
BAB I
PENDAHULUAN
Allah yang Maha Suci mengetahui bahwa taklif-taklif (penegasan) ini
adalah urusan yang jiwa manusia memerlukan pertolongan, dorongan dan motivasi
untuk menimbulkan semangatnya agar mau menerimanya. Meskipun terdapat hikmah
dan manfaat di dalamnya sehingga dia merasa puas dan rela melakukannya.
Pada awal Islam, kaum muslimin begitu besar perhatian mereka terhadap
upaya melaksanakan hukum-hukum agama dan menjaga larangan-larangan-Nya. Dan
betapa Allah telah mempertegas larangan-Nya dalam hal nikah beda agama dan
mengawini pezina.
Di sini, pada surat al-Baqarah ayat 221
dan surat
an-Nur ayat 3, Allah telah menuangkan masalah larangan-Nya dalam hal nikah beda
agama dan mengawini pezina. Beranjak dari permasalahan tersebut, penulis
mencoba menguak permasalahan hukum yang terdapat pada ayat-ayat tersebut.
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi kita semua
khususnya bagi mahasiswa (i) jurusan Syari'ah yang sedang menggeluti bidangnya,
yang bersumber pada al-Qur'an dan Hadits.

PEMBAHASAN
AYAT TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
DAN MENGAWINI PEZINA
A. Ayat yang Ditafsir
1.
Surat al-Baqarah ayat 221
وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّى يُؤْمِنَّ وََلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكَةٍ وَّلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ، وَلاَ تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ
مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكٍ وَّلَوْ أَعْجَبَكُمْ، أُولئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى
النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوْا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ،
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ للِنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ (۲۲۱)
“Janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
mukmin walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dengan ampunan dan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (QS. al-Baqarah: 221).
2.
Surat an-Nur ayat 3
اَلزَّانِى
لاَ يَنْكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا
إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَالِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ {النور : ۳}
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang
musyrik. Dan perempuan zina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang musyrik. Dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. (an-Nur: 3)
Tafsir Mufradat
Walaupun dia menarik hatimu :
|
أَعْجَبَتْكُمْ
|
Dan yang demikian itu diharamkan :
|
وَحُرِّمَ
|
Laki-laki yang berzina :
|
اَلزَّانِى
|
B. Asbabun Nuzul
1.
Surah al-Baqarah : 231
Ayat 221 mulai
dari ( وََلأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكَةٍ )
diturunkan sehubungan dengan Abdillah bin Rawahah merasa menyesal atas
perbuatannya menampar dan memarahinya. Oleh karena itu dia datang menghadap
kepada Rasulullah SAW menceritakan kejadian itu. Di hadapan Rasulullah SAW dia
berkata: “Aku akan memerdekakan hamba sahaya kemudian akan aku kawini”. Hal ini
dilaksanakan oleh Abdillah bin Rawahah. Melihat kenyataan ini orang-orang
menghina dan mengejek Abdillah bin Rawahah. Oleh sebab itulah Allah SWT
menurunkan ayat ini, yang pada dasarnya memberikan ketegasan dan jawaban
terhadap penghinaan mereka, mengawini hamba sahaya yang beriman adalah lebih
baik dan mulia daripada mengawini wanita musyrik yang sangat cantik dan mulia.
Sebab wanita musyrik hanya akan mengajak ke jurang kesengsaraan, sedangkan
hamba yang beriman akan menarik ke arah kebahagiaan lahir bathin.
(HR. Wahidi dari Suddi dari Abi alik dari Ibnu Abbas. Dalam riwayat lain
yang dikeluarkan oleh imam Ibnu Jarir dari Suddi juga diterangkan bahwa
hadits ini adalah Munqathi).[1]
2.
Surat An-Nur: 3
Umi Mahzul seorang pelacur akan dikawini oleh seorang
sahabat Nabi. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT. Menurunkan ayat ke-3 surah
an-Nur sebagai penjelasan bahwa seorang wanita pezina haram dikawini oleh
seorang mukmin. Ia hanya boleh dikawini oleh lelaki pezina atau orang musyrik.
(HR. Nasai dari Abdillah bin Umar).
Mazid mengangkut barang dagangannya dari Ambar ke
Mekkah untuk dijual. Ia bertemu dengan teman lamanya, seorang wanita pezina
bernama Anaq. Mazid meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi.
