan biokimia mengubah ciri-ciri fisikokimia xenobiotika, terutama sifat lipofilnya. Untuk xenobiotika, termasuk racun, sering tidak hanya ada satu alur penguraian tetapi biotransformasi mungkin terjadi dengan lebih dari satu cara. Jumlah metabolit yang terbentuk menyatakan seberapa jauh peranan suatu proses biokimia. Contohnya adalah setelah penggunaan asam salisilat, 50% dari jumlah yang diekskresikan dalam urin ditemukan sebagai asam salisilurat. 25% sebagai glukuronida dan sejumlah kecil dalam bentuk turunan produk oksidasi asam gentisat. Jenis produk ekskresi dari suatu zat dapat dipengaruhi juga oleh harga pH urin.

Biotransformasi mempunyai aspek ke-stereoselektif-an beberapa reaksi biokimia, dimana salah satu isomer lebih cepat dimetabolisme dari isomer yang lain. Pada konsentrasi zat yang meningkat, jumlah yang dimetabolisme per satuan waktu naik, sehingga tercapai konsentrasi yang menyebabkan enzim yang berperan pada metabolisme menjadi jenuh. Peningkatan konsentrasi substrat selanjutnya tidak lagi mengakibatkan peningkatan jumlah metabolit yang dibentuk per satuan waktu. Namun pada umumnya konsentrasi substrat di dalam organisme tetap berada di bawah konsentrasi pada kejenuhan sehingga jumlah metabolit yang dibentuk per satuan waktu adalah sebanding dengan konsentrasi substrat.

Aspek selanjutnya adalah gejala induksi atau pengimbasan, dimana dengan adanya substrat tertentu sering meningkatkan sistem enzim yang terlibat dalam metabolisme. Kapasitas enzim yang meningkat dalam hal ini dilandasi oleh peningkatan sintesis enzim. Karena enzim yang mengambil bagian dalam biotransformasi memetabolisme sejumlah besar zat, ada kemungkinan bahwa biotransformasi dari suatu zat A mengganggu biotransformasi zat B. Kemampuan pengimbasan enzim tidak terbatas hanya pada zat yang merupakan substrat untuk sistem enzim ini, tetapi juga zat yang tidak dimetabolisme, terutama zat yang lipofil, yang tinggal lama di dalam organisme. Induksi atau pengimbasan proses biotransformasi terutama terjadi pada kombinasi zat.

Penyelidikan proses biokimia yang berperanan pada perubahan zat asing, dikenal sebagai xenobiokimia, mutlak diperlukan untuk pemahaman manifestasi toksikologi. Hal-hal yang berlangsung dalam hal ini, yaitu biotransformasi, dapat digolongkan menjadi:

a.  Reaksi fase I (Reaksi penguraian), yaitu: pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi. Umumnya reaksi fase I mengubah bahan yang masuk ke dalam sel menjadi lebih bersifat hidrofilik (mudah larut dalam air) daripada bahan asalnya.

b.  Reaksi fase II (Reaksi konjugasi), terdiri dari reaksi sintesis dan konjugasi. Oleh reaksi konjugasi maka zat yang memiliki gugus polar (-OH, -NH2, -COOH), dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang berasal dari tubuh sendiri dan lazimnya diubah menjadi bentuk yang larut dalam air, dan dapat diekskresikan dengan baik oleh ginjal. Reaksi fase II ini merupakan proses biosintesis yang mengubah bahan asing atau metabolit dari fase I membuat ikatan kovalen dengan molekul endogen menjadi konjugat.

