BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam datang untuk mengatur kehidupan manusia. Islam
memberikan aturan-aturan yang bisa disebut dengan syari’ah Islam yang bertujuan
untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Aturan ini dibuat untuk manusia
sedemikian mudahnya namun tidak bisa dimudah-mudahkan. Jadi aturan islam itu
dibuat dengan tidak menyulitkan manusia agar dapat ditaati dan dijalankan.
Dengan aturan seperti itu, tidak semua kondisi atau
keadaan manusia yang dapat menjalankan peraturan tersebut, karena potensi dan
kemampuan manusia berbeda-beda. Dalam kondisi seperti ini atau kondisi darurat,
Allah memberikan keringanan terhadap manusia dalam kondisi tertentu juga.
Dari permasalahan diatas, maka penulis mengangkat
permasalahan tentang darurat beserta hubungannya dengan konsep lainnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna Hukum Darurat
Dalam pengertian darurat para ulama berbeda pendapat.
Menurut Abu Bakar darurat adalah kekhawatiran adanya kesulitan atau kerusakan
jiwa atau sebagian anggota badan bila tidak memakan yang diharamkan. Kemudian
menurut ulama Malikyah darurat adalah kekhawatiran akan adanya kerusakan jiwa,
baik secara meyakinkan maupun dugaan.[1]Jadi
menurut hemat penulis darurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa manusia
sehingga ia diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau memakan
yang diharamkan
Hukum darurat menempati posisi yang amat penting dalam
syariah karena mengandung berbagai keuntungan seperti memberikan kemudahan bagi
orang yang ditimpa kesulitan. Darurat memiliki cakupan yang luas untuk
menghadapi setiap keadaan yang membahayakan dalam hidup tanpa mengubah hukum.
Hukum tidak diubah karena peraturan ini, karena hukum darurat dan apa yang
merupakan perkenan bebas untuk mengubah hukum dan apa yang diperbolehkan dalam
hukum darurat ini memiliki batasan waktu dan jangkauannya.[2]
Biasanya hukum darurat dianggap beruang lingkup
terbatas dan tidak dapat dipakai sebagai sumber hukum tetapi pendapat itu salah
karena peraturan itu dibuat untuk menghadapi keadaan yang timbul. Dalam
pembahasan kali ini, bukan berarti hukum Allah berubah karena hukum Allah tidak
dapat berubah. Apa yang nampak berubah dalam hukum ,itu hanyalah penyimpangan
dari hukum darurat atu tindakan Ad hoc diambil dalam hukum darurat ini
segera setelah menghadapi kondisi darurat kemudian menemukan cara pemecahan
yang tepat berdasarkan nash. Oleh karena itu, hukum tetap sama diterapkan bila
permasalahan ini pemecahannya ditemukan atau kondisi kembali pada keadaan
semula.
Dalam hal ini kesulitan yang dimaksud adalah kesulitan
yang sangat menentukan eksistensi manusia karena jika ia tidak diselesaikan
maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Darurat
dalam hal ini akan menghapuskan hukum yang akan mendatangkan kemaslahatan bagi
kehidupan manusia.
Keadaan darurat memperbolehkan sesuatu yang dilarang
merupakan semboyan yang ada dalam pasal 21 dari Majallah (Ottoman Civil Code)
dan menurut Gazzali, segala sesuatu yang dilarang menjadi boleh karena darurat.
dalam hal ini para pakar hukum Islam memasukkan alasan hukum yang membebaskan
seseorang dari kewajiban hukum seperti kegilaan, kesakitan, paksaan, kelalaian
dan ketidaktahuan. Misalnya, dimana keadaan darurat menyebabkan sesuatu yang
dilarang menjadi boleh adalah makan bangkai karena lapar dan minum arak karena
haus.[3]
Jadi hukum darurat kali ini terkait pada dharuriyah
bukan hajjiyah dan tahsiniah.
B.
Batasan-Batasan
Hukum darurat dalam hal ini bukan berkenan bebas
dilakukan tetapi tunduk pada batasan-batasan tertentu yang dijelaskan dalam
ayat al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah
daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barang sipa dalam keadaan terpaksa (memakannya) padahal ia tidak
menginginkannya dan tidak melampaui batas maka ia tidak berdosa.” [4]
Kata tidak menginginkan atau tidak melampaui batas
yang oleh Tabari ditafsirkan sebagai tidak memiliki nafsu yang berkobar untuk
makan apa yang dilarang dan tidak bermaksud untuk melampaui batas yang
membenarkan seseorang memakan apa yang dilarang ketika ia mampu untuk menahan
dirinya dari memakan nya.
