Blogger Kalteng

Tafsir Ijmali


BAB I
PENDAHULUAN
Al Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw, agar ia menantang manusia dengannya, yang setiap ayatnya merupakan mu’jizat dan para jin mengimaninya ketika mereka mendengarnya. Mereka berkata :
$¯RÎ) $oY÷èÏÿxœ $ºR#uäöè% $Y7pgx ,   üÏöku n<Î) Ïô©9$# $¨ZtB$t«sù ¾ÏmÎ/ ( `s9ur x8ÎŽô³S !$uZÎn/tÎ/ #Ytnr& .  
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu Kami beriman kepadanya. dan Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan Kami”. (QS. 72: 1-2)

Al qur’an merupakan cahaya tuhan yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya agar ia mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang dengan izin Tuhan mereka menuju jalan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Allah menerangkan sifat Al Qur’an, sebagai berikut :
Ïôgtƒ ÏmÎ/ ª!$# ÇÆtB yìt7©?$# ¼çmtRºuqôÊÍ Ÿ@ç7ß ÉO»n=¡¡9$# Nßgã_̍÷ãƒur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ óOÎgƒÏôgtƒur 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B .  
Artinya : “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (QS. 5 :16)

Allah memilih orang-orang tertentu dari hamba-hamba-Nya. Dia mengaruniai mereka potensi berupa kecerdasan dan daya pemahaman serta menjadikan mereka cinta kepada keimanan, sehingga mereka sangat mencintai kitab Allah, tekun membaca dan memahami penafsirannya. Dengan itu mereka mampu mengungkap hal-hal yang masih samar, menerangkan ayat-ayat mutasyabihah dan menjelaskan makna-maknanya kepada manusia serta mendekatkannya kepada hati sanubari hamba-hamba-Nya.
Akan tetapi Al Qur’an adalah lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi. Maka ketika para penyelam menyelam kedalamnya, mereka tidak akan sampai ke dasarnya dan tidak mengetahui hakikat isinya. Al Qur’an senantiasa actual sepanjang masa untuk ditafsirkan oleh para ahli tafsir dan ditawilkan oleh para ahli ta’wil, sebagaimana Allah berfirman
óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ .                                
Artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”. (QS. 41 :53)

Para ulama telah melakukan pembagian tentang kitab-kitab karangan menyangkut Al Qur’an dan kitab-kitab tafsir yang metode dan mazhab penulisnya berbeda-beda menjadi empat macam metode, sebagai berikut:
1.      Tafsir tahlily
2.      Tafsir ijmaly
3.      Tafsir muqaran
4.      Tafsir mawdlu’y
Berikut ini kami akan menjelaskan dua metode yaitu metode ijmaly dan metode tahlily serta perbedaan masing-masing dari keduanya beserta contohnya.









BAB II
METODE TAFSIR IJMALY (GLOBAL)

A.      PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan metode ijmaly (global) ialah menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat didalam mushaf. Disamping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Diantara contoh metode ini adalah tafsir al-Jalalain.

B.       CIRI-CIRI TAFSIR IJMALY
Didalam makalah ini sengaja tidak dibandingkan metode global dengan metode komparatif dan tematik karena kedua metode ini sudah jelas jauh sekali polanya dari metode global. Hal ini disebabkan metode komparatif didominasi oleh perbandingan sementara metode tematik berangkat dari judul yang telah ditetapkan. Kedua pola tersebut jauh dari apa yang berlaku dalam tafsir yang menggunakan metode ijmaly (global), yakni mufasirnya langsung menafsirkan Al Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci dari pada di dalam metode global, tidak ada ruang baginya untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmaly seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umuum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu sampai pada wilayah tafsir analitis (tahlily).

