Entah nasib berpihak padaku atau justru sebaliknya.
Betapa tidak, dulu aku begitu membenci kehidupan malam, dunia supir yang sarat
akan perselingkuhan, dunia yang kuanggap kelam. Dua hari dua malam kadang harus
tinggalkan anak istri kesepian.
Cerita dari mulut kemulut tak asing lagi bahwa
disetiap persinggahan ditemani wanita-wanita kesepian, ditemani wanita-wanita
jajakan memungut dari jalanan. Sungguh kehidupan yang menjijikan dan kelam
cerita bukan mitos ataupun legenda melainkan sebuah penomena yang nyata. Jarang
shalat, puasa, shalat jum’at pun tak pernah. Istri dimana-mana ada disetiap
perempatan. Bila ku ingat akan cerita orang kehidupan para sopir, bahkan banyak
fakta yang ku temukan, semuanya mengurungkan niatku untuk menjadikannya teman
hidupku.
Ya, Tuhan semuanya berbalik padaku Engkau telah
tanamkan padaku sebuah cinta untuknya, cinta pada kehidupan yang aku paling
benci, paling aku takuti dan paling aku jauhi, tapi mengapa cinta itu mesti
ada, kenapa sayang itu tak pernah sirna cinta itu semakin tumbuh kokoh
dihatiku, sayang itu melekat kuat dijiwaku menyatu disetiap hembusan nafasku,
mengalir disetiap desir darahku. Semua kehidupan itu harus kuhadapi, harus
kujalani dan harus kulalui.
Haruskah aku menjadi pecundang tangguh mundur dan
lari dari cinta ini? Tuhan, berilah aku kekuatan, beri aku cinta dan kesetiaan
menepis semua cerita itu. Hanya keimanan yang mampu menepis cerita itu.
Mudah-mudahan kekuatan cinta ini mengalhkan kebencian pada kehidupan kelam itu.
Hanya kesetiaan dan cinta serta keimanan yang aku punya untuk mengalahkan
semuanya mengalahkan kejamnya kehidupan itu. Tuhan, bisakah aku menjadi
penerang dalam kelamnya kehidupan itu? Mampukah aku menjadi cahaya
ditengah-tengah kegelapan?
Bagiku kini pernikahan ibarat sebuah gunung dan
lautan samudra. Dari jauh gunung itu terlihat indah dan menawan dihiasi langit
nan biru dan awan putih bersih melengkapinya, hijau dari kejauhan nampak asri,
tak lupa mengalir beberapa sumber mata air yang menyejukan. Begitupun samudra,
nampak indah dan menawan didalamnya terdapat ikan-ikan yang beraneka ragam
menghiasi beningnya air laut berwarna-warni melukiskan keindahan laut, mutiara
yang teramat mahal ada didasar laut, karang-karang yang bervariasi menjadi daya
tarik yang sudah pasti. Itulah pernikahan ibarat gunung dan lautan. Namun
mampukah aku mendakinya dan menyalami lautan tanpa apapun?
Pernikahan tanpa persiapan ibarat mendaki gunung yang
terlihat indah namun ternyata banyak misteri didalamnya, gunung yang menawarkan
sejuta pesona, padahal bila didekati didalamnya terdapat jurang-jurang yang
setiap saat mampu menghancurkan sebuah rumah tangga. Begitupun keindahan langit
dan awan ibarat kebahagiaan yang diimpikan dalam rumah tangga. Padahal langit
dan awan itu semu bisa hilang oleh hembusan angin dan bisa lenyap manakala
hujan kan turun.
Banyak keindahan dan kemanisan yang dilimpahkan
ketika belum menikah, ketika kita hanya melihat dari jauh dan ketika kita hanya
mrmikirkann dan melihat betapa indah langit itu, padahal dengan kekuatan apapun
kita tidak akan pernah mampu menggapai langit itu, dan tidak akan mampu
menggenggam sedikitpun awan tersebut, begitupun dengan kebahagiaan semu dalam
pernikahan. Istri dan suami sebelum nikah tampak paling wah.
Namun waktu akan meniup keindahan itu seperti
meniupkan angin terhadap awan, hilang. Ke-wah-an pun berubah jadi 'iiiyyy'.
Suami/istri lama-lama biasa menjadi sosok yang menyeramkan. Hijaunya pepohonan
lambang kesejukan ibarat janji-janji yang menawarkan lautan madu padahal
didalam pepohonan itu banyak sekali binatang-binatang buas dibawahnya, kita
tidak tahu apakah pohon tersebut beracun atau tidak. Begitupun kita, kita tidak
akan mengetahui bahaya apa saja yang ada dalam pernikahan dan penderitaan
semacam apa yang akan kita dapatkan.
