Blogger Kalteng

Hadits Ahad


Hadits Ahad

Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Hadits Ahad


Soal:  Kita ketahui bahwa Hizb berpendapat bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah namun para ‘ulama salaf pun berselisih pendapat mengenai perkara ini, yang senada dengan pendapat Hizb diantaranya Imam Abu Hamid al-Ghazali dan yang menentangnya –salah satunya– Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany.

Yang ingin ana cermati dalam masalah ini yaitu apakah perselisihan ini sudah masuk dalam wilayah ‘aqidah yang seharusnya tidak boleh terjadi disparitas pemahaman. Lalu jika memang masalah ini merupakan ranah ‘aqidah yang tidak boleh diperselisihkan apakah para ulama salaf tersebut yang kita sudah mafhum memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi telah memiliki noda dalam keimanan-nya.

Selanjutnya didalam kitab mengenai hadits ahad yang ditulis oleh al-Ustadz Syamsuddin Ramadhan disitu beliau membangun hujjah salah satunya dengan mengutip beberapa hadits yang terkandung dalam tarikh bukhari –yang tentu saja memiliki derajat shahih walaupun Muhammad Nasiruddin Albani (salafi) menolaknya– yang ingin ana kemukakan yaitu kita tidak boleh menyia-nyiakan hadits ahad –shahih– karena itu termasuk perbuatan terlarang kemudian bagaimana kita mengkompromikan antara tidak boleh menyia-nyiakan dengan tidak menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah lalu bagaimana sikap kita?
Jawab: Pada dasarnya perbedaan pendapat dalam masalah hadits ahad bukanlah perbedaan pendapat yang sudah memasuki ranah ‘aqidah. Sebab, para ‘ulama sendiri berbeda pendapat dalam masalah ini dan itu sudah masyhur di kalangan mereka. Selain itu, perbedaan semacam ini juga diakibatkan karena banyak faktor, mulai dari ushul hadits yang berbeda, kaedah tarjih yang berbeda, perbedaan dalam penetapan kriteria hadits termasuk ahad atau mutawatir, dan lain sebagainya. Misalnya, ada sebagian ‘ulama hadits menetapkan syariat kemutawatiran sebuah hadits dikaitkan dengan jumlah. Mereka berpendapat bahwa suatu hadits baru disebut mutawatir jika diriwayatkan lebih dari empat orang. Ada pula yang berpendapat harus diriwayatkan 10 orang dan lain sebagainya. Lantas, kita bisa bertanya, kalo kita berpatok pada ‘ulama yang berpendapat bahwa syarat mutawatir harus diriwayatkan oleh 10 orang lebih, tentu saja kita akan menolak kemutawatiran berita yang hanya diriwyatkan 4 orang. Padahal, menurut sebagian ‘ulama –bila diriwayatkan empat orang sudah dianggap mutawatir. Lantas, apakah kita akan mengkafirkan ‘ulama lain yang tidak memutawatirkan berita tersebut hanya karena perbedaan kriteria?
Benar, kita tidak boleh menyia-nyiakan hadits ahad yang bernilai shahih. Sebab, berita ini diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqat. Tentunya kita tidak boleh menolak berita yang diriwyatkan oleh orang-orang yang adil. Akan tetapi, hadits-hadits semacam ini tetap tidak boleh digunakan hujjah (dalil) untuk membangun pokok ‘aqidah. Sebab, ‘aqidah mensyaratkan adanya keyakinan yang bersifat pasti, bukan dzan. Meskipun kebenaran suatu berita adalah 99,9% akan tetapi berita semacam ini tidak boleh diyakini secara bulat (100%). Sebab, masih mungkin mengandung kesalahan. Padahal, aqidah menuntut adanya keyakinan yang bulat (100%). Seandainya hadits ahad boleh digunakan hujjah untuk membangun masalah ‘aqidah –padahak hadits ahad hanya menghasilkan dzan saja (kebenarannya tidak sampai 100%)–, sama artinya kita telah membangun ‘aqidah kita berdasarkan keyakinan yang tidak bulat. Padahal hal semacam ini tercela. ‘Aqidah menuntut kita untuk menyakini secara bulat (100%).
Namun, demikian bukan berarti kita harus menolak dan mencampakkan sama sekali hadits ahad. Bila hadits itu berhubungan dengan amal (perbuatan) maka kita wajib melaksanakan kandungan hadits tersebut. Jika kita tidak berbuat sesuai dengan kandungan hadits ahad tersebut (yang berhubungan dengan amal), maka kita berdosa di sisi Allah. Bila kandungan isi hadits itu berhubungan dengan masalah ‘aqidah, misalnya tentang siksa kubur, maka kita tidak boleh menyakini adanya siksa kubur tersebut dengan keyakinan 100%. Sebab, derajat kebenaran yang dikandung oleh hadits ahad tidak sampai 100%. Namun demikian, jika hadits-hadits tentang siksa kubur tersebut masih berhubungan dengan amal, misalnya doa meminta perlindungan dari siksa kubur, maka hadits semacam ini bisa diamalkan, artinya anda bisa berdoa memohon untuk dihindarkan dari siksa kubur. Lho, kalo tidak menyakini siksa kubur kok berdoa memohon dihindarkan dari siksa kubur. Masalahnya bukan menyakininya, tetapi mengamalkan doanya. Padahal doa termasuk amal perbuatan, bukan menyangkut keyakinan. Di sisi lain, hadits ahad harus diamalkan. Jadi, bukanlah sesuatu yang kontradiktif jika saya berdoa, sebab hal ini (doa berhubungan dengan amal). Padahal hadits ahad wajib diamalkan. [Tim Konsultan Ahli HayatuImam Bukhari dalam kitab Shahihnya menuliskan sebuah bab yang berjudul,
باب ما جاء في إجازة خبر الواحد الصدوق في الأذان والصلاة والصوم والفرائض والأحكام
“Bab tentang apa-apa yang datang tentang dibolehkannya bersandar dengan khabar seseorang yang jujur dalam masalah Adzan, Shalat, Puasa dan kewajiban-kewajiban serta Hukum.”
Kemudian beliau juga menuturkan,
وذهب بعض المحدثين إلى أن الآحاد التي في صحيح البخاري أو صحيح مسلم تفيد العلم دون غيرها من الآحاد. وقد قدمنا هذا القول وإبطاله في الفصول ،.........
Ahad adalah hadits selain yang muttawattir.
b. Macam-macam hadits ahad berdasarkan jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.
  1. Masyhur (المشهور) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده
Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya.”
  1. ‘Aziz (العزيز) adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين

    “Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
  2. Ghorib (الغريب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori. Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.
c. Macam-macam hadits ahad berdasar derajatnya, yaitu shohih lidzatihi, shohih lighoirihi, hasan lidzatihi, hasan lighoirihi dan dho’if.
  1. Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) (الصحيح لذاته). Shohih lidzatihi adalah hadits yang rowinya:
    • Adil (عدل),
    • Hafalannya kuat (تام الضبط),
    • Sanadnya bersambung (بسند متصل),
    • Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (سلم من الشذوذ و العلة القادحة).
Contohnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
من يرد اللّه به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Cara mengetahui keshohihan suatu hadits itu dengan 3 perkara:
    • Jika diketahui penulis buku hadits tersebut hanya mencantumkan hadits-hadits yang shohih saja dengan syarat penulis tersebut bisa dipercaya dalam melakukan penshohihan seperti Shohih Bukhori dan Muslim.
    • Hadits tersebut dinilai shohih oleh imam yang penilaiannya dalam penshohihan itu bisa dipercaya, dan dia bukan termasuk orang yang terkenal mudah dalam memberikan nilai shohih.
    • Meneliti sendiri rowinya dan bagaimana cara periwayatan rowi tersebut terhadap hadits.
Jika semua kriteria shohih lengkap, maka hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang shohih.
  1. Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan) (الصحيح لغيره).
    Shohih lighoirihi adalah hadits hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya,
Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash rodhiallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.
Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.
Hadits Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak bisa sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total, maka jadilah hadits shohih lighoiri. Hadits ini dinamakan shohih lighoiri, walaupun nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun karena bila dinilai secara total bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat shohih.
  1. Hasan lidzatihi ( hasan dengan sendirinya) (الحسن لذاته).
Hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan.
Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم

“Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
<
Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah.
  1. Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan) (الحسن لغيره).
Hasan lighoirihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu. Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi)
Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.
Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.
  1. Hadits dho’if (الضعيف)
Hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan. Misalnya,”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.”
Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.
d. Hadits-hadits ahad (selain hadits dho’if) memberi dua faedah:
  1. Dzon, yaitu sangkaan kuat tentang sahnya penyandaran penukilan hadits dari seseorang. Dan hal ini bertingkat-tingkat sesuai tingkatnya masing-masing yang telah disebutkan. Terkadang hadits ahad memberi faedah ilmu jika ditemukan banyak indikator dan dikuatkan oleh ushul (kaedah pokok dalam syari’at)*.

    * Misalnya dengan indikator (qorinah), hadits tersebut diterima oleh seluruh umat. Tidak ada yang menolaknya misal hadits innamal ‘amalu biniyat. Ini termasuk hadits ghorib, akan tetapi karena seluruh ulama menerimanya, maka ini adalah qorinah yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah benar-benar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Atau hadits tersebut didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok dalam syari’at. Ada banyak ayat yang menunjukkan. kebenaran maksud dari hadits tersebut. Maka ini merupakan indikasi kuat bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Atau itu adalah hadits yang muttafaqun ‘alaih. Meskipun itu adalah hadits ahad atau ghorib. Namun itu menjadi qorinah yang kuat. Ini pendapat yang dirojihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini yaitu hadits ahad itu memberi faidah dzon kecuali ada qorinah. Jadi, hadits ahad itu memberi faidah ilmu (yakin) jika ada indikator-indikator pendukungnya. Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama, yaitu :Jika itu adalah hadits yang shohih meskipun ahad maka memberi faidah ilmu. Memberi makna yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Ini adalah madzhabnya Imam Ibn Hazm.Memberi faidah dzon.
Memberi makna keyakinan (’ilmu) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya jika ada indikator penguat (maka jika tidak ada penguat maka memberi faedah dzon). Dan ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
  1. Mengamalkan kandungannya. Dengan mempercayainya jika berupa berita dan mempraktekkannya jika berupa tuntutan*.
* Baik tuntutan untuk mengerjakannya atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jadi hadits ahad memberi faedah amal. Jika hadits itu berupa masalah aqidah berupa masalah khobar maka tetap wajib menjadikannya sebagai aqidah dan mempercayainya. Jadi ucapan ulama bahwa hadits ahad yang shahih itu memberi makna sangkaan kuat, itu sama sekali tidak ada hubungannya bahwa dalam masalah aqidah tidak diamalkan. Meskipun ada tiga pendapat untuk masalah ini, meskipun ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun, namun mereka tetap beramal dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah. Inilah curangnya Hizbut Tahrir.
Ketika mereka mengatakannya bahwasannya mereka tidak mau menerima hadits ahad dalam masalah aqidah. Lalu mereka mengatakan yang mendukung kami adalah ulama ini, disebutkan satu dua tiga dst disebutkan. Padahal apa yang disebutkan oleh ulama tersebut bahwa hadits ahad memberi makna (dzon) sangkaan. Dan sangkaan yang dimaksudkan adalah sangkaan yang kuat bukan sekedar sangkaan. Sama sekali mereka tidak bermaksud dikarenakan itu memberi makna dzon kemudian tidak dipakai dalam masalah aqidah. Namun Hizbut Tahrir curang. Mereka katakan yang mendukung kami adalah ulama ini dan itu. Padahal ulama tersebut membicarakan dari segi itu memberi makna dzon atau tidak dan beliau merojihkan memberi makna dzon. Lalu apakah beliau mengatakan itu tidak diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah? Tidak. Beliau tetap menerimanya sebagai dalil dalam masalah aqidah. Hanya saja ulama tersebut memilih memberi makna dzon. Karena mengamalkan hadits ahad dalam masalah aqidah adalah ijma ulama salaf. Sebagaimana dinukil oleh banyak ulama. Meskipun itu adalah hadits ahad, maka itu adalah memberi faidah amal dengan dijadikannya sebagai aqidah jika berisi masalah-masalah aqidah.
Adapun hadits yang dho’if, tidak memberi faedah dzon dan amal. Dan tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadits dho’if tanpa diiringi dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti (targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat* .
*** Tiga syarat ini berasal dari Ibnu Hajar Al Asqolani. Kalau dalam masalah hukum, Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama ijma tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if dalam masalah hukum. Dan ada perselisihan dalam masalah fadhoil amal/masalah targhib dan tarhib. Ada ulama yang menolak hadits yang dho’if untuk targhib dan tarhib sebagai dalil secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan Imam Muslim. Inilah pendapat yang dirojihkan Syaikh Al Imam Al bani di Muqodimmah Shohih Jami Shogir. Namun ada ulama yang membolehkan dengan persyaratan. Semacam Ibnu Hajar Al Asqolani. membolehkan dengan tiga persyaratan ini.
  1. Dho’ifnya bukan dho’if yang sangat*.