Rasulullah SAW tidak menjawab. Maka kemudian turun ayat ini dan beliau
bersabda: “Wahai Mazid, seorang pezina hanya akan dikawini oleh lelaki
pezina-karena itu, janganlah kamu menikahinya”. (H.R Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai
dan Hakim dan Amar bin Syu’aib dari bapaknya dan datuknya).
Ketika Allah SWT menurunkan ayat tentang haramnya
berzina, di sekitar kaum muslimin banyak sekali pelacur-pelacur yang cantik nan
molek. Maka mereka berkata: “Janganlah dibiarkan wanita-wanita itu pergi dan
biarkanlah mereka kawin.” Sehubungan dengan itu, maka Allah menurunkan ayat ke-3 sebagai
ketegasan bahwa pezina hanya dikawini oleh lelaki pezina atau orang musyrik.
(H.R Sa’id bin Mansur dari Mujahid).[2]
C. Tafsir Ayat
1.
QS. Al-Baqarah ayat 221
Sebelum sampai kepada pembahasan atau ulasan yang
berkenaan dengan topik yang penulis ingin kemukakan beberapa hal yang erat hubungannya dengan
pembahasan terdahulu sangat berkaitan. Di antaranya mengenai tujuan dan hikmah
(pernikahan), maka berikut ini sampailah kepada topik pembicaraan, yaitu
perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim atau sebaliknya.
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang muslim laki-laki
tidak dibolehkan kawin dengan perempuan musyrik, begitu juga perempuan mukminah
tidak dibolehkan dengan laki-laki musyrik karena ada perbedaan yang sangat jauh
antara kedua kepercayaan tersebut. Di satu pihak mengajak ke surga sedangkan di
pihak lain mengajak ke neraka. Di satu pihak beriman kepada Allah dan para Nabi
serta hari Kiamat, sedangkan dim pihak lain
menyekutukan Allah dan ingkar kepada Nabi serta Hari Kiamat.[3]
Tujuan perkawinan ialah untuk mencapai ketentraman
dan kasih sayang. Bagaimana mungkin dua segi yang kontradiksi ini akan dapat
bertemu?
Pemilihan pasangan adalah batu pertama pondasi
bangunan rumah tangga, ia harus sangat kukuh, karena kalau tidak, bangunan
tersebut akan roboh kendati hanya dengan sedikit goncangan. Apalagi jika beban
yang ditampungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak. Pondasi kokoh
tersebut bukan kecantikan dan ketampanan, karena keduanya bersifat relatif,
sekaligus cepat pudar, bukan juga harta, karena harta mudah didapat sekaligus
mudah lenyap; bukan pula status sosial atau kebangsawanan karena yang inipun
sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Pondasi yang kokoh adalah yang
berstandar pada iman kepada Yang Maha Esa, Maha Kaya, Maha Kuasa, lagi Maha
Bijaksana.[4]
Imam Bukhari dan Imam Muslim, meriwayatkan sebuah
hadits dari sahabat Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ
لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita
itu dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya
dan karena agamanya. Dahulukan dengan agamanya, maka itulah idaman anda”.[5]
Pada penggalan
ayat pertama ditujukan
kepada pria muslim :
أَعْجَبَتْكُمْ …وَلاَ
تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ janganlah kalian menikahi wanita-wanita
musyrik yang tidak memiliki kitab, sehingga mereka mau beriman kepada Allah dan
membenarkan Nabi Muhammad saw. Kata musyrik dalam al-Qur’an mempunyai makna
senada dengan ayat 105 pada surat
al-Baqarah: “orang” kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada
menginginkan (diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu)…”. Dan firman
Allah yang lain: “orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata”. (al-Bayyinah: 1).[6]
Orang kafir ada dua macam, pertama, Ahl
al-Kitab; dan kedua, orang-orang musyrik (bukan ahli kitab). Itu istilah
yang digunakan al-Qur’an untuk satu substansi yang sama, yakni kekufuran dengan
dua nama yang berbeda, ahl al-kitab dan al-musyrikun. lebih kurang sama dengan kata korupsi dan
mencuri.
Hal di atas merupakan masalah dalam hukum Islam (masailul
fiqhiyah). Perkawinan antar orang yang berlainan agama di sini, ialah
perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan bukan orang Islam (pria/wanita).
