Blogger Kalteng

Hak Ulayat [Hukum Agraria]


Agaknya Charles James Brooke, dalam bukunya The White Rajah of Sarawak, yang terbit tahun 1915 telah mengingatkan kita semua. “ I beg you to listen to what I have to say, and that you will recollect my words… Has it ever occurred to you that after my time out here others may appear with soft and smiling continuances, to deprive you of what is solemnly you right – that is, the very land on which you live, the source of your income, the food even of your mouth ???...you will lose your birthright, which will be taken from you by strangers and speculators who will, in their turn, become masters and owners whilst you yourselves, you people of the soil, will be thrown aside and become nothing but coolies and outcasts of the island. “ (Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik…. Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak disini lag, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu – yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu, dan bahkan makanan yang ada di mulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini).
Dari pernyataan Brooek diatas, terlihat jelas pengaruh negara, yang diwakili oleh Desa dan Agama, dalam banyak kasus yang telah menempatkan adat sebagai pihak yang paling terpinggirkan. Dalam praktek sehari-hari, kalangan adat seringkali tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik tingkat komunitas. Agaknya, hal ini dapat dipahami bahwa, kelompok adat hanya diisi oleh orang-orang yang ”tingkat pendidikannya” rendah sekali, bahkan dibanyak kampung, para tokoh adat ini tidka pernah mengenyam pendidikan formal. Menurut seorang informan saya, alasan ini sangat realistis, karena tidka mungkin tokoh adat yang tak berpendidikan akan mampu memecahkan problem pemerintahan dan kemasyarakatan dewasa ini. ”masa mereka telah lewat, dan romantisme masa lallu saatnya ditinggalkan mengingat masa sekarang berbeda dengan masa kini” ujar seorang informan. Pernyataan ini mungkin dapat mewakili, ketertindasan kelompok adat dalam mengembangkan desanya berperspektif adat, walaupun sesungguhnya masih dapat diperdebatkan. Seorang informan dari kelompok adat mengatakan: ”saya heran, ketika mereka itu membicarakan proyek yang ada dananya dari pemerintah, kami tidak pernah dilibatkan, akan tetapi apabila proyek itu bermasalah, yang menyebabkan keretakan dimasyarakat, baru kami dilibatkan dalam menyelesaikan maslaah itu secara adat”
Kenyataan diatas sungguh terjadi, bahkan seorang informan lain dengan sikap menggerutu mengatakan ” kami ini hanya pemadam kebakaran”, bila suasana enak kami ditinggal tetapi bila suasana panas, kami dihormati. Dan aneh bahwa, anggota komunitas adat, tidak juga menampakkan diri sebagai pihak yang kontra dengan ”kebijakan” itu, bahkan disisi lain, secara sembunyi mereka melakukan upaya untuk ”terlibat” dalam arena pertempuran untuk tujuan pribadi. Agaknya, selain ditopang kebijakan pemerintah sebagaimana tersebut diatas, jelas bahwa adat sudah mulai ditinggalkan, bahkan oleh komunitasnyasendiri.
Pasca pemberlakukan pemerintahan desa, komunitas adat mulai merasakan kehilangan kedaulatannya. Dengan kedudukan yang sangat strategis karena menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat hingga mengayomi pelestarian adat istiadat dan hukum adatpun menjadi tugas kepala desa. Dengan peran sebesar ini, maka kepala desa menjadi penguasa tunggal dengan kekuasaan tidak terbagi. Namun ironis, bahwa kepala desa hanya bertanggung jawab pada pejabat yang mengangkatnya ( Bupati ) melalui camat dan tidak kepada rakyat desa yang memilihnya. Bahkan kepada Badan Perwakilan Desa, kepala desa hanya memberi keterangan pertanggungjawabannya itu jika dianggap perlu dengan permintaan secara tertulis disertai alasan dan pertimbangannya. Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pelaksanaan upacara-upacara. pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU No 5 tahun 1979 kenyataannya telah mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas Di Kabupaten Landak, hingga saat ini selain menjalankan fungsi eksekutif, dalam prakteknya kepala desa juga menjalankan fungsi legislatif yakni menjadi ketua LMD ex offisio dan menetapkan keputusan desa tanpa meminta terlebih dahulu persetujuan Badan Perwakilan Desa. Praktek ini dijustifikasi oleh Kepala Desa karena “ keterlambatan “ pengaturan mengenai desa di Kabupaten Landak , dan untuk menjalankan pemerintahan desa tentu saja Kepala Desa masih juga menjalankan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku pada komunitas lokal. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengayom adapt-istiadat sebagaimana yang digariskan UU, Kepala Desa juga menjalankan fungsi sosial budayanya. Alasan yang dikemukakan umumnya adalah untuk mengembangkan masyarakatnya kearah yang lebih baik. Banyak Kepala Desa yang beranggapan bahwa adapt-istiadat itu suatu hal yang kuno, ketinggalan zaman dan sebagainya sehingga dengan dalih pengembangan masyarakat desa Kepala Desa kemudian mencampuri juga urusan-urusan adat istiadat dan hukum adat yang sesungguhnya dijalankan hanya oleh timanggong/kepala binua beserta perangkatnya dikampung-kampung. Menurut analisis beberapa pengamat social , paling tidak ada 2 alasan penting mengapa sentralisasi kekuasaan itu ada pada kepala desa. Pertama, dalam kaitan memasukan kepala desa sebagai bagian dari birokrasi nasional dan karenanya dapat digunakan untuk menjalankan program-program birokrasi secara umum maka kepala desa adalah lembaga yang paling tepat dan mudah untuk dimanfaatkan karena dalam proses pemilihan dan penilaian kinerjanya pemerintah atasan ( camat dan bupati ) berperan besar. Kedua, sentralisasi ini dapat mematikan perkembangan otonomi desa yang sejati karena pemerintah pada dasarnya tidak menghendaki hal tersebut.