* Dho’ifnya tidak sangat, mungkin karena mursal atau ada rowi yang majhul.
  1. Hendaknya pokok amal yang disebutkan di dalamnya motivasi dan menakuti-nakuti ada berdasarkan hadits yang shohih*.

* Misalnya, sholat dhuha adalah sholat yang disyariatkan berdasar hadits yang shohih. Kemudian ada hadits dho’if yang dho’ifnya ringan berkenaan keutamaan sholat dhuha. Artinya sholat dhuhanya sudah masru’ (disyari’atkan) berdasar hadits yang shohih. Tsabit berdasar hadits yang shohih. Misalnya juga tentang sholat malam. Tentang sholat malam haditsnya shohih kemudian ada hadits yang dho’ifnya ringan menceritakan tentang keutamaan orang yang melaksanakan sholat malam. Namun amalnya sudah masru berdasar hadits yang shohih.
Jika amalnya belum jelas dalilnya, maka tidak boleh. Karena syaratnya ashlul amal (landasan beramal) terdapat dalil yang shohih. Misalnya ada satu hadis menyatakan keutamaan suatu amal dan tidak ada hadits shohih yang menyatakan disyariatkannya amalan ini maka tidak boleh menyebutkan hadits dho’if ini. Karena asal muasal amal yaitu ibadah yang hendak dimotivasi itu tidak disyariatkan sebab dasarnya adalah hadits yang shohih.
  1. Tidak diyakini bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya*.
    * Imam Albani rohimahullah mengatakan, “Jika tiga persyaratan ini diperhatikan oleh orang yang membolehkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal maka selesai masalah”. Karena ketika menyampaikan dia tahu, misalnya ini adalah hadits mursal. Maka dia bisa memenuhi persyaratan ketiga karena tahu.Namun jika orangnya tidak mengetahui, ini lemahnya seberapa atau bahkan palsu bagaimana melakukan poin yang ketiga. Yang menjadi masalah ketika berdalil dengan hadits dho’if tentang suatu amal kemudian diingatkan mereka menyatakan, “Ini kan fadhoil amal/targhib dan tarhib. Kan boleh menurut sebagian ulama”.
Namun ketika ditanya, bagaimana dengan persyaratannyat. Pertama dho’ifnya tidak sangat dan syarat ketiga tidak boleh yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya, mereka bahkan tidak tahu Oleh karena itu jika tiga syarat ini diperhatikan, maka selesai masalah. Namun tiga persyaratan tersebut tidak bisa dipenuhi kecuali oleh pakar hadits. Sehingga dia tidak meyakini bahwa itu adalah bukan hadits dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka faedah menyebutkan hadits dho’if ketika memotivasi suatu amal (targhib) adalah mendorong jiwa untuk melakukan amal yang dimotivasi untuk mengharapkan pahala itu. Kemudian jika mendapatkan pahala maka alhamdulillah dan jika tidak maka tidak menjadi masalah baginya kesungguhannya dalam beribadah. Karena ibadahnya disyari’atkan dan ada pahala di dalamnya. Karena orang tersebut masih mendapatkan pahala yang pokok, yaitu pahala asal amal yang berdasar hadits yang shohih yang merupakan konsekuensi melakukan suatu perkara yang diperintahkan. Sedangkan suatu perkara yang diperintahkan pasti ada pahalanya. Maka dia tidak kehilangan pahala yang asli.
Dan faidah menyebut hadits dho’if dalam tarhib adalah menakuti-nakuti jiwa untuk melakukan perkara yang ditakut-takutkan. Karena khawatir terjerumus dalam hukuman tersebut. Dan tidak masalah baginya jika dia menjauhinya dan tidak terjadi
Jadi pembagian yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam aqidah, merupakan pembagian yang muhdats (bidah). Ini bisa dilihat dari beberapa segi. Berdasarkan nash Al Qur’an, banyak ayat (firman Allah) yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i. Diantaranya tersebut dalam kitab Ar Risalah, bahwa khabar ahad itu diterima. Demikian juga dari hadits-hadits yang akan kita lihat. Diantaranya, bahwa Rasulullah mengutus sebagian sahabat orang per orang untuk menyampaikan Is­lam.
Pembagian yang dilakukan Hizbut Tahrir tersebut bertentangan dangan Ijma’ para sahabat. Para sahabat tidak pernah menolak hadits yang disampaikan oleh satu sahabat yang lain yang berkenaan dangan aqidah dan contoh tentang ini banyak sekali. Bertentangan dangan kaidah ilmu hadits, yang dapat menunjukkan kebodohan mereka. Memang, perlu diketahui bahwa ahlul bid’ah itu menegakkan manhaj mereka atas dasar kebodohan dan hawa nafsu. Sedangkan Ahlus Sunnah menegakkan manhaj di atas dasar ilmu dan keadilan.
CONTOH-CONTOH HADITS AHAD
Sering terjadi, apa yang disangka oleh Hizbut Tahrir sebagal hadits ahad, ternyata bukan ahad. Sebagai contoh tentang adzab kubur. Bahkan mereka sering menyampaikan pengingkarannya terhadap adzab kubur. Padahal hadits tentang masalah ini mutawatir maknawi. Dan masih banyak contoh lainnya.
Hadits apa saja yang mereka tolak? Ini harus diteliti terlebih dahulu, apakah termasuk khabar ahad ataukah mutawatir? Demikian jika kita mengikuti teori mereka. Tetapi ternyata mereka tidak paham yang dimaksud dangan ahad dan mutawatir.
Di depan sudah disampaikan, jika kita menerima teori mereka, maka sebagian besar aqidah akan tertolak. Contoh-contoh hadits ahad yang diterima, disepakati dan dijadikan dalil oleh para ulama dari zaman ke zaman, yang di dalamnya disamping berbicara tentang aqidah, tetapi juga hukum, atau yang lainnya. Karena keduanya berkaitan. Contohnya, kita lihat satu per satu.Contoh pertama, hadits 1 yang kami bawakan dan Shahih Bukhari, yaitu sebuah hadits ahad dan gharib.
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امريء ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun ‘alaih).
Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.Contoh kedua, yaitu hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan
ماذا يأمركم قلت يقول اعبدوا الله وحده ولا تشركوا به شيئا واتركوا ما يقول آباؤكم ويأمرنا بالصلاة والصدق والعفاف والصلة

Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab, ‘Muhammad mengatakan. ‘Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dangan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…
Apakah yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan aqidah? Demikian ini aqidah, dan hadits ini juga merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini tercapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yaitu:
بسم الله الرحمن الرحيم من محمد عبد الله ورسوله إلى هرقل عظيم الروم سلام على من اتبع الهدى أما بعد فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتك الله أجرك مرتين فإن توليت فإن عليك إثم الأريسيين و يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم أن لا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون

Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dangan ajakan Islam, islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam membawakan ayat, yang artinya.) Katakanlah. “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dangan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagal llah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka . “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS Ali Imran:64).
Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid. Apakah seperti ini bukan aqidah? Demikian ini adalah masalah aqidah. Bahkan dalam hadits ini terkumpul masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya. Kalau hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagal hujjah dalam masalah aqidah, maka hadits yang mulia ini tertolak.Contoh ke tiga, hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar,
قال رسول الله صلى الله عليه وآل وسلم : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمد ا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan (dalam riwayat lain puasa ramadhan baru haji).
Bukankah hadits ini telah disepakati oleh para ulama dan diterima dari zaman ke zaman? Hadits ini menjelaskan tentang rukun-rukun Islam, dan diawali dangan syahadat. Apakah ini bukan masalah aqidah? Di sini kita melihat lagi bahwa satu hadits, selain berbicara masalah aqidah, juga masalah hukum.Contoh ke empat, yaitu hadits nomor 9, di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini, selain ahad juga gharib, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان

Dari Nabi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.
Hadits ini menjelaskan tentang cabang keimanan, Yakni, iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih. Dan di riwayat Imam Muslim,
الإيمان بضع و سبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لا إله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق والحياء شعبة من الإيمان

iman itu tujuh puluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan, yang paling rendah ialah menyingkirkan, gangguan dari jalan, dan malu merupakan, salah satu cabang iman.
Hadits ini juga berbicara tentang aqidah, hukum, akhlak dan adab, seperti menghilangkan gangguan dari jalan. Padahal ini merupakan hadits ahad dan gharib. Jikalau kita menerima kaidah mereka (Hizbut Tahrir), maka tertolaklah hadits ini, karena tidak diriwayatkan secara mutawatir.Contoh ke lima, hadits yang ke 14 dan 15. Ini juga merupakan hadits ahad, berbicara tentang aqidah. Yaitu kecintaan kepada Rasulullah dan cara mencapai kesempurnaan cinta kepadanya. Diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فوالذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampal aku lebih dicintal daripada bapak dan anaknya.
Dan hadits nomor 15, dari jalan Anas:
قال النبي صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampal aku lebih dicintal daripada bapak dan anaknya dan semua orang.
Ini juga berbicara tentang aqidah.Contoh ke enam, hadits nomor 16, tentang kelezatan atau manisnya iman yang dapat dirasakan oleh seseorang.Diriwayatkan dari Anas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار

Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintal daripada selain keduanya, mencintal seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka.