Mengenai masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
a)
Perkawinan antar seorang pria
muslim dengan wanita musyrik.
b)
Perkawinan antar seorang pria
muslim dengan wanita ahlul kitab.
c)
Perkawinan antar seorang wanita
muslim dengan pria non muslim.[7]
a. Perkawinan antar seorang
pria muslim dengan wanita musyrik.
Hanya di kalangan ulama timbul beberapa pendapat
tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu
Jabir al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk
dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada
waktu turunnya al-Qur'an memang tidak mengenal kata suci dan mereka menyembah
berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita
musyrik dari bangsa non Arab, seperti wanita Cina, India dan Jepang, yang
diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk
agama Budha, Hindu, Konghucu yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya
adanya hidup sesudah mati dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sependapat dengan
ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua
musyrikah baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non Arab, selain ahli kitab,
yakni Yahudi dan Kristen tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa
wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi / Kristen tidak boleh dikawini
oleh pria muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu,
Konghucu, Majusi/Zeroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan
Yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”.
b. Perkawinan antar seorang
pria muslim dengan wanita ahlul kitab.
1.
Menurut pendapat Jumhur Ulama baik
Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin
dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) negara lain
(ahli Dzimmah).
2.
Golongan Syi’ah Imamiyah dan
Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita
ahli kitab.[8]
Di sini ada suatu peringatan yang harus kita
ketengahkan yaitu bahwa seorang muslimah yang fanatik dengan agamanya akan
lebih baik daripada yang hanya menerima warisan nenek moyangnya. Karena itu,
Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita tentang memilih jodoh dengan kata-kata
sebagai berikut:
اظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ
“Pilihlah
perempuan yang beragama sebab kalau tidak, celakalah dirimu”. (Riwayat
Bukhari)[9]
c. Perkawinan antar seorang
wanita muslim dengan pria non muslim.
Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan
antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim, baik calon suaminya itu
termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi,
ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti
Budhiesme, Hiduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya
kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan
sebagainya.[10]
Kalau penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria
muslim, maka penggalan ayat kedua ditujukan kepada para wali. Para
wali dilarang mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik.
Paling tidak ada dua hal yang perlu digarisbawahi di sini.
Yang pertama, ditujukannya penggalan kedua ayat
tersebut kepada wali, memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak
kecil dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada di bawah
perwaliannya. Perlu diingat, bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam, adalah
perkawinan yang menjalankan hubungan harmonis antar suami isteri, sekaligus
antar keluarga, bukan saja keluarga masing-masing, tetapi juga antar keluarga
kedua mempelai. Dari sini peranan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat
penting, baik dengan memberi mereka wewenang yang besar, maupun sekedar restu
tanpa mengurangi hak anak. Karena itu, walau Rasul SAW memerintahkan orang tua
untuk meminta persetujuan anak tidak jarang berbeda dengan tolak ukur orang
tua, maka tolak ukur anak, ibu dan bapak, harus dapat menyatu dalam mengambil
keputusan perkawinan.
Hal yang kedua ialah
sama halnya pada uraian point C perkawinan antar seorang wanita muslim
dengan pria non muslim. Bahwa alasan utama larangan perkawinan dengan non
muslim adalah perbedaan iman. Perkawinan dimaksudkan agar terjalin hubungan,
minimal antara kalangan suami isteri dan anak-anaknya. Bagaimana keharmonisan
tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda, apalagi bertentangan
dengan nilai-nilai yang dianut oleh isteri? Nilai-nilai mewarnai pikiran dan
tingkah laku seseorang.[11]
Setelah menjelaskan penggalan kedua ayat ini, maka
dilanjutkan dengan uraian: sebab larangan itu, yakni karena mereka mengajak
kamu dan anak-anakmu yang lahir dari buah perkawinan ke neraka dengan ucapan
atau perbuatan dan keteladanan mereka, sedang Allah mengajak kamu dan siapapun
menuju amalan-amalan yang dapat mengatur ke surga dan ampunan dengan lain-Nya.
