*yandi novia
berbagai sumber terpercaya....
“Sekedar contoh, kalau ke warung bisa
jalan kaki, kenapa kita harus naik motor? Bukankah jalan kaki lebih sehat?
Kalau kita bisa beli pertamax kenapa harus beli premium? Bukankah tiap tetes
premium subsidi yang kita bakar, di sana terdapat hak orang yang tak mampu.
Kalau kita bisa hemat, kenapa harus boros? Kalau kita cukup punya satu mobil
pribadi, kenapa harus tiga mobil? Bukankah kita punya anak cucu. Di masa
mendatang, mereka juga membutuhkan BBM. Merekalah yang akan meneruskan perjalanan
bangsa ini. “Bayangkan kalau sumber daya yang ada kita habiskan begitu saja
tanpa memikirkan anak cucu, bagaimana negara kita ke depan?,” kata Kepala Badan
Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng”. *(Kutipan Dari Redaksi Majalah Hilir Migas edisi 9 tahun 2012)
Penjualan
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai dibatasi di beberapa wilayah. Hal ini
karena kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan terancam jebol. Berdasarkan UU No
12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014, pemerintah dan DPR memangkas kuota BBM
bersubsidi dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter.
Sementara
itu, per 31 Juli 2014, realisasi konsumsi solar bersubsidi sudah mencapai 9,12
juta kilo liter, atau 60 persen dari kuota APBN-P 2014. Sedangkan realisasi
konsumsi Premium mencapai 17,08 juta kilo liter, atau 58 persen dari kuota
APBN-P 2014. Hal ini agak riskan karena hingga akhir tahun, anggaran kita masih
memiliki momentum Natal dan Tahun Baru yang dapat mendorong konsumsi BBM
bersubsidi.
Untuk
mencegah jebolnya kuota BBM bersubsidi, pemerintah melalui BPH Migas
mengeluarkan Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli
2014 tentang pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Dalam surat edaran tersebut,
BPH Migas mengatur empat hal, yaitu
1)
Peniadaan solar bersubsidi di Jakarta Pusat mulai 1
Agustus 2014
2)
Dihapuskannya penjualan solar bersubsidi pada malam hari
(pukul 18:00 – 08:00) di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali
mulai 4 Agustus 2014
3)
Pemotongan kuota solar bersubsidi untuk nelayan sebesar
20 persen mulai 4 Agustus 2014 dengan prioritas penyaluran pada kapal nelayan
dengan bobot dibawah 30 gross ton
4)
Penghentian penjualan Premium di seluruh SPBU di jalan
tol mulai 6 Agustus 2014.
Kepala
BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng menegaskan bukan tanpa alasan BPH Migas
mengeluarkan edaran tersebut. Menurutnya, kalau tidak diatur bensin Premium
diperkirakan habis pada 19 Desember dan minyak Solar habis pada akhir November.
Sementara Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa kuota 46 juta KL itu tidak
boleh ditambah. Maka atas dasar itulah BPH Migas mensiasati atau mengatur agar
kuota sebesar 46 juta KL yang ditetapkan dalam APBNP 2014 bisa cukup hingga
akhir Desember.
BPH Migas Siap Mengkaji Ulang
Setelah adanya keluhan dari para pengelola
SPBU di jalan tol yang mengalami penurunan omzet setalah tidak lagi menjual premium, Badan Pengatur
Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan pihaknya akan mengkaji ulang
aturan soal penghapusan Bahan
Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis premium di jalan tol.
Pihak pengelola SPBU dalam tuntutannya
menerangkan bahwa marginnya turun, dan masih dipertanyakan pihak BPH Migas, Apa
benar marginya turun?. Kendati demikian, BPH Migas tidak akan mencabut
langsung kebijakan penghapusan BBM subsidi di jalan tol tersebut. Hal ini dirasa perlu
kajian yang lebih mendalam. Jika penghapusan BBM subsidi ini dicabut,
pihaknya masih banyak memiliki opsi lain agar kuota bahan bakar primadona
tersebut tidak jebol.
“Berdasarkan data yang dirangkum dalam
tiga tahun terakhir (2011–2013), total anggaran yang dikeluarkan Pemerintah
untuk subsidi BBM adalah Rp635,6 triliun. Bila ditambah dengan anggaran tahun
ini Rp210,7 triliun. Jadi, totalnya mencapai Rp846,3 triliun. Bila Indonesia
tidak memberi subsidi BBM, maka Pemerintah bisa membiayai berbagai proyek
infrastruktur, seperti tol atas laut di Pantura, tol Trans Sumatera, atau
sejumlah proyek infrastruktur di Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. “
Andy Noorsaman Sommeng juga menegaskan, aturan pengendalian BBM
bersubsidi ini memang sangat diperlukan, agar BBM subsidi tidak over kuota.
"Kalau sampai akhir tahun diperkirakan over 1,3 juta kilo liter (kl). Itu
dengan tanpa ada lagi penambahan aturan pengendalian”.