Hadits ini juga berbicara tentang cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan juga keimanan. Bahwa iman itu punya rasa. Demikian ini adalah masalah aqidah.Contoh tujuh, hadits nomor 26.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل فقال إيمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau: menjawab, Iman kepada Allah dan RasulNya. ” Kemudian ditanya lagi, Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Jihad dl jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau menjawab, Haji yang mabrur ‘
Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena itu, Imam Bukhari memberikan Bab : Man Qaala Annal Iman Huwal Amal, bahwa amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi ditanya tentang amal yang paling afdhal, Beliau menjawab iman kepada Allah.Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya akan menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena perbuatan ta’at, dan bisa berkurang karena perbuatan maksiat.
Contoh ke delapan, hadits nomor 32, darijalan Abdullah bin Mas’ud.
لما نزلت { الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم } قال أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أينا لم يظلم فأنزل الله { إن الشرك لظلم عظيم }

Ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang­-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dangan kezhaliman (syirik), mereka Itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (OS. Al An’am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata, Siapakah diantara klta yang tidak berbuat zhalim?’ lalu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar.
Ketika ayat Al An’am 82 diturunkan, para sahabat merasa susah dan berat. Mereka mengatakan, siapakah diantara kita yang tidak menzhalimi dirinya? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan kepada mereka, bahwa bukan itu yang dimaksud; tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya? Jadi zhulm (kezhaliman) di sini, maksudnya adalah syirik. Ini juga berbicara tentang aqidah, antara tauhid dan syirik.Contoh ke sembilan, hadits no. 39, dari Abu Hurairah
إن الدين يسر
Sesungguhnya agama ltu adalah mudah

Ini juga berbicara tentang aqidah, bahkan berbicara tentang agama ini secara keseluruhan. Bahwa ajaran Islam, pengamalan dan dakwahnya adalah mudah. Apakah ini tidak berbicara aqidah? Hadits ini berbicara tentang Islam, dan tentunya kaffah. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaffah (menyeluruh).Contoh ke sepuluh, hadits nomor 50. Yaitu hadits tentang Jibril yang datang kepada Nabi lalu bertanya Islam, iman dan ihsan, dan di Shahih Bukhari diringkas.
ما الإيمان قال أن تؤمن بالله وملائكته وبلقائه ورسله وتؤمن بالبعث قال ما الإسلام قال الإسلام أن تعبد الله ولا تشرك به وتقيم الصلاة وتؤدي الزكاة المفروضة وتصوم رمضان قال ما الإحسان قال أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك

Apakah iman ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dangan-Nya, para rasul-Nya dan beriman kepada harl kebangkitan.’ Jibril bertanya, Apakah Islam? Rasulullah bersabda, ‘Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang walib, puasa Ramadlan.’ Jibril bertanya, Apakah lhsan? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-­akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu …
Hadits ini termasuk ahad.Contoh ke sebelas, hadits nomor 53, yaitu hadits tentang utusan Abdul Qais yang datang kepada Rasulullah, lalu menyambut mereka dan memerintahkan kepada mereka empat perkara dan melarang dari empat perkara.
أمرهم بالإيمان بالله وحده قال أتدرون ما الإيمان بالله وحده قالوا الله ورسوله أعلم قال شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وأن تعطوا من المغنم الخمس

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintah mereka agar beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bertanya, ‘Tahukah kalian, apakah beriman kepada Allal semata itu? Mereka menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Beliau menerangkan, syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam itu Rasulullah, menegakkan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadlan dan memberikan seperlima dari ghanimah…
Ini juga berbicara tentang iman.Contoh ke duabelas, hadits nomor 1331, dan di beberapa tempat lainnya, dari jalan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث معاذا رضى الله تعالى عنه إلى اليمن فقال ادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله قد افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengutus Mu’adz Radhiallahu ‘anhu ke Yaman, lalu Rasulullah bersabda, ‘Serulah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan bahwasanya aku Rasulullah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.
Hadits yang mulia ini diterima oleh seluruh ulama. Apakah hadits ini bukan berbicara masalah aqidah? Bahkan ini merupakan asas dalam Islam. Tidak ada Islam tanpa syahadatContoh ketigabelas, dari selain Bukhari. Yaitu hadits yang masyhur dan telah diterima oleh para ulama.
إن الرقى والتمائم والتولة شرك

Sesungguhnya mantera-mantera (yang bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik.
Tentunya mantera-mantera yang dimaksudkan disini adalah mantera yang bathil. Karena ruqyah (pengobatan dangan bacaan) itu ada dua, ada yang syar’i dan yang tidak syar’i. Hadits ini juga ahad, dan masih banyak lagi contoh-contoh tentang hadits ahad yang berkaitan dangan aqidah, dan diterima oleh para ulama.PEMBAGIAN HADITS MENJADI MUTAWATIR DAN AHAD

Pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, memang ada dalam kaidah ilmu hadits. Namun perlu diketahui, bahwa para ulama membagi hadits menjadi mutawatir dan ahad bukan untuk menolak hadits.
Pembagian itu merupakan tinjauan ilmiah, berdasarkan jumlah (banyak atau sedikitnya) perawi yang meriwayatkannya. Sebagian tinjauan mereka berdasarkan shahih dan lemahnya suatu riwayat.
Berdasarkan jumlah perawinya, jika perawi suatu hadits itu banyak, maka para ulama mengatakan bahwa hadits itu mutawatir, meskipun mereka masih berbeda pendapat tentang batasan banyak atau sedikit. Juga ada definisi lain tentang mutawatir ini, yaitu jika hadits tersebut diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama. Definisi ini dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Adapun hadits ahad, yaitu hadits di bawah mutawatir. Mereka membagi menjadi:
- Gharib, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja, sebagaimana hadits pada contoh pertama dan ke empat di atas.
- Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua or­ang sahabat, walaupun lafazhnya agak berbeda.
- Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yang berbeda.
Ini semua termasuk dalam bagian hadits ahad. Maka disini ada pembagian hadits menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if.
Jika perawinya lebih dari tiga, maka disebut mutawatir. Demikian jika mengumpulkan antara dua definisi diatas. Contoh hadits seperti ini sangat banyak. Misalnya:
من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار

Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.
Hadits tentang azab kubur ini juga mutawatir maknawi (secara makna). Begitu juga tentang turunnya Isa -di akhir zaman, munculnya Dajjal, haudh (telaga) Nabi, tentang bumi berlapis tujuh. Dan masih banyak lagi contohnya.Adapun berdasarkan difinisi Syaikhul Islam, yaitu hadits yang diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama, bisa juga disebut mutawatir. Ini sangat banyak sekali, terutama hadits­-hadits yang berada di shahih Bukhari dan Muslim
(Majalah as-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M)
Assalamu’alaikum
hadits ahad dlm ht tidak di tolak, selama shohih diamalkan, seperti hadits innamal a’maalu binniyat. Maksud dari tidak dijadikan hujjah dalam akidah lebih tegasnya adalah tidak digunakan sebagai hujjah untuk membuktikan kekafiran seseorang jika dia menolak hadits tersebut. Contoh konkretnya, kita mengamalkan hukum puasa sunah 6 hari pada bulan syawal. dasar hukumnya adalah riwayat yang tidak muttawaatir. Kita membenarkan hadits itu dan mengamalkannya, tidak menganggap puasa itu sebagai bid’ah yang diada-adakan, sebab memang secara shahih diriwayatkan dari Nabi Shalallau ‘alaihi wa sallam. Apa artinya menggamalkan tanpa membenarkan? Tapi jika ada orang yang tidak mengamalkannya dengan alasan menolak kebenaran hadits tersebut, dia tidak kita jatuhi had murtad, sebab dia tidak menolak hal yang qath’i. Ulama yang berpendapat demikian setahu saya bukan hanya dari HT, Al Amidi menganggap orang yang tidak mengamalkan hadits ahad dalam perkara halal-haram sebagai fasiq, belum sampai kafir. Lain halnya dengan menolak yang muttawatir, seperti menolak kewajiban sholat lima waktu. Maka dia kafir. Karena, sisi pembenaran bahwa sholat lima waktu adalah wajib itu merupakan bagian aqidah. Lain halnya dengan orang yang tidak mengamalkan sholat shubuh, tapi tidak mengamalkannya pada waktunya tanpa alasan yang benar, maka dia berdosa. wallaahu a’lam
Bisa anda buktikan ucapan anda ini dari referensi yang jelas. Padahal buku mutabanat HT telah sharih menjelaskan bahwa hadits ahad tidak boleh ditetapkan di dalam masalah i’tiqod.
An-Nabhani rahimahullahu menyatakan di dalam kitab ad-Dusiyah hal. 3 : “Terdapat perbedaan antara hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy dan boleh dengan dalil qoth’iy kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qoth’iy, tidak boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan harus dengan dalil yakin, apabila dalilnya qoth’iy maka wajib diimani dan mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya dhonniy maka haram bagi tiap muslim mengimaninya, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qoth’iy”
Sedangkan menurut HT hadits ahad itu dhanniy dan berdosa hukumnya menetapkan masalah i’tiqod dengan hadits ahad. Ini adalah masalah yang sudah diketahui secara terang dari buku-2 HT. Adapun ucapan anda di atas maka anda harus menunjukkan buktinya… Terima kasih.
Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )
Senin, 12 April 04
Mukaddimah

Pembahasan seputar Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa. Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki oleh Allah.
Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.

Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin). Benarkah statement-statement yang mereka lemparkan?, berikut ulasan mengenai masalah yang amat prinsipil dan urgen tersebut.

A. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )

Definisi

Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H)
Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin)?

I. Pendapat Pertama:

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.

Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun penisbahan ini TIDAK BENAR SAMA SEKALI.
IMAM AHMAD dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits) dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan para periwayat kategori LEMAH. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap apa yang dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT PERTAMA INI

Pendapat tersebut jelas-jelas TIDAK BENAR DAN TIDAK MASUK AKAL, sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya, padahal kita tahu bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong dan suka lalai.

II. Pendapat Kedua

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd TIDAK DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.

Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan Ulama Ushul Fiqih (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini seperti al-Juwainiy dan Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di dalam sebagian kitab mereka pendapat yang justeru sepakat dengan PENDAPAT KETIGA nanti.
Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.

SYUBHAT MEREKA

Mereka berkata, "Sesungguhnya kami di dalam menerima Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sekalipun tingkat 'adalah nya mencapai puncaknya, tidak mendapatkan pada diri kami selain persentase dominan bagi kebenarannya atas kebohongannya namun tanpa dapat memastikan.

JAWABAN TERHADAP PENDAPAT TERSEBUT

Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga akan katakan bahwa terhadap Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru kami mendapatkan pada diri kami informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan seperti yang anda katakan bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih unggul. Manakala anda tidak mendapatkan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri anda, maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh digeneralisir sebab ia hanyalah pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri anda sendiri. Hal ini dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang dapat menginformasikan ilmu kepada anda sebagaimana yang didapat oleh Ahlussunnah dan al-Hadits, yang memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka untuk mendapatkan dan mencarinya.

Karena itu, kami katakan kepada orang yang menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda kepada hadits, antusiaslah untuk itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali kondisi para periwayat dan biografi mereka, jadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika itu anda akan mengetahui: "Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut memberikan informasi ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan terhadapnya dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi ilmu kepada anda.
Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa ia tidak memberikan informasi ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu artinya, anda telah menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan jatah anda sendiri dari hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga tidak perlu melibatkan orang lain).