Reaksi penguraian (fase 1) biasanya disusul oleh reaksi konjugasi (fase 2).

a. REAKSI PENGURAIAN
1.  Pemutusan hidrolitik
Bila suatu molekul dihidrolisis ia dipecah menjadi dua molekul karena pengambilan satu molekul air. Contohnya adalah pemutusan ester oleh esterase dengan pembentukan alkohol dan asam. Namun dalam keadaan tertentu stabilitas ester yang toksik dapat merupakan kerugian, misalnya ester ftalat yang digunakan sebagai peliat (plasticizer) pada pembuatan bahan plastik. Ester ini sangat lipofil dan dapat berdifusi keluar dari wadah plastik, misalnya ke dalam bahan makanan yang mengandung lemak yang disimpan didalamnya atau wadah plastik yang digunakan pada transfusi darah. Bila peliat ini stabil terhadap berbagai esterase, maka organisme tidak mampu untuk menguraikannya menjadi alkohol dan asam dan tidak dapat menguraikannya.
Senyawa-senyawa demikian yang stabil terhadap hidrolisis enzimatik dan sekaligus peliat yang lipofil, memperlihatkan kecenderungan tertimbun dalam jaringan lemak organisme.
Mamalia memperlihatkan kadar esterase yang tinggi di dalam plasma dan di hati. Jadi kapasitas hidrolisis esternya tinggi tetapi sebaliknya pada serangga. Keadaan ini telah dimanfaatkan pada pengembangan jenis insektisida organofosfat yang bekerja selektif. Zat ini mengandung suatu gugus ester tambahan dalam molekul fosfat organik yang dihidrolisis oleh esterase menjadi asam karboksilat dan alkohol. Mamalia mampu untuk mendetoksifikasi dengan cepat zat tersebut dengan hidrolisis. Karena serangga lebih sedikit esterasenya, maka mereka tidak mampu untuk mendetoksifikasi senyawa ini. Tetapi ada pula usaha untuk pengembangan senyawa fosfat organik dengan toksisitas yang lebih tinggi pada manusia, seperti pengembangan senyawa fosfat organik sebagai gas saraf.
Kecuali ester, amida juga dapat dihidrolisis oleh pengaruh katalisis amidase dengan pembentukan asam dan amina. Dalam hal ini stabilisasi mungkin dilakukan dengan memasukkan gugus amino dari substituen alkil yang bertetangga. Pada umumnya amida asam lebih stabil daripada ester karenanya juga lebih lambat dihidrolisis. Selain itu plasma mengandung relatif lebih sedikit amidase dibandingkan dengan esterase.

2.  Oksidasi
Enzim yang berperanan pada oksidasi zat asing berada di dalam sel, terutama di dalam retikulum endoplasma sel hati. Penyelidikan di bidang ini sering dilakukan dengan mikrosoma, yang diperoleh dari retikulum endoplasma setelah homogenisasi sel hati. Substrat yang paling cocok untuk reaksi oksidasi ini adalah senyawa alkohol, aldehida, asam karboksilat, senyawa dengan rantai samping alifatik yang tidak bercabang dan amina alifatik.
Senyawa asam fenilalkil karboksilat, fenilalkilamina dan sebagainya dengan rantai samping yang panjang tidak bercabang, dioksidasi menjadi asam benzoat, bila rantai sampingnya mengandung atom karbon berjumlah ganjil dan menjadi asam fenilasetat, bila rantai sampingnya mengandung atom karbon berjumlah genap. Proses demikian merupakan mekanisme detoksifikasi yang penting.
Proses penguraian secara oksidasi yang serupa berperanan pada proses self-purification sungai dan kanal. Sabun yang klasik, yaitu garam natrium dan kalium dari asam-asam lemak yang panjang, tidak bercabang, merupakan substrat yang baik untuk banyak mikroorganisme yang terdapat di dalam air. Mula-mula deterjen sintetik dibuat dari parafin (hidrokarbon) yang bercabang banyak yang dihasilkan sebagai produk samping pada pengilangan minyak bumi karena tidak cocok untuk dipakai sebagai bahan bakar. Zat hidrokarbon yang bercabang ini tahan terhadap proses oksidasi yang berperanan dalam self-purification air, sehingga merupakan deterjen kuat yaitu deterjen yang tidak dapat diuraikan. Mereka menyebabkan pencemaran air yang berat dan terus menerus yang nampak dari pembentukan busa dalam sungai dan kanal. Salah satu tanda pertama dari pencemaran air oleh deterjen adalah menghilangnya serangga yang bergerak di atas air. Deterjen menurunkan tegangan permukaan, sehingga serangga tenggelam ke dalam air dan mati terbenam. Solusinya adalah dengan menggunakan deterjen dengan rantai samping yang tidak bercabang, jadi zat yang dapat diuraikan secara biologi. Deterjen lunak yaitu deterjen yang dapat diuraikan sudah banyak digunakan sekarang.
Oksidasi xenobiotika selanjutnya dapat menghasilkan pembentukan peroksida tokson atau pembentukan H2O2. Peroksida ini kemudian menyerang substrat biologi dan dengan cara ini menimbulkan lesi kimia, misalnya methemoglobinemia.