C.       CIRI-CIRI METODE TAHLILY
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran),. Di dalam kitab tafsir tahlily yang mengambil bentuk al-Ma’tsur ialah, Jami’al Bayan ‘An Ta’wil Al-Qur’an Al-Karim, karangan Ibn Jarir Al-Thabrani (w. 310 H). dan terkenal dengan Tafsir Al-Thabrani, Ma’alim Al-Tanzil karangan Al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir Al Qur’an Al ‘Azim, karangan Ibn Katsir (w. 774 H) yang terkenal dengan tafsir Ibn Katsir, dan Al-Durr Al-Mantsur Fi Al-Tafsir Bi Al-Ma’tsur karangan Al-Suyuthi (w. 911 H). Adapun tafsir tahlily yang mengambil bentuk al-ra’y banyak sekali, antara lain : Tafsir Al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741 H); Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil karangan Al-Baydhawi (w. 691 H); Al-Kasysyaf karangan Al-Zamakhsyari (w. 538 H); Araisal-Bayan Fi Haqaiq Al-Qur’an karangan Al-Syirazi (w. 606 H); Al-Tafsir Al-Kabir Wa Mafatih Al Ghaib, karangan Al-Fakhr Al-Razi (w. 606 H); Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari; Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain.
Jika diperhatikan pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir yang dinukilkan di atas, maka terlihat dengan jelas, mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y. dalam penafsiran tersebut, Al Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Demikian pula ikut diungkapkan penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh Nabi Saw, sahabat, tabi’in, tabi’al-tabi’in dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai diseplin ilmu; seperti teologi, fikih, bahasa, sastra dan sebagainya. Selain itu juga di jelaskan munasabah (kaitan) antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, juga satu surat dengan surat lainnya. Disamping cirri yang demikian tafsir yang mengikuti pendekatan metode analitis ini diwarnai pula oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya, sehingga lahirlah apa yang disebut dalam tafsir fikih, sufi, falsafat, ilmi, adabi ijtima’i, dan lain-lain. Penafsiran kosakata juga mendapat perhatian yang tidak kecil.

















BAB III
TAFSIR BI AL-MA’TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA’YI

1.        Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran (penjelasan) ayat Al-Qur’an terhadap maksud ayat Al-Qur’an yang lain.
Para ulama berkata: penafsiran Al-Qur’an yang paling baik adalah penafsiran sebagian ayat Al-Qur’an terhadap sebagian ayat yang lain. Hal ini sebagaimana kita temukan pada ayat Al Qur’an yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat lain yang muqayyad atau ayat Al Qur’an yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, seperti Firman Allah SWT (QS. 3:133):
(#þqããÍ$yur 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB öNà6În/§ >p¨Yy_ur $ygàÊótã ßNºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur ôN£Ïãé& tûüÉ)­GßJù=Ï9 . 
Artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”

            Siapa al-Muttaaqin (orang-orang yang bertaqwa?). ayat berikutnya (ayat 134) menafsirkannya, sebagai berikut:
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムÎû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3 ª!$#ur =Ïtä šúüÏZÅ¡ósßJø9$# .
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Termasuk dalam tafsir bi al-Ma’tsur adalah:
a.       Penafsiran al qur’an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw untuk menjelaskan sebagian kesulitan yang ditemui oleh para sahabat semasa Rasulullah saw masih hidup. Seperti penafsiran hadits Rasulullah saw terhadap pengertian المغضو ب عليهم dan    الضا لين (QS. 1: 7), penjelasan beliau tentang pengertian الخيط الا بيض من الخيط الا سود  (QS. 2: 187), penjelasan beliau tentang firman allah swt الذ ين ا منواولم يلبسواايمانهم يظلم  (QS. 6: 82) dari firman allah swt يأيهاالذين امنوااتقواالله حق تقا ته  (QS. 3: 102) dan lain-lain.
b.      Penafsiran al qur’an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka. Seperti penafsiran ‘Abd Allah ibn Abbas terhadap surat Al-Nasr (QS. 110), bahwa surat itu merupakan penjelasan tentang ajal Rasulullah saw. allah telah memberitahukan ajal beliau.
c.       Penafsiran Al Qur’an dengan pendapat tabi’in untuk menjelaskan kesamaran yang ditemui oleh kaum muslimin tentang sebagian makna Al Qur’an.Seperti penafsiran tabi’in terhadap ayat (QS.37:65),sebagai berikut :
$ygãèù=sÛ ¼çm¯Rr(x. â¨râäâ ÈûüÏÜ»u¤±9$# .  
‘’ Pohon zaqqum ,makanan ahli neraka) mayang nya seperti kepala-kepala syaitan’’.