III. Pendapat Ketiga

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA BERSYARAT

Inilah pendapat YANG SHAHIH.

Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal dari Qarâ`in) bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya. Termasuk dalam hal ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga; baca: belecekan) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi banyak dan masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat (al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya, diantaranya juga ada yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas memberikan informasi ilmu menurut JUMHUR Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan pendapat.

ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA

Alhamdulillah, dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali, diantaranya:
  • Membeda-bedakan antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in.
    Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Rasulullah sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata terhadap orang yang memberikan informasi kepada mereka, "Khabar yang kamu bawa adalah Khabar Ahâd, tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)… sehingga kemudian ia bisa menjadi Mutawatir.

    Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd.
    Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati di dalam menerima informasi.
    Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma' para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka.
  • Rasulullah pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan kesia-siaan seperti itu.
  • Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu orang.
    Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut.
B. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid) Di Dalam Masalah 'Aqidah

Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan.
Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT INI

Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy (tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.

ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA (MADZHAB SALAF) DI DALAM MASALAH INI

1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan BID'AH (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain sebagainya.

2. Adanya khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah.
Diantara indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله ...""
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
Di dalam riwayat yang lain,
"…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq disembah- selain Allah."

3. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).

Kedua statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul, amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"
Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :

"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.s., an-Nûr :2)

Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan 'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir.

(Diambil dari buku Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , karya Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Hal.42-48)

C. Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy

Imam asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.

Dimasa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak HadIts Ahâd.

Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat independen sementara kelompok ketiga, tidak kurang dari itu.

Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama.

Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
  • Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
  • Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal itu.
  • Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
    "Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya). (H.R.Abu Daud)
  • Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd. (Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya terhadap as-Sunnah)

D. Fatwa Ulama Kontemporer

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah 'aqidah menjawab:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
  • Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu :
    "Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat"
    Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
  • Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
  • Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.
  • Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan yang diajukan oleh individu atau kelompok.
Kesimpulannya:

Bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat, misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan) yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang dijadikannya sebagai dalil. (Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân (editor), Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn, (Riyadl: Dâr at-Tsurayya, 1414 H/1994 M), Cet. II, hal. 31-32)

Hadits Ahad Memberikan Keyakinan Yang Bersifat Nazhari

HADITS AHAD MEMBERIKAN KEYAKINAN YANG BERSIFAT NAZHARI

PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, berbagai macam penyimpangan dalam pemikiran dan aqidah saling bermunculan. Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, telah menjadi ajang kekonyolan mereka. Pendapat-pendapat ganjil mereka usung, dan mereka sebarluaskan untuk mendiskreditkan Ahli Sunnah, mendistorsi ajaran Sunnah. Ini mereka lakukan dengan kedok melindungi aqidah yang benar dan membentengi keimanan dari keraguan.

Diantara prinsip sesat dan batil yang terlontar, misalnya pernyataan : “hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam bidang aqidah”, “membangun aqidah dengan hadits ahad adalah batil dan haram”, “hadits ahad yang tidak sejalan dengan akal dan dzauq (rasa), wajib diragukan atau ditolak”. Bahkan yang lebih sesat dari ini, yaitu kelompok yang berdiri di atas paradigma “setiap hadits Nabi yang tidak sesuai dengan peradaban Barat wajib ditafsir ulang atau ditolak”.

Buku-buku serta tulisan orang yang menolak hadits ahad sebagai dasar hukum dalam bidang aqidah atau mengharamkan hadits ahad sebagai hujjah dalam keimanan, telah tersebar luas dan meracuni umat Islam. Sebut saja misalnya buku Al Istidlal Bi Al Zhan Fi Al Aqidah (Muhammad Salim), buku Absahkah Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Siksa Kubur? (Syamsuddin Ramadhan), buku Masalah-Masalah Khilafiyyah Diantara Gerakan Islam, makalah Sekali Lagi Tentang Hadits Ahad (Muhammad Umar Bakri dan Muh. Lazuardi Al Jawi), makalah Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi (Muh. Lazuardi Al-Jawi), dan lain-lain. Yang seluruhnya bernada sama, yaitu menyampaikan pesan bahwa hadits ahad itu sama dengan zhan. Sedangkan zhan tidak boleh diyakini. Meyakini yang zhan adalah batil dan haram, karena itu wajib diingkari.

Lucunya, kesimpulan semacam ini dikesankan seolah-olah merupakan Ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan ulama. Sehingga tidak mengherankan, jika –misalnya- Muhammad Umar Bakri dalam makalahnya yang hanya 11 halaman itu menyebutkan tidak kurang dari 130 nama ulama Salaf, Khalaf dan para cendekiawan. Begitu pula selain Muhammad Umar. Akan tetapi, isinya kalau tidak salah data, maka salah dalam terjemah, atau salah dalam analisa dan pemahaman. Bahkan ada yang salah dalam menulis judul. Misalnya buku yang berjudul Absahkah Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Siksa Kubur. Ternyata judul buku ini juga ditulis dengan bahasa Arab sebagai berikut: (هل الصحة؟ الاستدلال با لظن فى العقيدة و العذاب القبرى) padahal seharusnya : (هل يصح الاستدلال بخبرالآحاد), karena kalimat tanya: (هل الصحة), adalah salah menurut bahasa Arab. Sedangkan perkataan: (الاستدلال با لظن), salah menurut ushul dan kaidah. Sebab zhann tidak identik dengan hadits ahad, dan hadits ahad pun bukan sinonim bagi zhann. Jadi, judul buku ini saja telah mengandung unsur jahl (kebodohan) dan sekaligus zhulm (aniaya). (Sebab telah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu mengidentikkan zhann dengan hadits ahad.-red).

Faktor utama yang menyebabkan mereka menyimpang, adalah pemahaman yang salah tentang para ulama serta perkataan mereka mengenai hadits ahad. Oleh karena itu, di sini akan saya paparkan tentang kekuatan informasi yang ditunjukkan oleh hadits ahad; apakah ia memberikan keyakinan secara mutlak atau bersyarat? Ataukah ia memberi makna dugaan secara mutlak? Dan apakah ia boleh menjadi sandaran dalam aqidah?

Tulisan berikut ini, diambil dari skripsi saya berjudul Khabar Al Ahad ‘Inda Al Ushuliyyin, yang saya tulis pada tahun 1413 di bawah bimbingan Dr. Ahmad Al Khatm Al-Sudani Al Ushuli.

PENGERTIAN HADITS AHAD
Ahad (آحاد) adalah bentuk jamak dari ahad (أَحَد), yang berarti satu orang yang sendirian, atau orang yang tidak ada duanya. Akan tetapi -dalam istilah ulama ushul- yang dimaksud dengan hadits ahad, adalah kabar berita yang dengan sendirinya tidak memberikan ilmu (keyakinan). Dalam arti, apakah tidak memberikan ilmu sama sekali? Ataukah memberikan ilmu dengan adanya qarinah (indikator) dari luar dirinya? Ini adalah definisi jumhur (mayoritas ulama). Jadi, berdasarkan definisi ini, hadits mustafidh atau masyhur juga termasuk ahad.

Berbeda dengan kelompok Hanafiyyah. Al Amidi (w. 631 H) mengatakan: “Definisi yang paling dekat (kepada kebenaran tentang hadits ahad) adalah kabar yang tidak sampai pada batas mutawatir”.

KEKUATAN HADITS AHAD
Para ulama bersepakat, bahwa hadits mutawatir itu memberikan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) dan yaqini (pasti), karena tidak ada ruang bagi kemungkinan dusta atau salah dari para perawi. Adapun kabar ahad yang shahih, terdapat perselisihan yang banyak dan polemik yang panjang. Akan tetapi dapat disimpulkan menjadi tiga pendapat.

Pertama : Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dharuri (apriori) secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim ataupun oleh yang lain.

Ini adalah madzhab Daud Azh Zhahiri (200-270 H), Husain Al Karabisi (w. 245 H), Harits Al Muhasibi (243 H) dan Imam Malik (menurut Ibnu Khuwaiz Mindad), dan inilah yang dipilih oleh Ibn Hazm (384-456 H) dalam Al Ihkam, dia mengatakan : “Sesungguhnya perkataan satu orang yang adil dari orang yang sama sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan ilmu (keyakinan) dan amal sekaligus”.

Kedua: Hadits ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim atau oleh salah satunya, maka ia adalah qath’i tentang keshahihannya dan menghasilkan ilmu yang yakin.

Demikian ini madzhab Ibn Ash Shalah (577-643 H), dan dia mengecualikan beberapa hadits yang telah dikritik oleh para kritikus hadits seperti Daruquthni (306-380 H).

Bahkan Al Bulqini (724-805 H) mengatakan, bahwa madzhab ini juga diikuti oleh sejumlah huffazh mutaakhkhirin (para ahli hadits pada masa belakangan), seperti Abu Ishaq Asy Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al Isfiraini (344-406 H), Qadhi Abu Ath Thib (w. 308 H) dari kelompok Syafi’iyyah, As Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah, Qadhi Abdul Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah, Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al Khaththab (432-510 H), Ibn Az Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah, Ibn Furak Asy Syafi’i (w. 406 H), dan mayoritas Ahli Kalam dari Asy’ariyyah, serta seluruh ahli hadits dan madzhab Salaf secara keseluruhan.

Bahkan Ibn Thahir Al Maqdisi menambahkan : “Semua hadits yang shahih menurut syarat Bukhari-Muslim juga qaht’i, meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (726 H), Al Hafizh Ibnu Katsir (700-774 H), dan Ibnu Hajar (773-852 H) dan Ali Ibn Al Izz Al Hanafi (731-792 H).

Syaikh Abdur Rahman Dimisyqiyah dalam kitabnya, Mausu’ah Ahlis Sunnah menjelaskan, madzhab ini juga dianut oleh Abu Al Muzhaffar As Sam’ani, Abu Abdillah Muhammad Al Humaidi, As Sakhawi, As Suyuthi (849-911 H), Al Allamah Muhammad As Sindi Al Hanafi, Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi Al Hanafi, Muhammad Anwar Al Kasymiri Ad Deobandi dan Abu Bakar Al Jashshash Al Hanafi (305-370 H).

Ketiga : Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i, akan tetapi zhanni ats tsubut secara mutlak.

Ini adalah madzhab kelompok Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Muturidiyah dari kalangan madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan mayoritas Malikiyah (maksudnya, kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah yang dalam beraqidah mengikuti Asy’ariyah atau Ma’turidiyah, Red). Di antaranya adalah Ar Razi (544-606 H), Al Ghazali (405-505 H), Al Juwaini (478 H) dan Ibn Abdis Salam (577-660 H). Dan inilah yang ditarjih oleh Imam Nawawi t (631-670 H).