3.  Reduksi
Sebagai reaksi biotransformasi, reaksi reduksi relatif jarang terjadi. Senyawa nitro dapat direduksi menjadi amina dan senyawa azo diuraikan melalui reduksi menjadi amina yang sesuai. Senyawa keton dan aldehida yang tahan oksidasi mungkin terjadi reduksi menjadi senyawa alkohol yang sesuai.

b. REAKSI KONJUGASI
Reaksi konjugasi yang penting adalah konjugasi dengan asam glukuronat, asam amino (terutama glisina), asam sulfat, dan asam asetat. Kecuali pada konjugasi dengan asam asetat atau reaksi metilasi, pada konjugasi selalu dimasukkan gugus asam ke dalam molekul yang meningkatkan sifat hidrofil secara nyata. Konjugat asam ini cepat diekskresikan oleh ginjal melalui proses aktif. Reaksi konjugasi bersifat sebagai reaksi detoksifikasi, karena produk konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Namun dalam beberapa kasus konjugat dapat dihidrolisis kembali menjadi senyawa asalnya. Hal ini sering terjadi bila konjugat bersama empedu, mencapai usus.
1.    Konjugasi dengan asam glukuronat
Senyawa alkohol sekunder dan tersier – yang dapat cepat dioksidasi – dikonjugasi dengan asam glukuronat. Gugus OH-fenolik, gugus karboksil dan gugus NH2 juga dapat dikonjugasi dengan asam glukuronat. Asam glukuronat adalah suatu asam yang relatif kuat, yang mengandung gugus OH-alkohol tambahan dan karena itu sangat hidrofil. Pada pembentukan glukuronida sifat ini dipindahkan ke metabolit.

2.    Konjugasi dengan glisina
Asam karboksilat, khususnya asam karboksilat yang tidak dapat diuraikan lanjut secara oksidasi, dapat membentuk konjugat dengan glisina. Contohnya adalah asam hipurat yang dibentuk dari asam benzoat dan asam salisilurat yang terjadi dari asam salisilat.

3.    Konjugasi dengan asam sulfat
Senyawa fenol terutama membentuk konjugat dengan asam sulfat sehingga terbentuk ester parsial dari asam sulfat. Residu asam sulfat adalah asam kuat sehingga konjugat sangat hidrofil dan dapat diekskresikan dengan mudah. Karena itu senyawa fenol sering diekskresikan ke dalam urin sebagai ester asam sulfat. Perbandingan antara sulfat organik dan sulfat anorganik meningkat kuat dalam urin setelah penggunaan senyawa fenol atau zat yang diuraikan menjadi senyawa fenol.

4.    Pembentukan turunan asam merkapturat
Pada reaksi biotransformasi ini terlibat reaksi konjugasi yang berlangsung melalui beberapa tingkat. Hal ini menyangkut terutama senyawa klor dan brom organik yang pada proses ini atom halogen diganti oleh gugus asam merkapturat. Zat aromatik tertentu juga dapat juga dikonjugasi dengan cara ini.
Turunan asam merkapturat sangat hidrofil dan dapat diekskresikan dengan mudah. Turunan asam merkapturat adalah substrat yang baik untuk sistem transpor aktif dalam ginjal dan hati.