Janji dan ancaman Allah itu hanya bisa dipahami jika diungkapkan dengan sesuatu yang sudah dikenal, sedangkan kepala-kepala syaitan.”
Janji dan ancaman Allah itu hanya bisa dipahami jika diungkapkan dengan sesuatu yang sudah dikenal, sedangkan kepala-kepala syaitan itu tidak diketahui oleh manusia. Manusia tidak pernah melihat kepala-kepala syaitan yang dijadikansebagai pribahasa dalam ayat di atas. Maka Abu Ubaydah (tabi’in) memberikan jawaban atas sanggahan mereka itu dengan mengatakan: “Allah berbicara kepada bangsa Arab dengan ungkapan yang dapat mereka pahami. Tidaklah Anda mendengar  perkataan Ilmu al-Qays (seorang penyair Arab), sebagai berikut:
ا يقتلني و المشر في مضا جعي ومسنونة زرق كانياب اغوال
“Adakan orang yang (dapat) membunuhku, sedangkan masyrif adalah tempat tinggalku; dan (aku mempunyai pedang-pedang) yang tajam (yang karena tajamnya ia mengkilat berwarna) biru seperti taring-taring syaitan”.
Bangsa Arab tidak pernah melihat syaitan, akan tetapi oleh karena syaitan itu menakutkan mereka, maka merreka menggentarkan pihak lawan mereka dengan syitan (ketajaman pedang-pedang mereka seperti taring-taring syitan”.
            Ayat di atas merupakan penjelasan dalam bentuk ungkapan Majaz, isti’arah, kainayah, tasybih,  peribahasa dan segi-segi balaghah yang lain.
Contoh lain adalah seperti penafsiran Imam Al Zamakhsyary terhadap ayat (QS. 83 : 15), sebagai berikut:
كلا انهم عن ربهم يومئذ لمحخوبون
bahwa ayat itu merupakan contoh tentang kerendahan dan kehinaan mereka, oleh karena raja-raja (dalam sejarah) tidak mengizinkan bertemu dengan mereka kecuali orang-orang yang dinilai terpandang dan terhormat dan tidak dihalangi bertemu dengan mereka kecuali orang-orang “kelas bawah” yang dinilai hina.
Terhadap penafsiran di atas, Ibn Al-Munir berkata: “Itu adalah penafsiran menurut Mu’tazilah. Tetapi menurut Ahl al-Sunnah ayat di atas merupakan salah satu dalil bahwa Allah d akhirat nanti dapat dilihat oleh manusia, oleh karena dijelaskan pada ayat sebelumnya, bahwa hanya orang-orang yang durhakalah yang dihalangi untuk melihat Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang mukmin yang berbakti tidak terhalangi untuk melihat Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang mukmin yang berbakti tidak terhalangi untuk melihat Allah secara langsung dengan mata kepala di akhirat nanti”.
Sebagaimana pula penafsiran Imam Al-Baydlawy terhadap kata Al-Najm pada ayat (QS. 55:6), sebagai berikut:
ãNôf¨Z9$#ur ãyf¤±9$#ur Èb#yàfó¡o .  
Artinya : “ dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan Kedua-duanya tunduk kepada nya”.
Periode pertama ini disebut sebagai periode Syfahiyyah (pengajaran secara langsung), oleh karena para sahabat secara langsung belajar dan menerima penafsiran dari Rasullah SAW, mereka menghafalnya di luar kepala, menyampaikannya kepada sahabat-sahabat lain dan tabi’in meriwayatkannya dari mereka melalui periwayatan yang benar. Cara yang demikian terjadi oleh karena Rasulullah SAW semasa hidupnya melarang menulis hadits sehingga Al-Quran dengan jelas dapat dibedakan dari hadits dengan struktur kalimatnnya yang merupakan mu’jizat. Dengan demikian, Al-Quran tetap murni, autentik, tidak bercampur-aduk dengan lainnya.