Meskipun disebutkan bahwa desa mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak yang dimaksud bukanlah otonomi asli. Implikasinya adalah tidak ada keharusan menghadirkan lembaga perwakilan yang juga sejati dari hakekat daerah otonom yang menghendaki adanya lembaga perwakilan semacam itu untuk memilih dan melakukan kontrol pada pemimpinnya. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga musyawarah desa yang anggota-anggotanya sebagian adalah aparat desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala-kepala dusun, serta pemuka masyarakat dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan profesi. Yang menarik dari struktur keanggotaan lembaga ini adalah menonjolnya keinginan pemerintah Orde Baru untuk menyeleksi keanggotaan tersebut sehingga tidak memungkinkan kader-kader partai politik tertentu untuk menjadi anggota LMD atau kini disebut BPD. Dari pengalaman itu sebetulnya terjadi proses manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih kuat terhadap eksistensi kepala binua sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal. Kecendrungan ini jelas sekali telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antara berbagai kelompok masyarakat adat selama ini. Ketiga hal diatas pada akhirnya telah menghilangkan pusat-pusat orientasi yang menjadi pedoman masyarakat mencari kehidupan sebagaimana yang diinginkannya sendiri. Dan yang pasti bahwa sistem desa telah mengabaikan realitas keberagaman pola-pola dan mekanisme lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Landak sehingga potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama sekali.
Berbeda dengan pengaruh desa, agama telah berhasil memainkan perannya yang strategis dalam upaya penghancuran adat. Melalui evangelis local , yang secara khusus dididik disuatu tempat, proses penghancuran adat secara radikal dimulai. Dalam proses perekrutan evangelis local, sesungguhnya pemimpin agama tidak menempatkannya secara professional, indikatornya adalah mayoritas evangelis baru yang direkrut dari komunitas adat adalah berasal dari tamatan SMP atau sederajat dan bahkan tidak tamat SD. Melalui dogma agama yang sarat sangat “militant”, 2 tahun kemudian mereka dikembalikan kekomunitasnya dan mulai mengajakkan “kabar baik”, dengan merekrut anggota baru. alhasil, komunitas adat terfragmentasi dalam beberapa kubu. Banyak sekali kasus dikomunitas adat yang terkait dengan pengabaran “kabar baik” yang dilakukan evangelis local ini, salah satunya dengan perusakan tempat keramat (panyugu), tempayan antic dan sebaginya, yang dilakukan dengan dalih kegiatan musyrik, primitive dan animis.
Secara ontologis, agama merupakan aspek transenden yang memuat atau dan mengajarkan sekumpulan nilai-nilai moralitas dan pedoman kehidupan yang harus berimplikasi ke dalam imanensi kehidupan umat manusia. Ia dihadirkan untuk mengantarkan umat manusia ke dalam suatu kondisi yang membuat mereka dapat mengaktualisasikan dimensi-dimensi kemanusiaannya secara utuh sebagai makhluk rasional dan spiritual sehingga kedamaian, ketenangan dan kesejahteraan dapat terwujud secara kukuh dalam kehidupan ini. Pelacakan terhadap ajaran substantif agama-agama akan membuktikan secara jelas tentang komitmen agama terhadap pengembangan kehidupan semacam itu. Namun di tingkat praksis, sejarah agama justru menampakkan diri dalam wajah yang berbeda, bahkan bertentangan dengan misi agama itu sendiri. Agama sering terlibat –tepatnya dilibatkan –dalam konflik-konflik kekerasan ditengah komunitas adat.