Penggalan ayat ini memberi kesan, bahwa semua yang
mengajak ke neraka adalah orang–orang yang tidak wajar dijadikan pasangan hidup. Sementara pemikir muslim
dewasa ini cenderung memasukkan semua non muslim termasuk dalam kelompok yang
mengajak ke neraka, dan pada dasarnya mereka cenderung mempersamakan ahli kitab dengan musyrik. Kecenderungan melarang
perkawinan seorang muslim dengan wanita ahli kitab atas dasar kemaslahatan,
bukan atas dasar teks al-Qur'an adalah pada tempatnya, sehingga paling tidak
perkawinan tersebut dalam sudut pandang hukum Islam adalah makruh.
Ayat
ini ditutup dengan firman-Nya : Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni tuntunan-tuntunan-Nya supaya kamu dapat
mengingat, yakni mengambil pelajaran. Dan ia pun menuntun mereka kepada
faedah-faedah hukum-Nya serta rahasia yang terkandung di dalam syari’at-Nya.[12]
2.
QS. An-Nur Ayat 3
Sebelum ayat ini menjelaskan
hukuman terhadap pezina dan ayat inipun mengemukakan keharusan menghindari
pezina, apalagi ingin dijadikan pasangan hidup.
Sesungguhnya orang yang fasik
dan durhaka, yang kebiasaannya ialah melakukan perbuatan zina dan kefasikan.
Tidak mempunyai keinginan untuk mengawini wanita-wanita yang salehah, tetapi
hanya menginginkan perempuan fasik dan kotor atau perempuan musyrik. Begitu
pula perempuan yang fasik dan tidak menjaga kehormatannya, tidak akan dikawini
oleh laki-laki yang saleh, malah mereka akan lari darinya. Perempuan fasik
hanya diingini oleh laki-laki fasik yang sejenis dengannya. Sungguh tepat
perumpamaan yang menyatakan “burung-burung hanya akan dianggap di tengah
kumpulan sejenisnya.”[13]
Suami isteri atau jauzan (dalam bahasa Arab), berarti dua
orang yang serupa dan seirama, tidak bertolak belakangnya antara yang baik dan
buruk baik ditinjau secara hukum syar’i maupun secara ukuran biasa, tidak akan
dapat menghasilkan keserasian, seirama dan kecintaan dan kasih sayang, maka
tepatlah apa yang dikatakan Allah:
اَلْخَبِيْثَاتُ
لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ
لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبَاتِ {النور: ۲٦}
“Perempuan jahat untuk laki-laki yang jahat, laki-laki yang
jahat untuk perempuan jahat; perempuan yang baik dengan laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik.” (QS. An-Nur:26) [14]
Ulama-ulama bermazhab Hanbali
dan Zhahiri menetapkan bahwa perkawinan dengan pelaku zina (laki-laki atau
perempuan) tidak dianggap sah sebelum ada kesempatan taubat.
Banyak ulama yang memahami ayat
3 ini dalam arti ghaibnya, seorang yang cenderung dan senang berzina, enggan
menikahi siapa yang taat beragama. Demikian juga wanita pezina tidak diminati
oleh lelaki yang taat beragama. Ini karena tentu saja masing-masing ingin
mencari pasangan yang sejalan dengan sifat-sifatnya. Sedang kesalehan dan
perzinahan adalah dua hal yang bertolak belakang. Perkawinan antara lain
bertujuan melahirkan kesenangan, kebahagiaan dan langgengnya cinta kasih antara
suami isteri bahkan semua keluarga. Nah, bagaimana mungkin hal-hal tersebut
terpenuhi bila perkawinan itu terjalin antara seorang yang memelihara
kehormatannya dengan yang tidak memeliharanya?
Ulama ketiga mazhab Abu Hanifah,
Malik dan Syafi’i menilai sah perkawinan seorang pria yang taat dengan seorang
wanita pezina, tetapi hukumnya makruh. Alasannya antara lain firman Allah dalam
Q.S. An Nisa : 24 yang menyebut sekian banyak yang haram dikawini lalu
menyatakan “Dan dihalalkan untuk kamu selain itu”. Nah pezina termasuk yang
disebut dalam kelompok “yang selain itu” sehingga itu berarti menikahi adalah
halal.
Imam
Ahmad dan sekelompok ulama lain berpendapat bahwa perkawinan pezina pria kepada
wanita yang memelihara diri / baik-baik atau sebaliknya, tidaklah sah. Salah
satu alasannya adalah ayat yang ditafsirkan ini.[15]
D.
Syarah Ayat dengan Hadits
1.