DALIL MASING-MASING MADZHAB
Tiga madzhab di atas, masing-masing memiliki argumen yang tertuang panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Akan tetapi, secara global dapat saya simpulkan sebagai berikut:

Dalil Madzhab Pertama.
1. Ilmu yaqini ini, bersifat ilmu nazhari burhani. Artinya keyakinan yang didasarkan kepada penelitian dan pembuktian. Karena itu, kemampuan melakukan penelitian serta pembuktian tidak dimiliki, kecuali oleh orang alim (berilmu) yang ahli dalam bidang hadits, yang mengetahui ihwal para perawi dan macam-macam illat. Adapun orang lain yang tidak memiliki sifat-sifat ini, tidak mungkin akan menghasilkan ilmu yaqini ini.

2. Ilmu pasti yang didapatkan oleh orang alim yang ahli ini, tidaklah terbatas pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja, sebab keduanya tidak menghimpun keseluruhan hadits shahih.

3. Ijma’ ulama telah tegak, bahwa hadits ahad adalah hujjah dan wajib diamalkan, dan tidak dapat diterima secara akal, bila ada sesuatu yang wajib diamalkan tanpa meyakini kebenarannya. Ibn Taimiyyah mengatakan: “Ijma’ yang disebutkan berkaitan dengan hadits (riwayat) satu orang yang adil dalam hal i’tiqad, mendukung ucapan orang yang mengatakan bahwa hadits ahad mewajibkan ilmu (keyakinan)”.

4. Sesungguhnya kabar Nabi n tidak boleh dusta dan salah, maka seluruh ucapan Nabi dalam agama adalah wahyu. Tidak ada khilaf, bahwa wahyu itu dari Allah dan setiap wahyu terpelihara dengan penjagaan Allah. Setiap yang dijamin oleh Allah untuk dilindungi pasti tidak akan hilang.

Dalil Madzhab Kedua.
1. Madzhab kedua ini berhujjah, bahwa hadits ahad yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya memberikan ilmu yaqini karena keagungan dua imam dalam disiplin ilmu hadits ini melebihi ulama lain.

2. Para ulama telah menerima keduanya dengan bulat. Penerimaan ini menunjukkan qarinah (indikasi) terkuat dalam memberikan ilmu yaqini, daripada sekedar banyaknya jalur yang masih di bawah mutawatir. Akan tetapi, ini khusus untuk hadits yang tidak dikritik oleh para ulama huffazh (ahli hadits) dan nuqqad (kritikus hadits) yang jumlahnya mencapai 220 hadits, 78 khusus riwayat Imam Bukhari, dan 100 khusus riwayat Imam Muslim.

Dalil Madzhab Ketiga.
1.Hadits ahad memberikan ilmu zhanni nazhari, bukan yaqini dharuri. Karena, bersambungnya dengan Nabi n memiliki satu syubhat (kesamaran), baik dalam bentuknya maupun maknanya. Adapun syubhat dalam bentuknya, yaitu karena hubungan dengan Rasul Allah tidak secara langsung. Adapun dari segi maknanya, karena umat ini menerimanya setelah generasi tabi’in. Ustadz Abu Zahrah berkata,”Karena syubhat ini, maka mereka mengatakan ‘ia wajib diamalkan, selama tidak ada yang menentangnya’.”

2. Seandainya ia memberikan keyakinan, tentu tidak ada gunanya membedakan antara mutawatir dan ahad, tentu boleh menasakh Al Qur’an dan hadits mutawatir dengannya, karena ia satu kedudukan dalam memberikan keyakinan.

3. Imam Haramain (370-478 H) berkata : “Sesungguhnya perawi itu bisa salah –seandainya salah, dan itu tidak mungkin, tentu tidak ada rawi yang ruju’ dari riwayatnya-. Apabila kemungkinan salah telah menjadi jelas, maka memastikan kebenarannya adalah mustahil”.

MADZHAB YANG RAJIH
Kita telah mengetahui, masing-masing madzab memiliki sandaran argumentasi. Akan tetapi ketiganya dapat dikompromikan. Yang kita ketahui, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad ini, diistilahkan oleh para fuqaha dan ahli hadits. Sebelumnya, pada masa sahabat dan tabi’in belum pernah dikenal. Hal ini terjadi karena kebutuhan untuk memilah-milah hadits setelah tersebarnya fitnah dan banyaknya pemalsuan hadits, dan untuk menentukan tingkatan-tingkatan hadits.

Pembagian ini sangat bermanfaat. Diantara kegunaannya, yaitu bila ada ta’arudh (pertentangan) antara satu hadits dengan hadits lain dan tidak mungkin dikompromikan, maka memungkinkan untuk mentarjih salah satunya. Disamping itu, untuk dapat menentukan sikap yang tepat kepada orang yang menolak satu hadits ahad. Orang yang menerima istilah mutawatir dan ahad –yaitu jumhur- tidak mengkafirkan orang yang menolak satu hadits ahad atau hadits tertentu dari hadits ahad, sebab pada asalnya ia adalah zhanni at tsubut, akan tetapi perbuatannya ini adalah maksiat dan sesat.

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahli Sunnah dan Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar ahad, dapat dikompromikan. Sebab seluruhnya –kecuali Khawarij dan Mu’tazilah- bersepakat bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Syaukani (1173-1250 H): “Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan pada awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberi informasi zhan atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan apabila khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang bergabung dengannya dan menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pandapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (Ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia adalah memberikan ilmu (keyakinan), karena Ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, ada yang mengamalkannya dan ada yang menta’wilnya”. (Irsyad Al Fuhul, 49).

Ibn Taimiyyah (716 H) berkata : “Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah hadits ahad bisa memberikan ilmu (keyakinan) manakala didukung oleh qarinah-qarinah yang meyakinkan, -demikian ini ucapan jumhur ulama-,…Meskipun asalnya dia sendiri tidak memberikan ilmu (keyakinan), akan tetapi ketika disertai oleh Ijma’ Ahli Hadits yang menerima dan membenarkannya, maka kedudukannya seperti Ijma’ ulama ahli fiqh atas satu hukum yang didasarkan kepada makna zhahir atau qiyas atau hadits ahad. Menurut jumhur, maka hukum tersebut menjadi qath’i. Dan jika tanpa Ijma’, maka tidak qath’i, sebab Ijma’ itu ma’shum”. (Majmu’ Al Fatawa 18/ 40, 41, 48, 70). Al Amidi (551-631 H) mengatakan : “Pendapat yang terpilih adalah terwujudnya ilmu (keyakinan) dengan hadits ahad bila didukung oleh qarinah. Dan hal tersebut tidak mungkin tanpa qarinah”. (Al Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, 2/ 50). Kesimpulannya, secara umum hadits ahad itu memiliki karakter memberikan zhann, akan tetapi ucapan zhanniyah al hadits tidak bermakna lagi setelah hadits itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits, sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna zhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nazhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) yang didapat secara otomatis.

HADITS AHAD DALAM AKIDAH
Semua ulama Ahlu Sunnah yang terbagi dalam tiga madzab di atas bersepakat, bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Jika bersifat kabar berita, maka wajib dibenarkan (dipercayai) dan diimani. Jika bersifat larangan dan perintah, maka wajib ditaati.

Sikap seperti ini merupakan Ijma, sebagaimana kesaksian Al Hafizh Ibn Abd Al Barr (463 H) penulis kitab Asy Syawahid Fi Itsbat Khabar Wahid, dia menyatakan: “Telah ijma’ ahli ilmu dari ahli fiqih dan atsar di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) –sepanjang yang saya ketahui- untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah berijma’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau Ijma’. Inilah prinsip seluruh fuqaha’ di setiap negeri, sejak zaman sahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan beberapa kelompok Ahli Bid’ah. Yakni satu kelompok kecil yang (ketidak sepakatannya) tidak dianggap sebagai perbedaan pendapat”. (At-Tamhid, 1/ 11). lebih lanjut Ibn Abd Al Barr menegaskan : “Yang kami yakini, hadits ahad mengharuskan untuk diamalkan, bukan merupakan ilmu (dharuri), seperti kesaksian dua orang saksi dan empat orang saksi. Inilah yang dipegangi oleh mayoritas ahli fiqih dan atsar. Semua meyakini khabar al wahid al adl (hadits riwayat satu orang yang adil) dalam masalah aqidah; memusuhi dan mencintai karenanya, menjadikannya sebagai syari’at dan agama dalam keyakinan. Inilah pijakan Jamaah Ahlu Sunnah. Sedangkan sikap mereka dalam hukum seperti yang telah saya jelaskan”. (At Tamhid, 1/ 15).

Jadi dapat dipastikan, bahwa yang menolak hadits ahad dalam bidang aqidah adalah orang-orang Ahli Bid’ah. Mereka tidak memiliki hujjah, baik dari firman Allah, dari sabda Rasul maupun ucapan sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in (para pengikut tabi’in). Bahkan (menolak hadits ahad dalam masalah aqidah) bukan merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad. Karena mereka tidak menetapkan syarat mutawatir dalam hal ini. Bahkan yang menjadi ketetapan mereka adalah menerima riwayat satu orang yang adil dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Orang pertama yang tidak menerima hadits ahad adalah Ibrahim bin Ismail bin Aliyah (193 H). Dia merupakan salah satu tokoh Jahmiyah. Setelah Imam Syafi’i mendebatnya dan membatalkan hujjah-hujjahnya, dan dia tetap mengingkari hadits ahad, maka Imam Syafi’i mengatakan : “Ibn Aliyah telah sesat. Dia duduk di pintu al-Dhawall (…???…) menyesatkan manusia”. (Mausu’ah Ahlis Sunnah 1/513). Jadi mereka tidak memiliki hujjah, kecuali hanya mengobral kata bahwa “Al Asnawi (772 H) telah berkata…, Al Amidi (631 H) telah berkata…, As Sarkhasi (494 H) telah berkata…, Al Badawi (482 H) telah berkata, dan seterusnya ………”.

Kalau pada zaman klasik dipelopori oleh Khawarij, Jahmiyah dan Mu’tazilah, lalu diikuti oleh Asy’ariyah dan Maturudiyah, seperti Al Kirmani Al Hanafi (543 H), Ar Razi (606 H) dan Al Juwaini (478 H). Maka pada abad modern ini dipelopori oleh Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Muhammad Abu Zahrah, Dr. Abdul Hamid Mutawalli, kelompok Hizbut Tahrir, dan lain-lain. Bahkan untuk menguatkan kebid’ahannya, mereka tidak segan-segan berdusta atas nama para ulama. Misalnya, seperti Syaltut yang mengatakan, bahwa menolak hadits ahad dalam bidang aqidah merupakan ijma’ Ahli Ilmu, termasuk di dalamnya, yaitu imam madzhab yang empat. (Lihat Sulaiman Al Asyqar, Ashl Al I’tiqad, 14-15).

Semoga dengan kajian ini, aqidah kita semakin mantap, kecintaan kepada Sunnah dan Ahli Sunnah semakin melekat, dan simpul kebencian kepada bid’ah semakin erat.

Hadits Ahad Tidak Pasti??? Qultu: limadza???

Suatu ketika, saya pernah bertanya pada aktivis salah satu kelompok yang tidak meyakini hadits ahad (walaupun shahih) sebagai hujjah dalam aqidah. Jawab aktivis tersebut, “Karena untuk aqidah, kita memerlukan sesuatu yang pasti.”

