Blogger Kalteng

Valentine's Day dalam Nuansa Ilmiah (Universitas Muhammadiyah Palangkaraya)







Ada semangat baru yang berusaha “disembulkan” generasi muda belakangan ini, terkait dengan romantisme cinta di kalangan muda-mudi, atau di kalangan pria dan wanita, yang sudah atau belum menikah. Semangat itu berpangkal dari sebuah sumber kekuatan cinta yang dianggap sangat hebat, penuh inspirasi dan sangat tulus. Sumber kekuatan cinta itu adalah kisah-kisah yang akhirnya melahirkan hari yang dipandang sangat bersejarah, Valentine’s Day.
Boleh jadi tanggal 14 Februari setiap tahunnya merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak remaja, baik di negeri ini maupun di berbagai belahan bumi, khususnya belakangan ini. Sebab hari itu banyak dipercaya orang sebagai hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Itulah hari Valentine’s Day, sebuah hari di mana orang-orang penting untuk mengungkapkan rasa kasih sayang.
Dan seiring dengan masuknya beragam gaya hidup barat ke dunia Islam, perayaan hari Valentine’s Day pun ikut mendapatkan sambutan hangat, terutama dari kalangan remaja ABG. Bertukar bingkisan Valentine, semarak warna pink, ucapan rasa kasih sayang, ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasana Valentine setiap tahunnya, bahkan dikalangan remaja muslim sekalipun. 
Dan itu belum seberapa, dibandingkan dengan berbagai trend lain yang kemudian bermunculan sebagai aplikasi merayakan hari keramat itu. Mulai dari berjoget semalaman, hingga seks bebas yang dilakukan secara kolektif, dengan mengenakan topeng untuk menutupi identitas diri. Sehingga, perayaan yang sungguh sudah demikian hingar-bingar dengan pesta maksiat itu semakin berubah wujud menjadi ajang dosa-dosa besar.

Perayaan Valentine’s Day adalah Bagian dari Syiar Agama Nasrani
Valentine’s Day menurut literatur ilmiah yang diperoleh sebagian pakar menunjukkan bahwa perayaan itu bagian dari simbol agama Nasrani. Bahkan kalau mau dirunut ke belakang, sejarahnya berasal dari upacara ritual agama Romawi kuno. Konon, Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari raya baru yang bernama Valentine’s Day.
The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul Crhistiany, menuliskan penjelasan sebagai berikut, “Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari.”
Keterangan seperti ini bukan keterangan yang mengada-ada, sebab rujukannya bersumber dari kalangan barat sendiri. Dan keterangan ini menjelaskan kepada kita, bahwa perayaan hari Valentine itu berasal dari ritual agama nasrani secara resmi. Dan sumber utamanya berasal dari ritual Romawi kuno. Sementara di dalam tatanan akidah Islam, seorang muslim diharamkan ikut merayakan hari besar pemeluk agama lain, baik agama Nasrani ataupun agama paganis (penyembah berhala) dari Romawi kuno.
Ken Swiger dalam artikelnya “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan, “Kata ‘Valentine’ berasal dari bahasa Latin yang berarti, ‘Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa’. Kata ini ditujukkan kepada Nimroe dan Lupercus, Tuhan orang Romawi.”
Disadari atau tidak ketika kita meminta orang menjadi “to be my valentine”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Icon si “Cupid (bayi bersayap dengan panah)” itu adalah putra Nimrod “the hunter” dewa matahari. 

Semangat Valentine adalah Semangat Berzina
Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitoligi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. 
Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih. Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandengan tangan, berpelukan, berciuman, petting bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan mafsu libido biasa.
Bahkan tidak sedikit para orang tua yang merelakan dan memaklumi putra-puteri mereka saling melampiaskan nafsu biologis dengan teman lawan jenis mereka, hanya semata-mata karena beranggapan bahwa hari valentine itu adalah hari khusus untuk mengungkapkan kasih sayang.
Padahal kasih sayang yang dimaksud adalah zina yang diharamkan. Orang barat memang tidak bisa membedakan antara cinta dan zina. Ungkapan make love yang artinya bercinta, seharusnya sekadar cinta yang terkait dengan perasaan dan hati, tetapi setiap kita tahu bahwa makna make love atau bercinta adalah melakukan hubungan kelamin alias zina. Istilah dalam bahasa Indonesia pun mengalami distorsi parah.
Misalnya, istilah penjaja cinta. Bukankah penjaja cinta tidak lain adalah kata lain dari pelacur atau menjaja kenikmatan seks? Sejarah kita sudah dipenuhi dengan berbagai terminologi atau peristilahan yang bertujuan mengaburkan kebenaran, meski diembel-embeli dengan kesatuan berbahasa. Istilah pelacur, terkadang disebut WTS alias wanita tuna susila, kadang disebut wanita malam, gadis telepon, lalu diperlembut lagi menjadi ‘kupu-kupu malam’. Masih kurang lembut? Muncul lagi istilah PSK, alias pekerja seks komersial!
Di dalam syair lagu romantis barat yang juga melanda begitu banyak lagu pop di negeri ini, ungkapan making love ini bertaburan di sana-sini. Buat orang barat, berzina memang salah satu bentuk pengungkapan rasa kasih sayang. Bahkan berzina di sana merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang.
Dengan demikian, sama sekali tidak ada hubungan antara romantisme dengan Valentine’s Day. Bahkan, bagi suami istri Islam, memasukkan peringatan Valentine’s Day sebagai bagian dari implementasi kasih sayang, justru membuat cacat romantisme itu sendiri. Bagaimana mungkin, kisah kasih di jalan Allah yang penuh dengan sentuhan iman, dilumuri dengan budaya kafir dan musyrik seperti Valentine’s Day dan sejenisnya?
Oleh karena itu maka sangat perlu adanya sebuah bahasan tentang Valentine’s Day ini secara Ilmiah, yang akan mengungkap sejarah dan makna dibalik perayaan ini. Sehingga kebenaran yang kita ketahui lebih komprehensif dan mempunyai bobot kebenaran yang bisa dipertanggung jawabkan.




Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post