Aliran sungai yang terlihat menyejukan. Ya! Ibarat
itulah pernikahan. Masa pacaran memang terlihat anggun dan rupawan. Tak lelah
mata memandang, tak bosan telinga mendengar lantunan kata-katanya. Tak jemu
walalu selalu bersamanya. Semua terlihat sempurna bila disebutkan, padahal
setelah lama keanggunan dan rupa akan lenyap seiring waktu, kebosanan akan
muncul dari waktu kewaktu. Ibarat air terlihat jernih menyejukan padahal suatu
saat nanti air akan berhenti mengalir dan hanya karena sedikit lumpur
menghilangkan kejernihan. Itulah cinta ibarat gunung dari kejauhan. Tak hanya
itu pernikahan mampu diselami hanya dengan modal nekad, yang ada hanya bahaya
dan berhadapan dengan kematian. Begitupun pernikahan tanpa persiapan.
Ikan-ikan yang beraneka ragam ibarat manusia yang
berbeda sifat dan keinginan. Ada ikan yang senantiasa tak pernah merugikan,
namun ada pula yang selalu memakan sejenisnya begitupun manusia. Orang-orang
disekitar kita tidak ada yang iri melihat kita, yang setiap saat bisa
mencengkram kita, menghancurkan kebahagiaan kita. Warna-warni didalamnya tak
lain adalah lukisan bahwa hidup tak lepas dari suka dan duka. Kebahagiaan dan
penderitaan senantiasa mewarnai kehidupan. Mutiara dalam pernikahaan adalah
keridahan tuhan yang tentu teramat mahal tak bisa dijul belikan oleh harta
melainkan oleh keimanaan yang hanya mampu dibeli oleh istri shalihah dan suami
saleh.
Dari dasar hati inilah kita mulai berproses mendapatkan
mutiara keridhaan Tuhan melalui tuntunan agama Islam dan ilmu tentang rumah
tangga yang wajib dituntut. Karang-karang dalam pernikahaan ibarat arus
peralihan jaman bila kita tak pandai berenang menyiasati letak-letak karang
maka kita akan terluka dan terjebak oleh karang-karang itu, karang-karang yang
terlihat indah namun berbahaya bila terkena olehnya secara gegabah. Begitupun
bila kita tidak hati-hati dalam pernikahan maka yang terjadi hanya saling
melukai. Dengan peralihan jaman peradaban pun hampir kembali kemasa kenistaan
layaknya dulu yang setiap saat bisa menghancurkan pernikahaan.
Itulah cinta dan pernikahaan tanpa perpisahan yang
matang seperti halnya gunung dan lautan yang menawarkan sejuta keindahan bila
hanya dilihat. Namun perlu alat-alat canggih dan moderen bila kita ingin
mendaki dan menyelaminya. Dan alat-alat tersebut tak lain adalah ilmu untuk
menyiasati bagaimana meraih ridha dari Allah dan jika kita sudah mendapat ridha
Allah Insya Allah kebahagiaan akan kita dapatkan.
Kita akan selamat samapai kepuncak gunung tertinggi
dan selamat dari derasnya gelombang kehidupan. Itu sebabnya aku selalu ingin
ingin menuntut ilmu agar aku mampu mendaki gunung dan puncak tertinggal
sekalipun dan ketika aku sudah sampai pun aku tidak akan jatuh kembali secara
sia-sia. Dan dengan ilmu itu pula aku berharap aku tidak terbawa oleh arus kehidupan
yang semakin deras.
Sepintas pernah aku berpikir untuk keluar dan
berkhayal menjadi seorang istri. Namun mengingat usiaku yang sangat belia dan
keterbatasan ilmu kerumah tanggaan akhirnya fikiran untuk itupun hilang. Kini
aku berfikir lain, masa depanku ditentukan saat ini ! Setiap langkahku menuju
sekolah dan majlis ta’lim itulah langkah penentu masa depanku. Tak mungkin
langkah yang sudah jauh kutempuh harus aku mundur dan kembali tanpa melihat
betapa banyak liku-liku dan jurang-jurang yang sudah pernah kulewati. Itu bukan
aku!
Antara cita-cita dan cinta berkonflik hebat dalam
hatiku memperebutkan posisiku. Bagiku kesuksesan adalah proses bukan hasil. Dan
ketika aku menuntut ilmu itulah salah satu prosesku menuju apa yang aku mau.
Dan jika aku memilih untuk menjadi seorang istri maka aku telaah memilih hasil
bukan proses, kenapa demikian? Karena memang sudah menjadi fitrah seorang
wanita menjadi istri atau ibu, setinggi apapun pendidikannya hasil akhirnya
tetap menjadi seorang istri. Itulah yang aku maksud hasil bila memilih menjadi
seorang istri, lalu apakah hasilnya baik atau buruk.
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.