5.    Metilasi
Metilasi jarang terdapat dalam lingkup reaksi biotransformasi. Contohnya adalah pembentukan N-metilnikotinamida dari nikotinamida. Basa amonium kuaterner yang dibentuk dengan cara ini adalah hidrofil dan dapat diekskresikan secara aktif. Reaksi ini menghasilkan suatu bioinaktivasi dan menjadi suatu detoksikfikasi meskipun produk yang dihasilkan lebih kurang hidrofil dari zat asal.

6.    Asetilasi
Xenobiotika dengan gugus amino yang tidak dapat diuraikan secara oksidasi, sering diasetilasi. Contohnya adalah senyawa amina aromatik, yaitu gugus amino langsung terikat pada cincin aromatik dan senyawa alkilamina yang gugus aminonya terdapat pada atom karbon tersier. Asetilasi sulfonamida menghasilkan penurunan kehidrofilan, sehingga menimbulkan komplikasi kristaluria sebagai kerja samping sulfonamida. Asetilasi dapat mengurangi daya kerja, karena gugus amino yang biasanya bermakna untuk aktivitas biologi tertutup karena asetilasi.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOTRANSFORMASI
a. Faktor Instrinsik
Faktor penting yang mengontrol jalannya reaksi enzymatik dari bahan asing adalah konsentrasinya dalam pusat aktivitas dari enzym. Konsentrasi ini tergantung pada Lipophilicity, Protein binding, Doses, dan Route administration. Lipophilicity penting karena dapat mengatur banyaknya absorbsi dari xenobiotik dari jalan masuknya (kulit, usus, paru). Bahan kimia yang bersifat lipofilik lebih mudah diabsorbsi dalam darah, sedangkan bahan yang larut dalam air kurang cepat diserap.

b. Variabel Host
Beberapa kondisi fisiologik, farmakologik, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi proses biotranformasi xenobiotik, yaitu: spesies, strain, umur, sex, time of day, enzym induksi, enzym penghambat, status gizi, dan status penyakit.




c.  Induksi dari enzym biotranformasi
Proses induksi enzym adalah proses dimana terjadi peningkatan aktivitas yang diakibatkan peningkatan kecepatan sintesis dari enzym biotransfomasi dan paparan bahan kimia tertentu dapat juga menginduksi enzym tersebut.

1)  Inhibisi (penghambatan) enzym biotransformasi
Penghambat metabolisme xenobiotik adalah beberapa faktor yang didapat baik endogen maupun eksogen yang menurunkan kemampuan enzym untuk melakukan proses metabolisme bahan asing.

2)  Variasi spesies, strain dan genetik
Variasi biotransfomasi diantara spesies digolongkan menjadi perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan kualitatif menyangkut rute metabolik yang diakibatkan oleh kelainan dari spesies atau adanya reaksi ginjal dari spesies. Yang termasuk pada perbedaan kualitatif adalah kelainan enzym pada spesies tertentu, reaksi spesies yang unik, evalutionary, dan beberapa aspek genetik. Perbedaan kualitatif ini predominan pada reaksi fase II. Sedangkan yang termasuk perbedaan kuantitatif adalah perbedaan konsentrasi enzym, perbedaan isozym cytokrom P-450, perbedaan reaksi regio spesifik, dan genetika. Perbedaan kuantitatif ini predominan pada reaksi fase I.

3)  Perbedaan sex pada biotransformasi
Perbedaan respon toksikologi dan farmakologi antara tikus betina dan jantan pernah diteliti. Pada pemberian fenobarbital dengan dosis yang sama, tikus betina tidur lebih lama daripada yang jantan.

4)  Efek umur pada biotransformasi
Fetus dan bayi baru lahir menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk biotransformasi xenobiotik sehingga kemungkinan terjadinya keracunan lebih meningkat pada binatang percobaan yang lebih muda.




5)  Efek dari diet terhadap biotransformasi
Status nutrisi sangat penting dalam mempengaruhi biotranformasi, defisiensi mineral misalnya Ca, CU, Fe, Mg dan Zn menurunkan reaksi oksidasi maupun reduksi dari cytokrom P-450.