C.
Hubungan Darurat dengan
Beberapa Konsep
Hubungan darurat dengan beberapa konsep. Dalam hal ini
menghubungkannya dengan mashlahah
mursalah, istihsan, dan rukhsah.
1.
Maslahah mursalah.
Dari penjelasan sebelumnya, telah dikatakan bahwa
darurat kali ini terkait pada maslahah dharuriyah saja. Jadi jika kita melihat
pada macam-macam maslahah mursalah yang menyangkut maslahah dharuriyah .
Dalam pertemuan yang lalu telah dibahas macam-macam
maslahah yaitu maslahah dharuriyah yang perkara-perkara yang menjadi tempat
tegaknya kehidupan manusia yang mana bila ditinggalkan maka rusaklah kehidupan,
merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah, dan kehancuran yang hebat.[5]
Jika dihubungkan dengan masalah darurat maka
perkara-perkara diatas dapat ditinggalkan jika dalam keadaan darurat atau
mendapat keringanan untuk melaksanakannya. Misalnya dalam me akal, dalam hal
ini kita dilarang untuk meminum khamar dikarenakan dapat merusak akal namun
bila dalam keadaan darurat ketika kita kehausan yang pada saat itu tidak
terdapat air selain arak maka kita diperbolehkan meminum arak tersebut namun
dengan batas-batas yang telah disebutkan diatas. dalam hal ini jika tidak ada
jalan lain.[6]
Kemudian dalam masalah agama misalnya wajib untuk
melaksanakan sholat Jum’at namun hukum sholat jum’at itu bisa menjadi sunnah
apabila keadaan saat itu tidak memungkinkan kita untuk keluar dari rumah
seperti hujan deras beserta angin kencang yang bila kita keluar rumah
dikhawatirkan mengancam jiwa kita.
2.
Istihsan
Istihsan darurat adalah meninggalkan hukum qiyas dan
menerapkan hukum darurat atau maslahat. Istihsan darurat merupakan jalan bagi
para fuqaha untuk melihat hukum-hukum yang sesuai dengan fiqh dan maqasid al-syariah
yang pada hakekatnya identik dengan teori maslahah mursalah.
Dengan penjelasan diatas, darurat yang dimaksud dalam
istihsan kali ini bukan darurat yang dalam istilah fuqaha membuat hukum haram
menjadi mubah karena untuk memelihara jiwa dari kebinasaan. Namun darurat dalam
hal ini kebutuhan kepada yang lebih mudah, kepada yang lebih dekat untuk
menolak kesempitan meskipun tidak terdapat pemeliharaan terhadap jiwa dari
kebinasaan dan harta benda dari kesia-siaan.[7]
Contohnya dari istihsan darurat adalah menjual kotoran
binatang hukumnya yang hukum awalnya adalah haram karena penetapan qiyas yang
haram dimakan dan dilarang menjual barang najis namun ketetapan istihsan
membolehkan karena pertimbangan darurat yaitu dapat memenuhi kebutuhan manusia
yang mendesak dan dapat pula dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk tanaman. [8]
3.
Rukhsahh
Rukhsah adalah sesuatu yang disyariatkan Allah dari
berbagai hukum untuk memberikan kemudahan kepada mukallaf dalam berbagai
situasi dan kondisi yang menghendaki kemudahan tersebut.
Diantara rukhsah adalah pembolehan hal-hal yang
dilarang dalam keadaan darurat. Pembolehan meninggalkan yang wajib apabila ada
udzur yang membuat pelaksanaannya memberatkan mukallaf. Ulama Hanafiyyah
membagi rukhsah kepada dua macam yaitu rukhsah tarfih dan rukhsah isqat.
Rukhsah tarfih adalah peringanan pada mukallaf. Contoh
orang yang dipaksa untuk berbuka puasa pada bulan Ramadhan. Rukhsah tarfih ini
tidak menggugurkan keharaman namun hanya keringanan bagi yang melakukannya.
