SEDERET
RINDU DALAM DOA UNTUK AYAH
Karya
Fitri Rahmawati (iChi)
Rintik
hujan menemaniku malam ini. Ku buka album foto di laci meja kamarku. Ku buka
lembaran-lembaran kenanganku bersama Ayahku. Yaa… kurang lebih 3 tahun lalu
Ayah pergi meninggalkanku.
November
2009, aku baru berusia sekitar 15 tahun, tetapi telah didiagnosa menderita
penyakit vertigo dan kelainan sel
neuron pada otakku, penyakit yang tak biasa diderita anak seusiaku. Satu minggu
sudah aku dirawat di rumah sakit. “Hari ini kamu sudah boleh pulang,nak”, kata
Ayah dan Bunda tersenyum padaku.
Mentari
mulai menyapa pagi. Aku bersiap menuju sekolahku, seperti biasa Ayah
mengantarkanku. Tapi Ayah tak seperti biasanya, sepanjang perjalanan Ayah hanya
diam saja. “Nampaknya Ayah sedang sakit”, gumamku dalam hati.
Malam ini
terasa begitu dingin, tepatnya sangat dingin. Aku mulai merasakan sakit di
sekujur tubuhku. Dan baru saja aku tersadar, aku sudah berada di rumah sakit,
lagi dan lagi. Karena di rumah sakit tempatku dirawat tak ada alat brain-scaning, akupun dibawa ke rumah
sakit di luar kota. Beberapa hari kemudian, saat keadaanku membaik, akupun
diperbolehkan pulang.
Desember
2009, Ayah dinas ke luar kota. Saat berpamitan padaku dan Bunda, Ayah bilang
setelah dinas akan langsung mampir ke rumah nenek.
“Nak,
siapkan baju-bajumu sekarang ya”, kata Bunda sesaat setelah menerima telepon.
“”Loh, kenapa Bun?”, tanyaku heran. “Ayahmu masuk rumah sakit”, kata Bunda yang
terlihat panik. Aku, Bunda, dan kakakku
segera berangkat ke luar kota, menuju rumah sakit tempat ayah di rawat,
ya rumah sakit yang sama tempat terakhir kali aku di rawat.
Kami
terkejut bukan main, saat dokter mengatakan bahwa Ayah terkena liver-cancer. “Yaa Robb sejak kapan Ayah
sakit? Kenapa Ayah tidak pernah bilang? Kenapa tiba-tiba sudah separah ini
penyakitnya?” hatiku berkecamuh saat itu juga. Wajar saja, karena sejak kecil
aku yang sering bolak-balik rumah sakit. Dan Ayah sama sekali tidak pernah
menunjukkan sakitnya. Ayah begitu menjagaku, menyayangiku.
Januari
2010, saat pembagian raport aku ditelepon guruku bahwa aku mendapat peringkat 2
terbaik di kelasku. “Selamat nak, tetap terus rajin belajar, raih cita-citamu”
kata Ayah sembari tersenyum di tengah sakitnya, saat mengetahui kabar tentang
peringkatku.
Kondisi
kesehatan Ayah semakin memburuk. Dokter menyarankan agar Ayah di chemotherapy. Biaya yang tak sedikit
membuat Ayah tak ingin di chemotherapy, tapi
kami meyakinkan dan membujuk Ayah demi kesembuhannya.
Karena
keperluan sekolah, aku ditemani kakakku terpaksa harus kembali ke kota asalku.
Tetapi baru sehari kami di rumah, tak lama setelah shalat subuh kakakku
mendapat telepon dari Bunda. Raut wajah kakak berubah seketika, sedih. “Kenapa
kak? Ayah kenapa?”, kataku panik. “Ayah sudah tidak ada dik”, kata kakak sambil
memelukku erat. Langsung saja aku menangis dipelukkan kakakku. “Ayah…”, ucapku
tersedu-sedu. Kamipun segera berangkat lagi ke luar kota, ke rumah nenek,
karena Ayah akan disemayamkan di sana, di tanah kelahirannya.
Minggu,
10 Januari 2010 bertepatan 24 Muharram 1431 H. , tak sempat Ayah di chemotherapy, namun Ayah telah pergi
untuk selamanya. Kembali kepada yang lebih mencintainya, Robbku.
Aku
bahagia lahir dan tumbuh besar dalam keluarga yang begitu luar biasa bagiku.
Penuh cinta dan kehangatan. Semua nasihat dan senyum terakhir Ayah kala itu, akan
ku ingat selalu… Dan kini hanya lewat doa, ku titipkan rindu untuk Ayah
tercinta…
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.