6)  Efek kelainan hepar (hepatic injury) terhadap biotranformasi
Karena hepar merupakan tempat utama dari biotransformasi xenobiotik maka penyakit yang mempengaruhi fungsi normal dari hepar dapat pula mempengaruhi proses biotransformasi. Begitu pula dengan bahan kimia yang menginduksi gangguan liver akan menurunkan biotrnaformasi.

BIOTRANSFORMASI DAN TOKSIFIKASI
Meskipun reaksi biotransformasi, khususnya reaksi konjugasi, pada umumnya menghasilkan inaktivasi dari zat yang digunakan, metabolit aktif dapat terjadi juga karena perubahan biokimia, terutama karena oksidasi. Dalam hal ini senyawa yang diberikan tidak aktif atau relatif tidak aktif, dan efek farmakologi disebabkan oleh metabolit aktif. Proses demikian disebut bioaktivasi, sedangkan apabila metabolit aktif toksik, maka disebut terjadi toksifikasi. Pada prinsipnya, kita dapat memperoleh zat yang bekerja lebih selektif berdasarkan perbedaan spesies ditinjau dari segi kemampuan untuk biotransformasi, termasuk kemampuan untuik bioaktivasi atau toksifikasi maupun bioinaktivasi atau detoksifikasi.

Obat, zat tambahan pada makanan, zat limbah dan sebagainya, kebanyakan adalah lembam secara kimia. Bila tidak demikian, mereka segera diubah secara kimia atau diinaktivasi melalui reaksi dengan zat lain. Setelah penggunaan lokal, senyawa reaktif dapat menimbulkan iritasi yang tidak dikehendaki.

Selama biotransformasi xenobiotika, terutama pada reaksi oksidasi, terbentuk produk-antara yang reaktif secara kimia. Kebanyakan produk-antara ini selanjutnya dimetabolisme menjadi produk akhir yang stabil dan diekskresikan sebagai senyawa stabil itu. Pada oksidasi zat aromatik, sering terjadi epoksida sebagai produk antara. Epoksida ini mempunyai sifat mengalkilasi. Karena kereaktifan kimianya mereka bersenyawa dengan zat di dalam tubuh dan dengan demikian tidak muncul di dalam urin.
Berbagai senyawa aromatik yang terhalogenasi (brombenzena, kloroform atau halotan) dapat menyebabkan degenasi berat pada jaringan hati dan malahan nekrosis lokal. Penanganan terlebih dahulu dengan fenobarbital meningkatkan efek toksik dari zat ini sebagai akibat penginduksi enzym.

EKSKRESI TOKSIKAN
Setelah absorpsi dan distribusi dalam tubuh, toksikan dapat dikeluarkan dengan cepat atau perlahan. Mereka dikeluarkan dalam bentuk asal, sebagai metabolit, dan/atau sebagai konjugat. Jalur utama ekskresi adalah urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting untuk zat kimia jenis tertentu, misalnya DDT dan Pb serta CO. Toksikan dapat dieliminasi dari tubuh melalui beberapa rute. Ginjal merupakan organ penting untuk mengeluarkan racun. Beberapa xenobiotik diubah terlebih dahulu menjadi bahan yang larut dalam air sebelum dikeluarkan dari tubuh. Toksikan yang dikeluarkan dari tubuh dapat ditemukan pada keringat, air mata dan ASI.

