Blogger Kalteng

Ushul Fikih II : TA’WIL, TAFSIR, AL-MUTASYABIH & MUJMAL



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ta’wil
  1. Pengertian ta’wil
Menurut bahasa, ta’wil berasal dari kata ala, yaulu artinya kembali.[1]Al-Qaththan dan al-jurjani berpendapat bahwa arti ta’wil menurut lughat adalah aru-ruju’ ila al-ashl (kembali pada pokoknya). Adapun  menurut istilah, banyak ulama memberikan pendapatnya, antara lain berikut ini adalah sebagai berikut:[2]
a.   Ta’wil ialah membelokan kalimat dari zhariyahnya pada arti lain yang lebih sesuai dengan alasan yang kuat sehingga arti yang lain inilah yang dianggap sesuai”. (Imam Syaukani)[3].
b.  memalingkan suatu lafadz dari makna alternatif terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan al-kitab dan as-sunnah”.(Imam Jurzani)[4]
c.   Menurut ulama salah, “ menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan, baik yang bersesuaian dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.[5]
d.  Menurut ulama khalaf, “mengalihkan suatu lafadz dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu”.[6]
Ringkasnya, pengertian ta’wil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafadz-lafadz (ayat-ayat Al-qur’an) melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafadz itu. Dengan kata lain ta’wil berarti mengartikan lafadz dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.[7]
  1. kedudukan ta’wil
ulama ushul telah sepakat bahwa ta’wil itu hanya berlaku dalam soal-soal furu’. Adapun mengenai soal-soal ushul (pokok-pokok syara’) seperti soal sifat Allah, surga, neraka, dan sebagainya, maka terdapat tiga pendapat sebagai berikut:[8]
a.   tidak berlaku ta’wil dalam soal-soal ushul.
b.  Berlaku dalam soal-soal ushul hanya saja ta’wilnya diserahkan ke hadirat Allah SWT.
c.   Berlaku ta’wil dalam soal ushul. Jadi, lafadz aidin dalam ayat yang berbunyi:
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷ƒr'Î/
dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami).( QS Adz-Dzariyat:47)
menurut pendapat pertama diatas, Allah mempunyai tangan seperti tangan manusia yang berarti allah itu berjisim (berbentuk). Ini tidak benar karena dalam hal ini Allah disamakan dengan makhluk-Nya, padahal allah tidak seperti makhluk.[9]
Seperti dijelaskan dalam firman-Nya:
 4}§øŠs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« ( uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# ÇÊÊÈ
tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.( QS Asy-Syuura: 11)

menurut pendapat kedua, Allah itu bersifat, bertangan, tetapi tangan allah tidak berarti sama dengan tangan makhluk-Nya, jadi allah tidak berjisim seperti manusia lain, dan itu hanya Allah sendiri yang mengetahuinya sesuai dengan kebesaran-Nya.[10]
Menurut pendapat ketiga, tangan Allah dalam ayat tersebut di atas diartikan dengan kekuasaan sebagaimana firman-Nya;[11]
ª!$# ß,Î=»yz Èe@ä. &äóÓx« uqèdur ßÏnºuqø9$# ㍻£gs)ø9$# ÇÊÏÈ
"Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa".(QS Ar-Rad: 16)

B.     Tafsir
  1. Pengertian tafsir.
Tafsir atau at-tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain:[12]
a.   Menjelaskan, menerangkan, yakni: ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas terang.
b.  Keterangan sesuatu yakni: perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci dan mudah dipahami serta dihayati.
c.   Tafsirah, yakni: (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan untuk dapat mendeteksi atau mengetahui segala penyakit yang diderita seorang pasien). Kalau tafsirah adalah alat kedokteran yang mengungkap penyakit dari seorang pasien, maka tafsir dapat mengeluarkan makna tersimpan dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.
Tafsir menurut pengertian istilah (terminologis), para ulama memberikan rumusan yang berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, nama dalam segi arah dan tujuannya sama. Adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut:
a.   Menurut syaikh Thahir al-Jaziry dalam at-taujih:
“tafsir pada hakikatnya adalah menerangkan (maksud) lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan (uraian) yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.[13]
Titik perhatian dalam rumusan tersebut ialah lafadz yang sulit dipahami, yang terdapat dalam rangkaian ayat al-qur’an.
b.  Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam at-ta’riifat:
pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’, tafsir adalah menjelaskan makna ayat dari segi segala persoalannyaa, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan menggunakan lafadz yang menunjukan kepadanya secara terang”.[14]
titik perhatian dalam rumusan ini ialah ayat Al-Qur’an yang merupakan kelompok yang terpadu dari lafadz-lafadz.
Dari ta’rif tersebut di atas dapat kita lihat, bahwa rumusan-rumusan itu satu dengan yang lainnya berbeda dalam titik perhatiannya yakni menjelaskan. Ada yang titik perhatiannya pada lafadz dan ada yang pada ayat.
Perbedaan tersebut bukan dalam arti satu salam lain tidak dapat dipertemukan, bahkan satu dengan yang lainnya saling melengkapi, bahwa dalam menafsirkan al-qur’an haruslah melalui penafsiran ayat-ayatnya, dan dalam menafsirkan ayat-ayatnya terlebih dahulu haruslah dipahami makna lafadz-lafadz nya. Dengan demikian bila seseorang ingin memahami kandungan isi Al-qur’an maka ia harus memahami kandungan ayat per ayatnya. Untuk memahami kandungan sesuatu ayat al-qur’an ia harus tahu makna lafadz-lafadz atau kalimat-kalimat yang ada dalam rangkain ayat tersebut.[15]
Maka berdasarkan rumusan-rumusan di atas, dapatlah kita tegaskan, bahwa tafsir adalah:
usaha yang bertujuan menejelaskan al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafadz-lafadznya, agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga AL-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati dan diamalkan demi tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[16]