Ada pendapat lain yang dinilai baru dikemukakan oleh Dr. ‘Abd al-Halim Mahmud (al-marhum) dalam kitabnya Al-Sunnah al-Syarifah wa Makanatuha fy al-Islam. Ia menegaskan: “Banyak riwayat yang menerangkan, bahwa para sahabat telah menulis hadits setelah Rasulullah SAW meninggal”.
Al-Ustadz a-Siba’y (al-marhum) mengemukakan sebagian upaya yang telah dilakukan oleh para sahabat untuk mengumpulkan hadits. Ia mengatakan: “Utsman ibbn Affan pada masa pemerintahannya member keleluasaan kepada para sahabat untuk pergi berpencar-pencar ke berbagai kota dan kawasan. Kaum muslimin, terutama sahabat-sahabat yunior, sangat membutuhkan mereka setelah sahabat-sahabt senior dari mereka dari hari ke hari jumlah meraka semakin berkurang. Maka sahabat-sahabat yunior berupaya mengumpulkan hadits dari senior-senior mereka; dari merekalah hadits-hadits itu diperoleh”.
Dr. ‘Abd al-Halim Mahmud (al-marhum) mengatakan: “Telah menjadi keyakinan kaum muslimin, bahwa hadits Rasulullah SAW baru dibukakan pada abad kedua hijriah. Menanggapi pemikiran yang salah ini kami dengan panjang lebar menukil sebagian keterangann-keterangan yang mengungkapkan suatu keberadaan, yaitu bahwa hadits Rasulullah SAW telah dibukukan pada abad pertama hijriah, yakni pada masa RAsulullah SAW dan sahabat-sahabat yang  agung”.
Dr. ‘Abd al-Halim Mahmud (al-marhum) menukil pendapat Al-Ustadz Sulaiman Al-Nabawy, seorang ulma dari India, yaitu: “Untuk pertama kalinya pada forum pertemuan kalian ini saya mengungkapkan suatu kebenaran yang selama ini tertutup, bahwa orang yang menduga hadits-hadits Rasulullah SAW baru dibukukan pada tahun 100 atau 90 hijriah adalah salah. Perndapat itu bertentangan dengan kenyataan dalam sejarah”. Lebih lanjut ia berkata: “Sebagian besar pembukuan hadits telah dimulai jauh sebelum tahun di atas. Amir al-Mu’min Umar ibn Abd al-‘Aziz yang meninggal pada tahun 101 H sebagai orang ‘alim besar telah memerintahkan kepada qadli Abu Bakr ibn Hazm yang merupakan seorang tokoh di bidang hadits untuk memulai pembukuan hadits-hadits Rasulullah SAW Karen ia khawatir hadits-hadits itu sedikit demi sedikit akan hilang”.
Periode kedua, yaitu periode pembukaan. Pada periode ini dibukukan segala yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan para sahabat, baik itu terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200 hijriah.
Yang lebih mendekati kebenaran (rajih) adalah behwa sekalipun pembukuan hadits-hadits Rasulullah SAW telah dimulai pada masa sahabat, akan tetapi penyusunannya dalam bentuk yang dijkenal sekarang, pemisahan tafsir dari hadits, pembagian bab-bab dan sistematikanya sehingga menjadi satu bidang ilmu tersendiri, terpisah dari bidang lainnya, barulah terjadi pada abad ketida hijriah, seperti tafsir Imam Ibn jarir Al-Thabary dan lain-lain.