Sedangkan rukhsah isqat adalah
pengguguran dimana membolehkan sesuatu yang telah dilarang dengan
keadaan darurat. Contoh orang yang terpaksa memakan bangkai karena
keterpaksaan. Hal ini menuntut hilangnya keharaman. karena kalau sekiranya ia
tidak melakukannya maka dikhawatirkan akan menghilangkan jiwa nya.[9]
Dalam hal ini sebab-sebab rukhsah adalah melakukan
perjalanan misalnya boleh mengqashar shalat, mengqadha puasa, kemudian sakit
misalnya kebolehan bertayamum, dan duduk ketika shalat, selanjutnya dalam
keadaan terpaksa misalnya memakan bangkai, kemudian dalam keadaan lupa misalnya
makan minum waktu puasa maka dia tidak berdosa, dilanjutkan dengan
ketidaktahuan misalnya memakan bangkai namun tidak mnegerti bahwa bangkai
tersebut haram untuk dimakan dan dalam keadaan kesulitan misalnya jual beli
dengan akad salam.[10]
Dan bentuk-bentuk dari rukhsah ini adalah
a.
Menghilangkan kewajiban seperti
meninggalkan shalat jum’at, haji, umrah dan jihad ketika ada udzur.
b.
Mengurangi beban umpamanya shalat
qashar.
c.
Penggantian seperti mengganti wudhu
dan mandi dengan tayamum.
d.
Mendahulukan umpamanya
mendahulukan zakat harta sebelum genap setahun dan mendahulukan pembayaran
zakat fitrah di bulan ramadhan.
e.
Menangguhkan hingga waktu
tertentu, seperti kebolehan mengganti puasa ramadhan pada hari lain bagi yang
sakit atau dalam perjalanan.
BAB
III
PENUTUP
Dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa hukum dalam
suatu aturan dapat berubah dari yang haram menjadi halal jika dalam keadaan
darurat. Namun darurat dalam hal menggugurkan hukum haram menjadi boleh itu
berdasarkan kriteria bahwa tidak ada jalan lain lagi misalnya dalam keadaan
lapar dihutan sedangkan yang ada hanyalah makanan yang haram, maka dalam
kondisi seperti ini diperbolehkan memakan makanan yang haram dengan
batasan-batasan tertentu agar tidak berdosa.
Namun jika kata darurat ini dihubungkan dengan konsep lain maka darurat
nya tidak sama seperti darurat diatas yang bisa merubah hukum namun hanya
keringanan yang didapat jika darurat nya dalam tingkatan yang ringan. Jadi
keadaan darurat yang dapat merubah hukum dengan darurat yang mendapat
keringanan itu berbeda kondisi dan situasinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Al-Zarqa, Mustafa. Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Jakarta : PT. Radar Jaya, 2000.
Mubarok, Jaih. Kaidah
fiqih, Jakarta :
PT. Raja Grafindo, 2002
Muslehuddin,
Muhammad. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.
Uman, Chaerul.
Ushul Fiqih 1, Bandung :
CV. Pustaka Setia, 2000.
Usman,
Muchlis. Kaidah-Kaidah Istimbath Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Wahhab Kallaf, Abdul. Ilmu Ushul Fiqih,
Semarang : PT.
Dina Utama, 1994.
Tugas Kelompok
Teori Darurat
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Pada Mata Kuliah Ushul Fiqih II
Dosen Pembimbing:
Oleh
U TA M I
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM PALANGKARAYA
JURUSAN
SYARI’AH PRODI AHS
2008
[2]
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1997, h. 145
[3] Ibid.,
h.146
[4]Ibid.,
h. 148
[6] Ibid.,
h. 138
[7]
Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Jakarta : PT. Radar Jaya,
2000, h. 24-25
[8]
Chaerul Uman, Ushul Fiqih, h. 129
[10]
Muchlis Usman, kaidah-Kaidah Istimbath Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999, h.
128-130
[11]
Jaih Mubarok, Kaidah fiqih, h. 143-144
bung,, follow blog ane juga ya..
ReplyDeletewwww.aguz-iki.blogspot.com
agus,,dulu waktu tinggal di langgar Al-Mubarokah. :)
Oke saudaraku...
Deleteterima kasih yaaa
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.