Oleh
: *Debu Yandi
Aku
dan kawan-kawanku, adalah murid Sekolah Dasar kelas 4 di sebuah desa terpencil
Kalimantan Tengah. Setiap hari aku dan kawan-kawanku berangkat ke sekolah
dengan melintasi jalan setapak dan menyebrangi sungai dengan perahu mesin kecil
milik salah seorang warga dengan bahan bakar solar harga 15rb/liter.
Akses
jembatan tidak mungkin akan dibangun, karena jarak penyebrangan itu lumayan
jauh, dan tak mungkin juga kami harus menggunakan sampan/ jukung (dalam bahasa
dayak ngaju), arus air bisa dibilang deras. Warna air yang kehitam-hitaman
akibat limbah perkebunan sawit menambah angker suasana sungai, dulu tak begitu
sebelum perusahaan sawit masuk ke desa kami.
Apalah
daya kami, kami harus sekolah. Bukan karena program Pemerintah Provinsi “Kalteng
Harati” yang memaksa kami harus sekolah, namun ini murni dari dalam hati kami. Kami
ingin menjadi manusia yang cerdas dan berkemampuan layaknya orang-orang di
kota. Walaupun, sekolah kami tertinggal, kami tak mengenal namanya internet, komputer
saja hanya satu, itupun rusak, apa itu facebook, twitter, blog, kami tak
mengenal hanya tau namanya saja dari mereka-meraeka anak kuliahan yang
kebetulan pulang kampung.
Ayah
dan ibu ku, kerja hanya menjadi buruh lepas di perkebunan kelapa sawit dengan
gajih per hari 56rb dan akan diterima setiap dua minggu sekali, dulu sekali
ayah kerja memotong rotan (manetes) milik orang lain, dan berbagi hasil
apabila rotannya telah dijual dan ibu kerja menyadap karet (mamantat)
milik orang lain dan berbagi hasil pula ketika telah dijual, itu dulu ketika
harga karet dan rotan masih tinggi. Kini, harga karet dan rotan tak ada artinya,
sehingga hamper semua warga memilih untuk bekerja diperkebunan kelapa sawit,
dan bahkan lebih parah lagi tanaman karet dan rotan banyak yang digarap habis
oleh warga beralih menanam kelapa sawit.
Harga
BBM naik, semua juga ikut naik. Gaji ayah dan ibu menjadi harapan hidup kami,
untuk makan, keperluan sekolah, dan lainnya. Hutang dimana-mana menunggu gaji
keluar, dan kerap kali gaji tak ada sisa ketika membayar hutang. Terpaksa hutang
lagi. Saya teringat lagu Rhoma Irama yang syairnya “gali lobang tutup lobang,
pinjam uang bayar utang”, inilah jalan hidup kami.
Apa
yang mau diharapkan dari kami “hanya tamatan SD dan SMP” ucap ayah dan ibu. Makanya
kamu harus jadi anak pintar, bisa kuliah. Tak mengapa ayah dan ibu kerja keras
seperti ini, raihlah cita-citamu setinggi mungkin, ucap ayah yang tengah
menikmati secangkir kopi dan rokok kopeh (rokok yang dibuat sendiri, dengan
tembakau yang dibeli dalam kemasan berbungkus).
Ayah
dan ibu berangkat kerja setiap ba’da subuh, dengan berjalan kaki selama kurang
lebih 2 jam. Tiba kembali dirumah sekitar jam empat sore. Begitu setiap
harinya. Kenapa gak pakai motor? Karena kami gak punya sepeda motor, untuk
kehidupan sehari-hari saja sudah kurang. Jalan kaki, adalah solusi terbaik
untuk dijalankan. Mungkin begitulah kira-kira yang ada dalam benak ayah dan
ibu.
Motivasi
mereka adalah aku, aku yang mereka harapkan utuk menjadi anak yang sukses
nantinya. Sehingga, taka da kata lelah bagi mereka, terik mentari dan hujan
sudah menjadi nuansa alami yang mereka rasakan setiap hari. Kadang, ayah dan
bunda harus kerja dengan pakain yang basah, karena hujan, mau berteduh takut
terlambat. Maklum, kerja diperusahaan sawit harus disiplin. Kadang, mereka
pulangpun disambut hujan, maka bagi seorang anak kewajibanku membuatkan kopi/ teh
hangat untuk mereka. Cukuplah dengan tambahan rebusan ubi, sudah mengenyangkan
bagi mereka.
Harga
BBM naik menjadi topik hangat di desa kami, walaupun di desa, beberapa warga juga
punya televisi. Jadi tak heran suasana seperti bioskop dirumah warga yang
mempunyai televisi setiap harinya.
Isu
Harga BBM naik, di desa sudah pada naik harga sembako. Gaji ayah dan ibu, tak
ikut naik. Seandainya seiring dengan isu kenaikkan Harga BBM naik dan bahkan
sekarang sudah naik, gaji ayah dan ibu juga ikut naik, niscaya aku dan
kawan-kawanku setiap hari akan membuat isu kenaikkan harga BBM, gumamku. Maklumlah
aku masih anak Sekolah Dasar.
Katanya
lagi, kenaikkan harga BBM untuk menyelamatkan Negara. Dan dana akan dialihkan
ke infrastruktur, saya percaya saja. Apalagi ayah dan ibu, kalau untuk
menyelamatkan Negara kenapa tidak, kata ayah dan ibu. Kita tunggu saja, semoga
desa kita pembangunannya tambah.
Tapi
tetap saja, harga BBM naik semua ikut naik. Gaji tak naik, aku dan
kawan-kawanku harus tetap sekolah dengan menggunakan perahu mesin, bayar loh
itu ongkos minyaknya. Terlambat, ya pasti kalau tiba-tiba minyaknya habis, dan
terpaksa harus mendayung perahu mesin tadinya. Tapi tenang saja, aku dan
kawan-kawanku tetaplah anak yang rajin, tak ada tugas yang tak kami selesaikan
tepat waktu, Pekerjaan Rumah itu hal biasa. Walupun buku-buku bacaan masih
kurang, kami sangat antusias nanya kepada guru, hal yang tidak kami ketahui.
Aku
dan kawan-kawanku, mempunyai keinginan yang sama, yakni ingin bisa computer,
punya akun facebook, twitter, bisa update status, upload foto dan lainnya. Kami
juga ingin kuliah, karena walupun miskin kata guru kami, kami pasti bisa kuliah
dengan modal kecerdasan kami, dan kami juga yakin kami mampu mendapatkan beasiswa.
Semoga perjuangan ini tak sia-sia, dan Tuhan selalu mendengar hamba yang memuji
Nya.
*Nama lengkap Yandi Novia, mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Palangkaraya, aktivis Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah Kalimantan Tengah, lahir di
Desa Tanjung Jariangau, Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur.
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.