BPH Migas
Berhasil Tekan Penyalahgunaan BBM Bersubsidi
*(Kutipan Majalah Hilir Migas
edisi 13 tahun 2014)
Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas)
mencatat kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama Januari 2014 mencapai volume 675,7
kiloliter (kl), terdiri atas 53 kasus. Sementara itu, kasus selama 2013
mencapai 947 dengan volume 7.235 kl.
Terbanyak
di Kalimantan;
Dari data yang ada kasus terbanyak dugaan penyalahgunaan
penyaluran BBM bersubsidi untuk awal Januari 2014 adalah di
Kalimantan. “Untuk wilayah tersebut, kasus penyalahgunaan mencapai 45 persen.
Kemudian berturut-turut disusul oleh Sumatera sebesar 32 persen, Bangka
Belitung 16 persen, Papua 11 persen, Maluku Utara 7 persen. Sedangkan yang
terendah ada di Pulau Jawa dan Bali, yang hanya sebesar 1 persen, serta Maluku
1,9 persen,” kata Andy.
Menuai
Kritikan
Kebijakan
pemerintah untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi dianggap perlu, tapi
caranya mendapat kritikan. Dari sisi teknis operasional, Himpunan Wiraswasta
Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas)
mengatakan bahwa waktu pelaksanaannya terburu-buru. Surat edaran baru diberikan
pada 24 Juli 2014, artinya seminggu sebelum pelaksanaan peniadaan solar
bersubsidi di Jakarta Pusat.
Selain
itu, seperti diberitakan liputan6.com,
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Hiswana Migas DKI Jakarta, Jawa Barat, dan
Banten, Juan Tarigan, mengatakan bahwa seharusnya sosialisasi dilakukan
oleh Pertamina, sementara pengusaha SPBU hanya sebagai pelaksana kegiatan saja.
Ia khawatir kurangnya sosialisasi kepada masyarakat akan menimbulkan kericuhan
di lapangan antara petugas SPBU dengan masyarakat yang ingin membeli BBM
bersubsidi.
Sementara
itu, dari sisi konsep kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini juga mendapat
kritik. Seperti diberitakan detik.com,
menurut Direktur Energy Watch,
Mamit Setiawan, pemerintah seharusnya menaikkan harga BBM bersubsidi daripada
melakukan pembatasan. Ia mengatakan bahwa pembatasan ini akan sia-sia.
Peniadaan
solar bersubsidi di Jakarta Pusat misalnya, pembeli bisa dengan mudah membeli
solar bersubsidi di luar Jakarta Pusat, hanya memindahkan pembeli ke wilayah
lain. Selain itu, ia menilai konsumsi solar bersubsidi di Jakarta Pusat tidak
besar, seharusnya yang dilarang adalah Premium.
Sementara
itu, pelarangan pembelian solar bersubsidi pada malam hari juga dinilai rawan
konflik di lapangan antara petugas SPBU dengan konsumen. Larangan penjualan
Premium di SPBU di jalan tol juga dinilai tidak akan signifikan mengurangi
konsumsi Premium karena pembeli bisa dengan mudah membeli di luar jalan tol.
Pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi ini sedikit banyak memang mengundang tanya, kenapa
solar bersubsidi yang dibatasi, bukan Premium. Padahal solar banyak digunakan
untuk angkutan umum dan angkutan barang seperti bus dan truk, sementara Premium
lebih banyak digunakan oleh kendaraan pribadi.
Pemerintah tampaknya perlu mencarikan solusi
pascapembatasan penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar agar
masyarakat tidak cemas, di samping memberikan informasi yang cukup mengenai hal
itu kepada publik.
Pasalnya, peraturan pembatasan penjualan
solar bersubsidi yang dikeluarkan oleh Pemerintah beberapa waktu lalu
mendatangkan kekhawatiran tersendiri bagi sejumlah pelaku ekonomi.
Bukan hanya pelaku ekonomi dari industri besar
yang masih banyak menggunakan solar bersubsidi, melainkan juga industri kecil
yang terdapat di kampung-kampung.
Pihak terkait juga hendaknya melakukan
sosialisasi lebih serius dan lebih mendalam kepada masyarakat luas, sehingga
tidak terbilang “mendadak” atau dianggap “ngawur”, walaupun BPH
Migas telah melakukan sosialisasi dari mulai 30 Juni 2014 di media-media.
“Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas
Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng sangat prihatin. Ini terkait dengan
masih kuatnya pandangan di tengah masyarakat yang mengganggap Indonesia adalah
negara kaya minyak. Padahal, pada
kenyataannya, Indonesia boleh dibilang sedang berada diambang krisis energi.” *(Kutipan
Majalah Hilir Migas edisi 9 tahun 2012 dalam Sajian Utama; Ubah Paradigma,
Saatnya Masyarakat Bangun dari Mimpi)
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.