Surah al-Baqarah: 221
Dengan adanya asbabun nuzul dari ayat ini: “Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik
hatimu”.
Abdullah bin Umar r.a. menyatakan bahwa Nabi bersabda:
لاَتَنْكِحُوا
النِّسَآءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُّرْدِيَهُنَّ وَلاَ
تُنْكِحُوْهُنَّ عَلَى أَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ يُّطْفِيَهُنَّ
وَانْكِحُوْهُنَّ عَلَى الدِّيْنِ فَلأَمَةٌ سَوْدَاءُ جَرْدَاءُ ذَاتُ دِيْنٍ
أَفْضَلُ.
“Jangan kawin dengan wanita semata-mata
karena kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan menjerumuskan mereka dan
jangan mengawini wanita semata-mata karena hartanya, karena mungkin dengan
kekayaannya itu akan membuatnya melampaui batas dan kawinilah mereka itu karena
agamanya, maka sungguh budak wanita yang hitam tapi beragama adalah lebih
utama.” (HR. Abdu dan Humaid).[16]
Abdullah bin Umar r.a. menyatakan bahwa Nabi SAW
bersabda:
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ
الدُّنْيَا اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ {رواه مسلم}
“Dunia adalah kesenangan dan sebaik-baik
kesenangan dunia ialah wanita (istri) yang shalehah.” (HR. Muslim).[17]
2.
Surah an-Nur: 3
Dari asbabun nuzul, suatu riwayat yang diceritakan
oleh Murtsid dari Abu Murtsid, yakni bahwa dia minta izin kepada Nabi untuk
kawin dengan pelacur yang telah dimulainya perhubungan ini sejak zaman
Jahiliyah namanya Anas. Nabi tidak menjawabnya sehingga turunlah ayat ini:
اَلزَّانِى لاَ
يَنْكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَالِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ {النور : ٣} فَتَلاَ
النَّبِيُّ ص م الآيَةَ وَقَالَ لَهُ: لاَ تَنْكِحْهَا.
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan
yang musyrik. Dan perempuan zina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang musyrik. Dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. (an-Nur: 3) Kemudian beliau
bacakan ayat tersebut dan berkata: Dan jangan kamu nikahi dia (Abu Daud, Nasa’I
dan Tirmidzi).
Ini justru
Allah hanya memperkenankan kawin dengan perempuan mu’minah yang muhshonah atau
ahli kitab yang muhshonah juga seperti yang telah diterangkan terdahulu.
E. Pokok Kandungan Hukum
1.
Al-Baqarah ayat 221
Diperbolehkannya perkawinan dengan wanita ahlul kitab
dengan demikian ditetapkan beberapa persyaratan mengikat yang wajib diindahkan.
Persyaratan pertama: dapat dipastikan bahwa wanita ahlul kitab
yang dikawini itu benar-benar ahlul kitab, yakni: ia sungguh-sungguh
mempercayai agama langit, yaitu agama yang menurut asalnya dibawakan oleh para
Nabi dan Rasul utusan Allah, seperti agama Yahudi dan Nasrani. Persyaratan kedua:
wanita ahlul kitab yang dikawini itu harus wanita muhshanat dan suci (menjaga
keras kehormatannya, tidak pernah ternoda). Persyaratan ketiga:
wanita ahlul kitab yang dikawini itu tidak dari golongan yang memusuhi dan
memerangi kaum muslim.
Persyaratan keempat: perkawinan dengan
perempuan ahlul kitab harus tidak akan mengakibatkan fitnah (bencana) dan
menimbulkan bahaya.
Tidak boleh kita lupakan bahwa lepas dari dibolehkan
atau tidaknya perkawinan pria muslim dengan wanita bukan muslimah, namun ada
satu soal yang kaum muslimin tidak selisih pendapat, yaitu bahwa perkawinan
pria muslim dengan wanita muslimah lebih baik, lebih utama dan lebih afdhol
dalam segala aspeknya. Tidak perlu diragukan lagi, kesamaan agama antara suami
dan isteri merupakan faktor yang dapat mengantarkan mereka berdua ke dalam
suasana kehidupan bahagia, bahkan makin cocok dalam hal cara berpikir dan cara
hidup antara suami isteri tentu akan lebih memperkokoh kehidupan rumah tangga.[18]
2. An-Nur ayat 3
Mengenai وَحُرِّمَ ذَالِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ :
sesungguhnya, laki-laki mukmin
yang saleh diharamkan mengawini perempuan pelacur, menaruh keinginan
terhadapnya dan menempuh jalan orang-orang fasik yang terkenal selalu zina.