Syubhat ini bisa dibantah dari beberapa sisi:
1.Orang-orang yang tidak menerima hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah akan mengalami kesulitan dalam mengelompokkan hadits, apakah suatu hadits tergolong hadits aqidah, akhlaq, fiqh, ataupun yang lainnya. Contoh:
a. Hadits tentang penaklukan kota Mekah (فتح مكة). Di dalam hadits itu terdapat beberapa kandungan, di antaranya: aqidah (yakni tentang penghancuran berhala di sekitar Ka’bah) dan akhlaq (bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membebaskan penduduk Mekah yang dulu pernah dan menyiksa beliau).
b.Hadits niat. Kalau mau diklasifikasikan, hadits ini bisa masuk ke semua bahasan ilmu. Kita lihat, dalam kitab-kitab aqidah hadits ini selalu disertakan. Demikian dalam masalah fiqh karena tidak sah ibadah seseorang karena niat. Demikian pula dari sisi akhlak, tentu dalam bergaul dalam kita membutuhkan niat yang lurus.
c.Hadits tentang shalat malam. Di samping ada bahasan masalah fiqh, yakni disyari’atkannya shalat malam, di hadits ini juga terdapat pembahasan aqidah yakni tentang nuzul (turun)nya Allah Ta’ala di sepertiga malam terakhir.
Salah satu kelebihan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah jawaami’ul kalim (kata-kata sedikit, tetapi maknanya luas). Tentu suatu hal yang bodoh jika memecah satu hadits menjadi beberapa bagian, yakni bagian aqidah, fiqh, ibadah, dan akhlaq, kemudian menerima bagian fiqh, ibadah, dan akhlaq, dan menolak sisi aqidahnya.
2.Ukuran pasti itu berapa orang? Dua? Tiga? Empat? Ukuran pasti itu bukan dari sisi banyaknya perawi. Tentu keadaan para perawi (sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya) tidak dapat dibandingkan dengan masa kita sekarang di mana hafalan orang-orang sekarang sangat lemah. Para salaf adalah orang yang diberi kelebihan oleh Allah yakni mempunyai hafalan yang sangat kuat. Bahkan seorang salaf terbiasa menutup telinganya ketika masuk ke pasar, supaya apa yang didengarnya di pasar tidak ikut masuk ke dalam pikirannya lalu kemudian terhafal. Amirul Mu’miniina fiil Hadits, Imam Bukhari rahimahullah bisa hafal 100 hadits salah yang dibolak-balik perawi dan matannya dengan hanya sekali dengar. Dan itu beliau lakukan di depan sepuluh orang yang mengetes hafalan beliau ketika beliau berada di Baghdad. Jika definisi pasti itu ditentukan berdasarkan perawi, maka ulama hadits tidak pernah mendefinisikan hadits shahih seperti itu. Hadits dikatakan shahih jika sanadnya bersambung dan perawinya tsiqah (dapat dipercaya).
3.Hadits ahad itu bukan hadits yang diriwayatkan hadits ahad. Hadits ahad adalah hadits yang bukan mutawattir (hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi sehingga para perawi tersebut tidak mungkin bersepakat untuk berbohong). Hadits yang diriwayatkan dua, tiga, atau empat orang adalah hadits ahad. Disebut juga dengan hadits ahad jika suatu hadits dalam salah satu jalur periwatannya hanya terdapat satu perawi. Misalnya sahabat A, B, C meriwayatkan kepada D, lalu D meriwayatkannya kepada E, F, dan G. Hadits seperti ini juga disebut hadits ahad karena di salah satu jalur periwatannya, ada satu perawi yang meriwayatkan, yakni perawi D.
4.Perlu kita tanyakan kepada yang berpemahaman bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam beramal, “Cara antum/antunna belajar hadits seperti apa? Apakah antum/antunna mengecek satu persatu hadits dan menghitung perawinya? Yang meriwayatkan dari kalangan shahabat berapa? Lalu di kalangan tabi’in berapa? Dan seterusnya. Lalu antum/antunna mengelompokkan mana hadits yang ahad, mana yang mutawattir. Lalu langkah apa yang antum/antunna lakukan? Memilih hadits yang ahad yang berhubungan dengan aqidah lalu dibuang? Bagaimana cara antum/antunna bisa mengelompokkan/mengklasifikasikan hadits padahal –seperti yang sudah saya singgung tadi- bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam diberi kelebihan oleh Allah Ta’ala berupa jawaami’ul kalim?”
5.Kita perlu katakan pula kepada mereka, “Para ulama hadits tidak pernah mendefinisikan kepastian hadits berdasarkan jumlah perawi. Kecuali antum/antunna mau membuat batasan pastinya sebuah hadits menurut ra’yu (pemikiran) kalian.
6.Nasehatkan pula pada mereka, “Pelajari ilmu tentang rijalul hadits sebelum antum/antunna berani mengatakan hadits ahad tidak dapat dipakai dalam masalah aqidah. Seorang perawi dikatakan tsiqah melalui tahapan yang tidak mudah. Sangat sulit. Jangan dibayangkan para perawi hadits itu kapasitas hafalan, keilmuan, dan ibadahnya seperti kita. Kalau perawinya seperti kita, bisa-bisa hadits yang diriwayatkan dhaif semua, bahkan munkar. Imam Bukhari pernah melihat seorang perawi hadits yang “membohongi” seekor unta yakni dengan memasang makanan agar unta mau mendekat. Apa yang dilakukan Imam Bukhari? Imam Bukhari kemudian tidak mau menerima hadits dari perawi tersebut.”
7.Dan nasehat saya yang terakhir adalah jangan berkata dan berbuat tanpa ilmu karena ilmu itu harus ada sebelum berkata dan berbuat. Jangan sampai kita dimurkai oleh Allah Ta’ala seperti halnya kaum Nashara yang beramal tanpa ilmu.
Allahu Ta’ala A’lam.
Terinspirasi pada sore yang cerah tanggal 11 Oktober 2009
am kelompok hadits ahad ini ada hadits shahih, hasan dan dhaif.
3. Perlu diketahui bahwa jumlah hadits yang mencapai derajat mutawatir itu sedikit sekali. Sebagian ulama ada yang menghitungnya dan tidak sampai 200-an hadits. Selebihnya hampir semua hadits-hadits nabawi itu kebanyakan ahad. Tapi yang dimaksud ahad bukanlah diriwayatkan hanya oleh satu orang. Karena hadits itu di dalamnya terdapat hadits shahih, hasan dan lainnya. Jadi meski namanya hadits ahad, tapi tetap kuat derajatnya karena hadits ahad itu banyak yang shahih atau hasan.
4. Dalam ilmu hadits, hanya hadits yang berkategori yang dhaif-lah yang tidak memiliki kekuatan sebagai dasar aqidah atau ilmu. Sedangkan untuk perkara yang berkaitan dengan fadhailul-a`mal, sebagian ulama membolehkan menggunakan hadits dhaif.
5. Kerancuan pemahaman ini sering dijadikan oleh musuh Islam untuk mulai menggerogoti pemahaman umat Islam terhadap kedudukan hadits nabawi. Padahal sejarah Islam membuktikan bahwa gerakan dan metodologi kritik hadits yang dirintis para ulama dalam dunia hadits telah berhasil memilah dan memisahkan antara hadits palsu dengan hadits yang benar secara sangat ilmiyah dan bertanggung-jawab. Bahkan disiplin ilmu ini hanya ada satu-satunya dalam Islam. Sehingga hadits-hadits yang jutaan dan berserakan itu bisa dideteksi secara sangat cermat status dan kedudukannya. Dan yang berada pada puncaknya adalah kumpulan hadits-hadits shahih yang telah berhasil ‘diperas’ oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam ash-shahihain mereka. Disusul oleh kitab-kitab hadits lainnya hasil ‘perasan’ para imam hadits lainnya yang juga memiliki hujjah dan kekuatan yang baik. Oleh para zindiq dan musuh Islam, semua hadits hasil kerja panjang yang telah tersusun rapi itu ingin diacak-acak dengan cara yang jelek sekali, yaitu mengelabuhi generasi muda Islam ini dengan tuduhan dan statement yang sama sekali tidak ilmiyah dan terkesan ‘ngawur’. Karena mencampur-adukkan pengertian hadits ahad dan hadits gharib dan dha`if. Padahal ketiganya sangat berbeda jauh pengertiannya. Atau menuduh bahwa Abu Hurairah itu pembohong, juga mengatakan bahwa Hadits baru ditulis ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat, termasuk mendiskriditkan Az-Zuhri dan juga Al-bukhari. Tapi semua tuduhan itu sudah patah dengan sendirinya sejak lama, terutama oleh mereka yang mengenal ilmu hadits. Sedangkan orang awam yang tidak punya bekal sedikitpun tentang ilmu hadits, sering dengan mudahnya terkecoh dan melahap mentah-mentah tudingan para orientalis.
Wallahua`lam Bish-Showab, Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
  1.  
Ana ingin bertanya mengenai hadits ahad. Ada yang membolehkan memakai hadits ahad dan ada yang tidak. Tolong dijelaskan secara lengkap dalil yang menerangkan tentang bolehnya berhujjah dengan hadits ahad. Jazakallahu khair.
Djunaidi Rommy, di bumi Allah.
Jawaban :

Hadits ahad itu ialah hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang tidak mutawatir. Yaitu sanad yang tidak banyak. Sanad itu sendiri maknanya ialah urut-urutan periwayatan hadits atau uarut-urutan nara sumber. Memang ada golongan dari kaum Muslimin yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak boleh dipakai dalam perkara aqidah. Karena dianggap oleh golongan ini, tingkat akurasinya hadits ahad itu hanya dzanni dan bukan qath'ie. Yang dimaksud dzanni itu menurut golongan ini adalah persangkaan belaka dan yang dimaksud qath'ie ialah kepastian yang tidak ada keraguan padanya. Jadi kata golongan ini, hadits ahad itu hanya boleh dipakai dalam perkara hukum dan tidak boleh dipakai dalam perkara aqidah. Karena dalam perkara aqidah itu tidak boleh dengan dalil yang dzanni dan haruslah dengan dalil yang qath'ie. Begitu anggapan golongan tersebut.
Yang sesungguhnya, tidak ada dalil agama yang membagi perkara agama itu dengan bagian aqidah dan bagian hukum. Dan tidak ada pula kemestian yang berbeda dalam pendalilal bagi kedua masalah tersebut. Disamping itu istilah dzanni dan qath'ie dalam perkara hadits itu sesungguhnya pertama kali diletakkan oleh para Ulama', adalah dalam pengertian dzanni dengan makna ghalibudhdhan (kemungkinan besar benar adanya) dan bukan dzan dalam artian sangkaan. Dalam kenyataan perbuatan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, kita dapati tindakan beliau yang mengutus seorang Shahabat beliau bernama Mush'ab bin Umair radhiyallahu anhu ke Al Madinah untuk mengajarkan Islam kepada penduduknya yang meliputi pelajaran aqidah dan hukum. Ini berarti penduduk Al Madinah hanya menerima hadits ahad melalui Mush'ab bin Umair. Juga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam mengutus dua orang Shabat beliau bernama Abu Musa Al Asy'ari dan Muadz bin Jabal radhiyallahu anhuma berda'wah ke negeri Yaman guna mengajak penduduknya kepada Islam dan mengajari mereka tentang Islam baik dalam perkara aqidah ataupun dalam perkara hukum. Ini berarti penduduk Yaman mendapatkan riwayat tentang ajaran Islam hanya dengan hadits ahad. Beliau juga mengutus satu persatu dari para Shahabatnya membawa surat beliau berisi da'wah kepada para raja-raja di sekitar jazirah Arabiyah mengejak mereka kepada Islam. Surat beliau itu dibawa oleh satu orang dan berisi tentang aqidah dan hukum. Berarti para raja itu juga menerima berita tentang ajaran Islam hanya dengan hadits ahad.
Maka dengan perbuatan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sebagaimana tersebut di atas, amat jelaslah bagi kita bahwa dalam menerima berita tentang ajaran Islam itu tidaklah dibedakan antara hadits ahad dan bukan hadits ahad. Dan tidak pula dibedakan antara perkara aqidah dengan perkara hukum. Tetapi yang terpenting dalam Islam ialah, apakh sanad hadits itu dapat dipastikan secara ilmiyah kebenarannya atau tidak dapat dipastikan. Maka bila telah dapat dipastikan bahwa ia adalah hadits yang shahih, maka harus diterima sebagai satu kebenaran dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, baik dalam perkara aqidah maupun dalam perkara hukum. Demikian jawaban ini saya ringkaskan dari keterangan Al Imam Muhammad Nashiruddin Al Bani rahimahullah dalam kitab beliau berjudul : Al Hadits Hujjatun Bi Nafsihi Fil Aqa'id Wal Ahkam.
Membahas Tentang Polemik Hadits Ahad
Oleh: Abu Shafa Luqmanul Hakim