  1. kedudukan, fungsi dan faedah mempelajari ilmu tafsir.
Dipandang dari segi eksistensinya yang sangat dekat dengan al-Qur’anul karim, maka kedudukan tafsir sangat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan itu sangat menonjol, terutama bila disadari bahwa dinamika dan kebangkitan umat Islam, baik secara individu maupun masyarakat, terletak sejauh mana mereka bergantung dan berpegang pada hidayah (petunjuk) Al-qur’an bersandar pada ajaran-ajaran serta atura-aturannya yang memuat dan akan membawa pada kebahagiaan manusia. Untuk sampai pada pengamalan petunjuk, ajaran serta aturan-aturan Al-qur’an itu tidak musah, kecuali telah dapat memahami sebaik-baiknya segala nasehat petunjuk dan prinsip-prinsip ajarannya yang semuanya dimuat dalam bahasa Al-Qur’an yang memiliki uslub dan mengandung ijaz yang tinggi, sudah barang tentu sulit dipahami oleh orang awam.[17]
Dengan demikian maka fungsi tafsir dalam rangka memahami dan menggali khaznah atau kekayaan kandungan al-qur’an itu adalah sebagai kunci. Tanpa kunci tidak mungkin memasuki pintu yang tertutup rapat, lebih-lebih untuk memperoleh segala yang tersimpan di balik pintu itu.[18]
Faedah mempelajari tafsir adalah mengetahui petunjuk-petunjuk allah yang tersimpan dalam al-Qur’an baik yang menyangkut aqidah, ibadah, muamlah, dan akhlak, demi tercapainya kebahagiaan pribadi maupun masyarakat, di dunia dan di akhirat.[19]




C.    Al-mutasyabih
  1. pengertian Al-Mutasyabih.
Menurut etimologi (bahasa) mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar (ma khafiya bi anfs lafadz).[20]
Sedangkan menurut terminology (istilah) diungkapkan para ulama sebagai berikut:[21]
a.   Ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah. Definisi ini dikemukakan kelompok alsunnah.
b.  Ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang mempunyai kemungkinan sisi arti yang banyak. Definisi ini dikemukakan oleh ibn Abbas.
c.   Ibn abi hatim mengatakan bahwa ikrimah (w. 105 H) qatadah bin du’amah (w. 117 H), dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
melihat pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa mutasyabih adalah ayat-ayat yang belum jelas. Masuk ke dalam kategori mutasyabih ini adalah mujmal (global), mu’awaal (harus dita’wil), musykil dan mubham (ambisius).[22]
Menurut istilah ulama ushul, ialah lafadz yang shighotnya itu sendiri tidak menunjukan pada arti (maksud)-nya. Dan tidak terdapat warinah-warinah di luar yang menjelaskannya. Sedangkan syar’I sudah mencukupkan begitu saja berdasarkan ilmunya dan tidak menjelaskannya.[23]
  1. sikap para ulama terhadap ayat-ayat (lafadz) mutasyabih.
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok:[24]
a.   Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri. Mereka menyucikan allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an.
b.  Madzhab khalaf, ialah para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifata Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin.
Untuk menengahi kedua madzhab yang kontradiktif itu. Ibn Ad-Daqiq al-‘id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh Lisan arab, penakwilan tersebut tidak diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap Tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat dipahami melalui percakapan orang-orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawaqquf. Contohnya adalah QS Az-Zumar ayat 56 yang kami maknai dengan hak dan kewajiban Allah.[25]
Ibn Qutaidah menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab kasik. Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok azh-Zhariyyah yang mengatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat arab pada masa awal.[26]