Sebab, dengan demikian dia akan menyerupai orang-orang fasik dan mendatangi
tempat-tempat kefasikan, disamping kedurhakaan yang bisa membuat orang banyak
berkata buruk dan mengumpat tentang dia. Seringkali pergaulan dengan
orang-orang fasik menyeret seseorang melakukan perbuatan dosa. Lantas bagaimana
halnya jika seseorang kawin dengan orang yang suka berzina dan orang durhaka?!
Hal ini digambarkan di dalam Khabar:
مَنْ حَامَ حَوْلَ الْحِمَى
يُوْشِكْ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ
“Barangsiapa menggembala di sekitar kawasan terlarang,
hampir-hampir dia masuk ke dalam kawasan itu”.[19]
BAB III
KESIMPULAN
Islam tidak hanya menghendaki pria muslim kawin dengan wanita muslimah, bahkan lebih mendorong agar wanita muslimah itu benar-benar menghayati dan menerapkan keislamannya. Muslimah demikian itu pasti sangat mendambakan keridhaan Allah, menjaga hak suaminya dengan baik serta sanggup menjaga dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas keselamatan serta kesejahteraan suami dan anak-anaknya. Oleh karena itu Rasulullah saw. mewanti-wanti agar tiap muslim menjaga baik-baik keutuhan agamanya agar terjamin keselamatan hidupnya.
Hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an ini sudah selaras dengan
fitrah manusia dan sesuai dengan akal yang sehat, sebab, Allah tidak
membenarkan hamba-Nya ini sebagai germo untuk mencarikan jodoh seorang pelacur.
Fitrah manusia pun akan menganggap jijik, oleh karena itu, orang-orang apabila
mencari kawannya, mereka mengatakan: pantas kamu suami pelacur. Untuk itulah,
Allah mengharamkan perkawinan semacam itu kepada orang Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad
Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi,
Juz 1, 2 3, 16, 17 dan 18, Semarang :
PT Karya Toha Putra, cet. 2, 1992.
________, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz, Semarang : PT Karya Toha
Putra, cet. 2, 1992.

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, cet. IV, 2000.
Mahali, A. Mudjab,
Asbabun Nuzul, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1988.
Qardawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Mutakhir, Bandung : Pustaka Hidayat, cet. IV, 2000.
_________, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya : PT Bina Ilmu,
Edisi Revisi, 2003.
Shihab, M.
Quraish, Tafsir al-Misbah, vol. 1,
9, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT Toko Gunung Agung, cet. 10, 1997.
[1] A.
Mudzab Mahali, Asbabun Nuzul, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1988. hal. 96
[2] Ibid, hal. 602-603
[3]
Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawi
[4] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,
vol. 1, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000, hal. 262-263
[5]
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, 2 dan
3, Semarang : PT
Karya Toha Putra, cet. 2, 1992, hal. 264.
[6] Ibid, hal. 262-263.
[7]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT Toko Gunung
Agung, cet. 10, 1997, hal. 4.
[8] M.
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah.
Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, cet. IV, 2000, hal. 11.
[9]
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Op Cit,
hal. 254
[10]
Masjfuk Zuhdi, Op Cit, hal. 6.
[11]
M. Quraish Shihab, Op Cit, hal.
443-444
[12] Ibid, hal. 445-446.
[13]Ahmad
Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir
Al-Maragi, Juz 16, 17 dan 18, Semarang :
PT Karya Toha Putra, cet. 2, 1992, hal. 130.
[14]
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Op Cit,
hal. 259.
[15]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,
vol. 9, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000, hal. 286-287.
[16]
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Mutakhir, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), Cet. ke-4.
[17]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op. cit.,hal.
[18]
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Tafsir
Ibnu Katsir 1, Surabaya :
PT Bina Ilmu, cet. IV, 2004, hal. 421-422. lihat juga Ahmad Mustafa
al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, 2 dan 3, Op Cit, hal. 263-264.
[19] Salim
Bahreisy dan Said Bahreisy, Op Cit. hal.
421-422.
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.