2.        TAFSIR BI AL RA’YI (BERDASARKAN IJTIHAD)
   Ketika kaum muslimin memasuki era kebudayaan dan peradaban, ilmu agama dan science berkembang mencapai puncak kejayaannya, alat-alat percetakan telah ditemukan dan produksi kertas telah dilakukan, yang mana hal itu memungkinkan dilakukan dilakukan penerbitan karya-karya ilmiah dan memperbanyak kitab-kitab tafsir yang wujud dan metodenya berbeda-beda, banyak timbul golongan-golongan dalam Islam; ada diantara ulama yang fanatic terhadap madzhab yang di ikuti dan berusaha menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan mazhab­nya serta melegitimasi madzhabnya dengan ayat-ayat Al Qur’an, dan lahir kitab-kitab tafsir yang mempunyai karekteristik tertentu sesuai dengan bidang ilmu pengarangnya, maka lahirlah bermacam-macam corak tafsir.
Ada diantara kitab-kitab itu yang mengkaji dan menafsirkan Al Qur’an dari aspek cara yang ditempuh oleh Al Qur’an dan menjelaskan sesuatu (al-wujuh al-bayaniyyah), segi hokum-hukum syara’, aliran-aliran dalam ilmu kalam dan filsafat, kemukzijatan Al Qur’an, dan kitab-kitab tafsir lain yang mengkaji Al Qur’an dari aspek yang berbeda-beda sesuai kecenderungan dan kepribadian pengarangnya. Jika seorang mufassir menemukan ayat yang memperkuat atau mempunyai hubungan, baik dekat atau jauh, dengan madzhabnya, maka ia merasa sangat berkepentingan dengan ayat itu dan dalam menafsirkannya ia mengemukakan aspek-aspek ilmiah, dalil-dalil rasionalnya, menolak serta membatalkan madzhab-madzhab lain, sehingga tampak jelas apa yang ia maksudkan.
Para ulama menegaskan, bahwa tafsir bi al-ra’yi ada yang dapat diterima dan ada pula yang batal dan ditolak. Tafsir bi al-Ra’yi dapat diterima apabila mufassirnya mengetahui ungkapan-ungkapan Arab, lafadz-lafadz Arab dan cara penunjukannya (dilalah) atas makna yang dikehendaki, sebab-sebab turunnya ayat, nasikh wal mansukh, benar aqidahnya dan menjadikan Sunnah Rasulullah saw sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al Qur’an serta berangkat dengan tujuan yang benar. Selain itu, ia harus berpegang kepada apa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw dan para sahabat serta menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan sebagai mufassir, yaitu ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Ma’any, Bayan, Qira’ah Ushul al-din, Ushul Al-Fiqh, Ulum Al-Hadits serat ilmu al-Mawhibah, yakni ilmu yang Allah karuniakan kepada siapa saja dari hamba-Nya yang ‘alim yang mengamalkan apa yang diketahuinya.
Selain harus memnuhi kualifikasi ilmiah seperti tersebut diatas, mufassir bi al-Ra’yi harus menghindari enam hal, sebagai berikut:
1.      Memaksa diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat sedangkan ia tidak memnuhi syarat untuk itu.
2.      Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah.
3.      Menafsirkan dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.      Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya .
5.      Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham madzhab tersebut.
6.      Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki oleh Allah adalah demikian, dengan tanpa didukung oleh dalil.


DAFTAR PUSTAKA

-Al-‘Aridl, ‘Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Ed. 1, cet. 1, CV. Rajawali Pers, 1992, Jakarta.
-Baidan Nashruddin, Rekontrusksi Ilmu Tafsir, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000, Jakarta
-Al Qur’an tafsir

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post