Muqaddimah
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :
            Ikhwah yang dirahmati Allah, salah satu karakteristik ahlus sunnah wal jamaah dalam manhajul istidlal[1] adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql dalam sebuah risalahnya:
كل ما صحّ من سنة رسول الله وجب قبوله والعمل به، وإن كان آحاداً في العقائد وغيرها
Artinya: Seluruh yang shahih dari hadits Rasulullah wajib untuk diterima dan diamalkan baik yang berkaitan dengan aqidah ataupun selainnya, meski hadits tersebut ahad.[2]
Hal ini merupakan bukti nyata dari ketaatan yang sempurna kepada Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-, dan sebagai aplikasi ungkapan cinta kita yang murni kepada beliau, yang tentunya merupakan implementasi nyata bagi syahadat yang senantiasa terlafadz dalam lisan basah kita "Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah".
Sebuah bait Syair dengan sangat fashih terlantunkan:
لو كان حبّك صادقا لأطعته          فإن المحبّ لمن يحبّ مطيع
Artinya: Seandainya cintamu sejati niscaya engkau akan mematuhinya, sesungguh sang pecinta akan patuh kepada yang dicintai.[3]
            Kendati pemaparan tentang manhajul istidlal yang benar menurut manhaj ahlus sunnah -terkhusus berkaitan dengan hadits-hadits Nabi- sarat menghiasi kitab para ulama kita dari masa ke masa, namun sangat disayangkan, ternyata sangat banyak dari kalangan kaum muslimin yang buta tentang hal ini, sehingga mereka mudah terperangkap ke dalam jaring-jaring iblis dalam masalah ini, maka ditolaklah sunnah-sunnah Nabi dan dikritiklah hadits-hadits yang tidak singkron dengan logika mereka [menurut sangkaan mereka]. Jika kita tilik secara umum, maka para pengingkar hadits bisa dibagi menjadi dua fraksi:
Yang pertama: Golongan yang mengingkari seluruh hadits Rasulullah, menolak untuk berhujjah dengan sunnah bahkan melecehkannya, merasa cukup dengan al-Qur-an sebagai satu-satunya referensi otentik, dan biasanya mereka masyhur dengan julukan Qur-aniyyun atau Inkarus Sunnah
Untuk kelompok ini, alangkah indahnya jika kita hadiahkan sebuah atsar dari tabi'in yang mulia Hasan al-Bashrii –rahimahullah-:
أن عمران بن حصين ، كان جالسا ومعه أصحابه,  فقال رجل من القوم : لا تحدثونا إلا بالقرآن ، قال : فقال له : ادنه، فدنا، فقال : « أرأيت لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد فيه صلاة الظهر أربعا وصلاة العصر أربعا والمغرب ثلاثا ، تقرأ في اثنتين ، أرأيت لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد الطواف بالبيت سبعا والطواف بالصفا والمروة ، ثم قال : أي قوم خذوا عنا فإنكم ، والله إلا تفعلوا لتضلنّ
Artinya: Bahwa Imran bin Hushain bekumpul dengan para sahabatnya, lalu seseorang mengatakan kepada beliau: jangan engkau ajarkan sesuatu kepada kami kecuali al-Qur-an saja!!, maka beliaupun memanggilnya kemudian berkata: tahukah engkau, seandainya engkau hanya belajar dari al-Qur-an saja, apakah engkau akan mengetahui bahwa shalat dhuhur empat rakaat, shalat ashar empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat dengan membaca ayat alqur-an di dua rakaat pertama???, tahukah engkau, jika seandainya engkau hanya mengambil al-Qur-an saja sebagai dalil, apakah engkau akan mengetahui bahwa jumlah thawaf di Ka'bah tujuh kali, dan jumlah Sa'i juga tujuh kali???, kemudian beliau mengatakan: wahai kaum, Belajarlah dari kami!! Jika tidak, maka niscaya kalian akan tersesat.[4]
            Duhai, sebuah hujjah kokoh keluar dari lisan yang sarat ilmu seorang sahabat yang mulia Imran bin Hushain, mematahkan syubhat lemah dari seseorang yang terkungkung nafsu, sekaligus mengukuhkan sebuah paradigma bahwa al-Qur-an dan sunnah bak dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dan dengarkan pula perkataan dari seorang ulama rabbani Ayub as-Sakhtiyani –rahimahullah- agar kemudian kita menjauhi pemikiran sesat ini:
إذا حدثت الرجل بالسنة فقال : دعنا من هذا وحدثنا من القرآن ، فاعلم أنه ضالّ مضلّ 
Artinya: jika engkau mengabari seseorang dengan hadits, kemudian dia mengatakan: jauhkanlah kami dari hadits dan bicaralah engkau dari al-Qur-an saja!!, ketahuilah bahwa orang tersebut sesat dan menyesatkan.[5]
            Duhai, seandainya mereka –para Ingkarus Sunnah- menyadari bahwa pengingkaran terhadap sunnah Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- pada hakikatnya adalah perpanjangan dari pengingkaran terhadap al-Qur'an, pasalnya kitab suci tersebut sarat dengan perintah untuk mencintai, mengagungkan dan memuliakan serta mengikuti sunnah Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-, beberapa contoh dari ayat tersebut:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya: Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarang oleh beliau maka tinggalkanlah.[6]
من يطع الرسول فقد أطاع الله  
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah.[7]
ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan taatilah para pemimpin kalian.[8]
            Oleh karena itu, tidaklah mengheran jika al-Imam Syafi'i –rahimahullah- menukil ijma' umat untuk mengagungkan sunnah Nabi kita yang tercinta, beliau mengatakan:
أجمع المسلمون على أن من استبانت له سنة رسول الله  لم يكن له أن يدعه لقول أحد من الناس
Artinya: Telah tegak ijma' kaum muslimin bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Nabi, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena [mengikuti, pent.] perkataan salah seorang manusia [ulama].[9]

Kedua: Golongan yang menolak hadits ahad, baik memungkirinya secara mutlak dalam masalah aqidah dan hukum-hukum fiqh, ataupun meninggalkannya dalam masalah aqidah saja. Kelompok inilah yang akan kita bahas dalam risalah kecil ini, semoga Allah mencurahkan taufiqnya kepada kami sehingga bisa membahas masalah ini dengan sebaik mungkin.
            Dan untuk memudahkan pemaparan maka kami akan bagi pembahasan ini dalam beberapa point, Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad, Yang Kedua: Dalil Tentang Kehujjahan Hadits Ahad, Ketiga: Menjawab Syubhat. Inilah poin-poin yang akan kami bahas, semoga Allah menjadikan makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi kami dan bagi seluruh kaum muslimin.

Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad
            Jika kita ingin mengetahui definisi Hadits Ahad, maka akan lebih mudah jika kita mengenal definisi Hadits Mutawatir terlebih dahulu, karena hadits ahad merupakan antonim dari hadits mutawatir. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan rawi yang banyak dalam setiap tingkatan rawi, sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam kedustaan, dan sumber pengambilan beritanya adalah panca indera dan bukan dugaan belaka.[10]
            Ikhwah yang dirahmati Allah, jika kita perhatikan definisi Hadits Mutawatir di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa syarat dari hadits mutawatir ada 4:
1.      Jumlah perawinya banyak, sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam dusta.
  1. Sumber haditsnya bukan dari dugaan belaka.
  2. Sumber periwayatannya adalah panca indera, contohnya: saya mendengar atau saya melihat.
  3. Semua syarat ini terpenuhi dalam setiap tingkatan sanad.
Contoh hadits mutawatir adalah sabda Nabi Muhammad:
  مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya: Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.[11]
            Inilah pemaparan yang sangat ringkas tentang definisi hadits mutawatir, nah..apabila kita telah memahami definisi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sebuah hadits mutawatir, maka akan mudah bagi kita  untuk mengetahui tentang hakikat hadits ahad. Definisi yang dari ulama terkait Hadits Ahad sangatlah beragam, namun perbedaan definisi para ulama kita dalam masalah ini -pada umumnya- adalah perbedaan dalam konteks redaksi saja, adapun subtansinya maka berujung pada makna yang serupa, definisi inti dari Hadits Ahad adalah :
ما قصر عن صفة التواتر ، ولم يقع به العلم وإن روته الجماعة
Artinya: Hadits yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan belum memberikan faidah ilmu [yakin], meski diriwayatkan oleh jumlah yang banyak [selama tidak sampai pada derajat mutawatir].[12]
Hadits ahad terbagi menjadi 3 bagian:
1. Hadits Gharib
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.[13]
Contohnya:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: Sesungguhnya amalan tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap manusia akan mendapatkan pahala selaras dengan niatnya.[14]

2. Hadits 'Aziz
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi dalam setiap tingkatan sanadnya.[15]
Contohnya:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya: Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga mencintai aku melebihi cintanya atas bapaknya dan anaknya.[16]

3. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau bahkan lebih dalam setiap tingkatan sanad, selama belum sampai pada derajat mutawatir.[17]
Contoh:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya, akan tetapi mencabut ilmu dengan wafatnya ulama.[18]
            Inilah sedikit penjelasan tentang hadits ahad beserta pembagiannya, kesimpulannya adalah hadits ahad merupakan hadits yang belum mencapai derajat mutawatir meski diriwayatkan oleh beberapa rawi dalam setiap tingkatan sanadnya.