Penyudutan agama sebagai akar konflik ditengah komunitas adat, tidaklah berlebihan dalam hal hancurnya kehidupan beradat bagi komunitas adat saat ini. Konflik dikomunitas adat yang bernuansa agama dan adat sejatinya merupakan persoalan yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan. Selain itu, dalam tataran realitas, konflik tersebut di berbagai daerah dan kawasan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Meskipun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas tertentu kekerasan (agama yang) sektarian dan etnik mempunyai keterkaitan ironik dengan eforia globalisasi dan transformasi institusional. Globalisasi sebagai upaya mewujudkan desa dunia dengan masyarakat yang mencerminkan kesederajatan dan kebersamaan masih bersifat angan-angan. Justru yang terjadi, globalisasi menjadi ajang pertarungan antara yang kuat, setengah kuat, dan lemah serta paling lemah. Ironisnya, kelompok yang lemah dan sangat lemah terus menjadi korban dan belum menikmati keuntungan dari proses modernitas tersebut. Sebagai akibatnya, ketidakberdayaan, kecemburuan, dan sebagainya mulai menyelimuti kelompok atau masyakat yang terpinggirkan. Dalam kehidupan yang dianggap mengancam tersebut, mereka akhirnya mempertentangkan perbedaan identitas antara mereka yang kuat dan lemah, antara yang “menang” dan “dikalahkan”. Agama, desa dan adat sebagai unsur yang paling mudah untuk mengembalikan semangat dan persatuan kelompok dijadikan alat untuk melawan dan memerangi ancaman di hadapan mereka. Selain itu, globalisasi dan modernitas telah membawa dampak krisis identitas terhadap suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Kondisi itu membuat kelompok atau komunitas yang merasa teralienasi berupaya mencari simbol-simbol yang dapat meneguhkan identitas mereka. Dalam konteks semacam itu, agama memperoleh fungsi yang krusial untuk membangun identitas mereka. Agama dijadikan alat untuk melawan kelompok, penguasa, atau bangsa yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap komunitas adat.
Tampaknya Karld W Deutsch, benar. Ia mangatakan bahwa mobilisasi social dapat mempengaruhi terjadinya konflik. Mobilisasi social yang dimaksud adalah sebagai keseluruhan dari proses perubahan social yang terjadi pada setiap masyarakat yang bergerak dari cara hidup tradisional ke modern. Unsure-unsru perubahan tersebut berupa pemberantasan buta huruf, tempat tinggal (urbanisasi), mata pencaharian (dari agrikultur ke nonagrikultur) dan berbegai karakteristik lain yang mengubah cara hidup yang tradisional. Mobilisasi jemaat yang dilakukan evangelis, telah menjadi contih konrit dalam hal ini.
Terpeliharanya hukum adat dan adat-istiadat pada masyarakat adat, merupakan alasan yang sangat menentukan bagi eksistensinya. Apalagi mengingat struktur organisasi bentukan pemerintah, belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, bahkan seringkali digunakan sebagai cara untuk memasung dan mematikan dinamika kehidupan masyarakat adatnya. Menjaga eksistensi struktur kepengurusan masyarakat adat dalam dunia kehidupan masyarakat adatnya, bukan hal yang mudah. Berbagai kendala menjadi sebab ketidak mudahan tersebut. Berdasarkan hasil riset persoalan internal yang ditemui antara lain adanya sebagian masyarakat adat yang tidak mengetahui adat-istiadat, terutama di kalangan generasi muda serta menipisnya kebersamaan untuk mempertahankannya. Sementara faktor eksternal yang sangat mungkin adalah pengaruh aturan dan kebijakan pemerintah, serta pengaruh budaya asing. Pemerintah kadang cenderung memarjinalkan sistem dan tata nilai masyarakat adat Dayak, seperti pembentukan sistem pemerintahan masyarakat yang berkarakter seragam dan padu, perombakan sistem kehidupan rumah panjang menjadi rumah tunggal serta reforma agraria dan kehutanan, yang kurang berpihak kepada hak-hak masyarakat adat dan lain-lain. Untuk itu masyarakat adat perlu didorong guna membuat konsensus bersama, dengan membangun kesadaran kolektif kembali dalam rangka meningkatkan upaya pemberlakuan hukum-hukum adat. Termasuk pula nilai-nilai lokal, yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang sebenarnya, dengan mendorong tetap lestarinya adat-istiadat dari pengaruh budaya asing yang bertentangan. Pemerintah tentunya dalam hal ini harus mampu meregulasi dan mengeluarkan kebijakan, terutama yang menyentuh masyarakat adat. Berbagai aspek kearifan kultural harus diperhatikan, guna menciptakan produk hukum dan kebijakan berkarakter responsif. Ini tidak lain dimaksudkan untuk mewujudkan suatu keadilan yang substantif, sehingga dapat mengakomodasi nilai-nilai kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat adat.


Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post