  1. hikmah keberadaan ayat mutasyabih dalam Al-Qur’an
di antara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-qur’an dan ketidakmampuan akal untuk mengetahuinya adalah berikut ini:[27]
a.   memperlihatkan kelemahan akal manusia.
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.
Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih.

b.  Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih.
Pada penghujung surat Ali-Imran ayat 7, allah menyebutkan wa ma yadazdakkaru illa ulu al-albab sebagai contoh terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotk-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzigh qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya.
c.   Memberikan pemahaman abstrak ilahiah kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa disaksikan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamb-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.
D.    Mujmal
  1. pengertian mujmal
mujmal adalah lafadz yang mengandung sejumlah keadaan atau hukum yang tercakup di dalamnya, dan tidak diketahui ketentuannya tanpa adanya penjelasan lebih lanjut. Singkatnya mujmal ialah sesuatu yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari yang lainnya. Penjelasan ini disebut al-bayyan. Ketikdajelasan ini disebut ijmal.[28]
Menurut istilah ulama uhsul, ialah lafadz yang shigotnya tidak dapat menunjukan kepada pengertian yang dikandung olehnya, dan tidak terdapat qarinah-qarinah lafadz atau keadaan yang dapat menjelaskannya.
  1. hukum lafadz mujmal.
Apabila terdapat perkataan mujmal baik dalam al-qur’an maupun hadits, maka kita tidak menggunakannya sehingga datang penjelasan. Seperti perkataan salat, zakat haji dan lain-lain yang dijelaskan oleh Nabi saw tentang cara-cara melakukannya. Demikian pula tentang batas-batas harta yang terkena pajak.[29]
  1. macam-macam penjelasan dari lafadz mujmal
penjelasan ada 7 macam:[30]
  1. perkataan:
seperti penjelasan puasa tammatu, 10 hari. Tiga hari sewaktu masih hajji dan 7 hari lainnya sesudah pulang kenegerinya (al-Baqarah ayat 196).
  1. perbuatan:
seperti penjelasan Nabi tentang mengerjakan shalat, hajji dan lain-lain.
  1. tulisan:
seperti penjelasan Nabi tentang batas dan macam-macam harta yang terkena zakat.
  1. Isyarat:
Nabi mengangkatkesepuluhjarinya tiga kali. Kemudian Nabi mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Dimaksudkan bahwa bulan arab itu kadang-kadang berisi 30 hari atau 29 hari
  1. Tidak berbuat:
Seperti Nabi tidak berwudhu lagi setelah makan daging yang dimasak.
  1. Diam, tidak berkata:
Tatkala nabi menerangkan tentang wajibnya hajji, ada seorang sahabat menanyakan apakah kewajiban tersebut tiap-tiap tahun. Nabi diam tidak menjawab. Berarti kewajiban hajji tidak tiap-tiap tahun.







             [1] Khairul Umam, Ushul fiqih II, bandung: Pustaka setia, 2001, h. 21.
             [2] Rosihon anwar, ulumul qur’an, bandung: Pustaka setia, 2000, h. 211.
             [3] Khairul Umam, Ushul, h. 21.
             [4] Rosihon anwar, ulumul, h. 212.
             [5] Ibid.,
             [6] Ibid., h. 213
             [7] Ibid.
             [8] Khairul Umam, Ushul, h. 22.
             [9] Ibid., h. 23.
             [10] Ibid., h.24.
             [11] Ibid.,
             [12] ali hasan dan rifa’at Nawawi, pengantar ilmu tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, h. 139.
             [13] Ibid., h. 140.
             [14] Ibid., h. 141.
             [15] Ibid., h. 142.
             [16] Ibid.,h. 143
             [17] Ibid., h, 147.
             [18] Ibid., h. 148
             [19] Ibid., h. 149.
             [20] Rosihon anwar, ulumul, h. 125.
             [21] Ibid., h. 127.
             [22] Ibid.,
             [23] Abdul wahhab kallaf, kaidah-kaidah hukum Islam (ilmu ushulul fiqih), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 280.
             [24] Rosihon anwar, ulumul, h. 133.
             [25] Ibid., h. 134.
             [26] Ibid., h. 135.
             [27] Ibid., h. 142.
             [28] A. hanafie, ushul fiqih, Jakarta: widjaya, 1981, . 83.
             [29] Ibid., h. 84.Abdul
             [30] Syafi’I karim, fiqih-ushul fiqih, pustaka setia, 2001, h. 190.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post