Yang Kedua: Dalil Tentang Hujjahnya Hadits Ahad
            Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, para ulama ahlus sunnah berpendapat bahwa jika hadits ahad telah memenuhi syarat hadits shahih[19] maka bisa dijadikan sebagai hujjah baik dalam masalah aqidah ataupun dalam masalah hukum syar'i, dalil-dalil dari pendapat ini adalah:

v     Dalil Dari Ayat al-Qur-an

1.      Firman Allah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi berperang semuanya, mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka pergi untuk menuntut ilmu, agar kemudian memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali dari medan perang agar mereka dapat berhati-hati.[20]
            Perhatikan kalimat "tho-ifah" dalam ayat diatas [yang kami garis bawahi], telah terjadi kesepakatan di kalangan para ahli bahasa bahwa kalimat tersebut dapat digunakan untuk satu orang atau lebih[21]. Olehnya ayat diatas mereka dalil bagi para ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad bisa diterima dan diamalkan, ayat di atas memberi perintah kepada kaum muslimin untuk mengutus seseorang ataupun lebih dalam rangka untuk menuntut ilmu agama, agar kemudian orang yang diutus tersebut bisa mengajarkan dan menyampaikan ilmunya jika telah kembali dari tempat menuntut ilmu.

2. Firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah yang kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat seluruh makhluk yang melaknat.[22]
            Ayat di atas memerintahkan kita untuk menjelaskan dan menyampaikan ilmu, dan melarang untuk menyembunyikannya. Perintah dan larangan ini berlaku untuk setiap individu muslim bukan hanya kepada jamaah atau jumlah-jumlah tertentu, dan perlu diketahui bahwa meriwayatkan hadits adalah bentuk dari bayan [penjelasan], Nah.. jika memang hadits ahad ditolak maka tentu ayat di atas adalah perintah yang sia-sia, Allahu musta'an.

3. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: Wahai orang-orang yan beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka klarifikasilah berita tersebut dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan tersebut.[23]
            Ayat ini merupakan salah satu rambu dalam masalah pemberitaan, dengan sangat gamblang dipaparkan dalam ayat di atas, bahwa kabar orang fasik [yang memiliki cacat dari sisi agama] harus diklarifikasi dahulu agar kemudian bisa mengambil sikap yang benar terhadap berita tersebut, dan secara tersirat ayat di atas merupakan isyarat bahwa jika yang datang membawa berita adalah orang yang berkualifikasi 'adil [baik agamanya] dan dhabith [baik hafalannya] maka berita yang dibawa bisa dipercaya.

4. Firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.[24]
Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk bertanya kepada orang yang memiliki ilmu [ulama] jika tidak mengetahui tentang sesuatu, dan apabila kita bertanya hanya kepada satu orang ulama saja, maka kita telah mengamalkan ayat di atas, sebab ayat di atas tidak menentukan jumlah tertentu agar jawabannya menjadi mutawatir, sehingga kita boleh mengamalkan jawaban dari ulama tersebut. Bahkan ayat di atas justru merupakan dalil bagi diterimanya hadits ahad.

5. Firman Allah:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Artinya: Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.[25]
Imam Sarakhsi –rahimahullah- berkata: sesungguhnya mengamalkan hadits ahad adalah wajib, dan tidak wajib beramal kecuali dengan pijakan ilmu, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya", dan berfirman berkaitan dengan berita yang dibawa oleh orang fasik:" agar kamu tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu". Dan lawan kata kebodohan adalah ilmu, sedangkan lawan kata kalimat Fasik adalah 'adalah [sifat adil].[26]

v     Dalil Dari Hadits Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wa sallam-.

1.      Sabda Nabi:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِى فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا
Artinya: Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan perkataanku lalu dia memahaminya dan menghafalnya lalu menyampaikanya kepada orang lain.[27]
Hadits ini adalah hadits mutawatir, yang menjelaskan kepada kita tentang untaian doa dari Nabi kita yang tercinta, bagi orang-orang memiliki sifat di atas, mendengarkan perkataan Nabi yang mulia, lalu berupaya untuk memahaminya dan menghafalnya, kemudian menyampaikan hadits tersebut kepada yang lain. Jika kita menelaah hadits di atas maka niscaya kita akan dapatkan bahwa hadits tersebut tidak mempersoalkan jumlah sang perawi, akan tetapi yang justru dipaparkan adalah kualitas sang perawi.
2. Sabda Nabi kepada Mu'adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِى قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Artinya: Wahai Mu'adz, sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, jika kamu telah berjumpa dengan mereka hendaknya yang dakwahkan dahulu adalah mengucapkan kalimat tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.[28]
            Ikhwah yang dirahmati Allah, hadits ini merupakan hakim pemutus kontraversi tentang hadits ahad, yang mana Nabi mengutus para sahabat sendiri-sendiri dalam rangka untuk mendakwahkan tauhid ke setiap kabilah bangsa arab maupun ke yang lainnya. Ini tentu menegaskan bahwa yang menjadi barometer dalam kesahihan sebuah hadits bukanlah jumlah rawinya, akan tetapi kwalitas dari para perawi dari hadits tersebut, dan masih banyak hadits yang serupa diantaranya pengutusan Abu 'Ubaidah al-jarrah ke Yaman, pengutusan Mush'ab bin 'Umair ke Madinah,  pengutusan Dihyah al-Kalbi ke raja Heraklius penguasa Romawi, perintah Nabi ke utusan 'Abdul Qais dan lain sebagainya.

v     Dalil dari Ijma'
Telah tegak ijma' dari kalangan sahabat dan tabi'in tentang kehujjahan hadits ahad[29], dan tidak ada satupun dari mereka yang membedakan antara masalah aqidah dan masalah hukum-hukum fiqih, bahkan pada saat itu belumlah masyhur pembagian hadits kepada Mutawatir dan ahad. Beberapa indikasi tegaknya ijma' di kalangan para sahabat dan tabi'in adalah:
1.            Pengutusan Rasulullah kepada setiap kabilah bangsa arab dan yang selainnya, yang mana Nabi hanya mengutus satu orang sahabat kepada kabilah tersebut demi untuk mendakwahkan tauhid, dan hal itu tidak diingingkari oleh para sahabat ataupun kabilah yang menjadi objek dakwah.
2.            Sebagian para sahabat meriwayatkan hadits dari sahabat yang lainnya, dan tidak ada pengingkaran dari Nabi ataupun dari kalangan ulama yang hidup pada jaman tersebut, diantara contoh dari fenomena ini adalah Abu Ayub al-Anshari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah. dan simaklah perkataan sahabat Abdullah bin Abbas berikut ini:
جَاءَ بُشَيْرٌ الْعَدَوِىُّ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ وَيَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَعَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ يَأْذَنُ لِحَدِيثِهِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مَا لِى لاَ أَرَاكَ تَسْمَعُ لِحَدِيثِى أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ تَسْمَعُ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلاً يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مَا نَعْرِفُ.
Artinya: Busyair al-Adawi menghadap Abdullah bin Abbas dan kemudian dia mulai membacakan hadits dari Rasulullah, dan Abdullah bin Abbas tidak menyimak hadits tersebut dan tidak melihat kepadanya, maka dia mengatakan wahai Ibnu Abbas:"kenapa kamu tidak menyimak hadits-haditsku dari Rasulullah??", maka berkata Ibnu Abbas sesungguhnya kami dahulu jika mendengar seseorang membacakan hadits dari Rasulullah maka mata kami berlinang air mata, dan kami menyimaknya dengan sungguh-sungguh, namun ketika manusia sudah banyak berdusta maka kami tidak mendengarkan kecuali dari orang yang kami kenal.[30]
3. Banyaknya fenomena para sahabat Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- yang menerima hadits ahad dari sahabat yang lain, diantara contoh dari fenomena ini adalah Abu Bakar as-Shiddiq menerima dan mengamalkan hadits dari al-Mughirah bin Syu'bah dan Muhammad bin Maslamah dalam masalah bagian nenek dalam warisan yaitu seper-enam[31], Umar bin Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman bin 'Auf tentang mengambil jizyah [upeti] dari orang Majusi, karena Rasulullah bersabda:
سنوا بهم سنة أهل الكتاب
Artinya: Perlakukan mereka [orang majusi] seperti ahlul kitab.[32]
Dan beliau juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang diyah [denda] membunuh janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki ataupun wanita[33], beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit Tha'un[34], dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu][35], Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa wanita haidh yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada'[36], bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa para Nabi tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka:
إنّا معشر الأنبياء لا نورث ما تركناه صدقة
Artinya: Kami para Nabi tidak membagikan warisan [kepada keluarga mereka], harta warisan yang kami tinggalkan adalah sedekah.[37]
Para sahabat juga menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq tentang tempat dikuburnya Nabi:
الأنبياء يدفنون حيث ماتوا
Artinya: Para Nabi dikuburkan di mana saja mereka wafat.[38]
Dan para sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang wajibnya mandi besar jika bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan kelamin wanita] meskipun belum ejakulasi.[39]
Inilah fakta sejarah yang terpahat dalam kitab para ulama kita yang menjelaskan tegaknya ijma' para sahabat untuk menerima hadits ahad dalam masalah apapun juga, oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama sekaliber Imam Syafi'i mengatakan:
ولم يزل سبيل سلفتا و القرون بعدهم إلي من شاهدناه هذه سبيل
Artinya: Dan  jalan para Ulama terdahulu kita [sahabat] dan generasi setelah mereka bahkan sampai para ulama yang kami jumpai senantiasa berada di atas jalan ini [menerima hadits ahad, pent.].[40]
Berkata Ibnu Hazm –rahimahullah-:
فإنّ جميع أهل الاسلام كانوا على قبول خبر الواحد الثقة عن النبي صلي الله عليه وسلم يجري على ذلك كل فرقة في عملها, كأهل السنة والخوارج والشيعة والقدرية حتى حدث متكلموا المعتزلة بعد المائة من التاريخ, فخلفوا الاجماع في ذلك
Artinya: Sesungguhnya seluruh kaum muslimin terdahulu menerima kabar dari satu orang yang tsiqoh [terpercaya] yang meriwayatkan hadits dari nabi –shallahu 'alaihi wasallam-, bahkan seluruh kelompok pun berpandangan sama [menerima kabar dari satu orang tsiqoh], seperti ahlus sunnah, al-Khawarij, Syi'ah dan Qodariyah sampai munculnya al-Mu'tazilah setelah seratus tahun kemudian, maka merekapun menyelisihi ijma' ini.[41]
Dan jika kita meneliti sumber dari syubhat tentang ditolaknya hadits ahad, maka akan kita temukan sebagai berikut:
1.      Bahwa syubhat ini ditebarkan ini oleh para ahlul bid'ah, ahlul kalam, orang yang lemah agama bahkan orang-orang zindik secara sembunyi-sembunyi, dan syubhat ini tidak mendapatkan tempat di hati kaum muslimin pada saat itu. Ditambah lagi, para ulama kita getol membantah syubahat tentang hadits ahad ini, contohnya seperti Imam Syafi'i, yang dengan tanpa ragu menguliti syubhat ini dalam buku beliau Jima'ul Ilmi.
2.      Hakikat dari pendapat ini adalah penolakan hadits-hadits Rasulullah karena pengkultusan mereka kepada akal, dan jika tilik mayoritas syubhat mereka memang berpijak kepada akal.[42]


Yang ketiga: menjawab Syubhat

Syubhat Pertama: Hadits Ahad hanya menghasilkan berita yang sifatnya dhanni [dugaan] saja.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post