a. Ekskresi Urin
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler.
Kapiler glomerulus memiliki pori-pori yang besar (70 nm); oleh karena itu, sebagian besar toksikan akan lewat di glomerulus, kecuali toksikan yang sangat besar atau yang terikat erat pada protein plasma. Toksikan dalam filtrat glomerulus akan mengalami absorpsi pasif di sel-sel tubuler bila koefisien partisi lipid/air-nya tinggi, atau tetap dalam lumen tubuler dan dikeluarkan bila ia merupakan senyawa yang polar.
Suatu toksikan dapat juga dikeluarkan lewat tubulus ke dalam urin dengan difusi pasif. Karena urin biasanya bersifat asam, proses ini berperan dalam ekskresi basa organik. Sebaliknya asam organik tak mungkin dikeluarkan dengan difusi pasif lewat sel tubulus. Namun asam lemah sering mengalami metabolisme menjadi asam yang lebih kuat sehingga persentase bentuk ion yang tidak diserap lewat sel tubulus meningkat untuk kemudian diekskresi.
Toksikan tertentu dapat disekresi oleh sel tubulus proksimal ke dalam urin. Ada dua macam mekanisme sekresi, yaitu untuk asam organik dan untuk basa organik. Toksikan yang terikat pada protein dapat juga disekresi, asalkan ikatannya reversibel. Selain itu, zat kimia dengan ciri serupa akan bersaing dalam sistem transpor yang sama.

b. Ekskresi Empedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi toksikan, terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi (anion dan kation), konjugat yang terikat pada protein plasma, dan senyawa yang BM-nya lebih besar dari 300. Pada umumnya begitu senyawa ini berada dalam empedu, mereka tidak akan diserap kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Kecuali misalnya konjugat glukuronid yang dapat dihidrolisis oleh flora usus menjadi toksikan bebas yang dapat diserap kembali.

c.  Paru-paru
Zat yang berbentuk gas pada suhu badan terutama diekskresi lewat paru-paru. Cairan yang mudah menguap juga dengan mudah keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang sangat mudah larut mungkin diekskresikan sangat perlahan karena ditimbun dalam jaringan lemak dan karena terbatasnya volume ventilasi (mis: kloroform dan halotan). Ekskresi toksikan melalui paru-paru terjadi secara difusi sederhana lewat membran sel.

d. Jalur lain
Saluran cerna bukanlah jalur utama untuk ekskresi toksikan. Namun, karena lambung dan usus manusia masing-masing mensekresi sekitar 3 liter cairan setiap hari, beberapa toksikan dikeluarkan bersama dengan cairan itu. Ekskresi ini terutama terjadi lewat difusi sehingga lajunya bergantung pada derajat kinetik toksikan serta pH lambung dan usus.
Dipandang dari sudut organisme itu sendiri, ekskresi toksikan lewat air susu ibu (ASI) tidak penting. Namun kehadiran zat-zat racun dalam ASI mungkin secara toksikologi menjadi penting, karena lewat air susu ini racun terbawa dari ibu kepada bayinya dan dari sapi kepada manusia. Ekskresi ini juga terjadi melalui difusi sederhana. Karena air susu sedikit bersifat asam, senyawa basa akan mencapai kadar yang lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma, dan sebaliknya untuk senyawa yang bersifat asam. Senyawa lipofilik misalnya, DDT dan PCB juga mencapai kadar yang lebih tinggi dalam susu karena kandungan lemaknya yang lebih tinggi.
Keringat dan liur juga merupakan jalur kecil untuk ekskresi toksikan. Ekskresi ini juga terjadi melalui difusi; jadi ekskresi ini terbatas pada toksikan bentuk non-ion, yang larut dalam lipid. Zat yang dikeluarkan dalam liur biasanya ditelan kemudian diabsorpsi dalam saluran cerna.

KADAR TOKSIKAN DALAM TUBUH
Sifat dan intensitas efek suatu bahan kimia bergantung pada kadarnya di tempat kerja, yaitu dari dosis efektifnya. Umumnya, kadarnya di dalam organ sasaran merupakan fungsi kadar darah. Namun pengikatan toksikan dalam jaringan akan menambah kadarnya, sementara sawar jaringan cenderung mengurangi kadarnya. Selama penyerapan, kadar toksikan dalam darah meningkat. Sementara itu, laju ekskresi, biotransformasi, dan distribusinya ke alat-alat tubuh dan jaringan lain juga bertambah.

REFERENSI
1.  Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

2.  E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar. Terjemahan oleh Yoke R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

3.  Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

4.  J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

5.  H. J. Mukono. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.

6.  J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post