Blogger Kalteng

Subsidi BBM, Apakah Sudah Tepat Sasaran?

Meningkatnya harga minyak dunia berimbas pada membengkaknya beban pemerintah untuk subsidi Bahan Bakar Minyak(BBM). Hingga akhirnya harga BBM dinaikkan adalah sebuah keputusan final. Makin lebarnya disparitas harga bensin bersubsidi dan non bersubsidi inilah yang mendorong banyak kasus penyelewengan distribusi BBM bersubsidi di lapangan. Ditambah dengan kembali beralihnya pemilik kendaraan bermotor dari menggunakan Pertamax ke Premium juga makin mendorong lonjakan konsumsi BBM bersubsidi tersebut.
Rakyat pun sadar bahwa kebijakan subsidi BBM selama ini sebenarnya bukan kebijakan populis karena yang menikmati subsidi BBM justru mereka yang tidak miskin yang mampu memiliki kendaraan bermotor termasuk mobil-mobil mewah, dan bahkan perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik yang banyak menggunakan BBM untuk mesin-mesin pabriknya.
Pendapatan tersebut menunjukkan bahwa rakyat faham dan sadar bahwa subsidi tersebut tidak adil dan menjadi beban pemerintah. Dengan pandangan tersebut apakah berarti rakyat bisa menerima kalau saat ini pemerintah mengurangi subsidi BBM secara besar-besaran dan menaikkan harga komoditi tersebut?
Jawaban yang hampir pasti adalah bahwa rakyat banyak akan menolak kebijakan tersebut. Rakyat memang “bisa memahami” kalau subsidi BBM yang demikian besar itu menjadi beban anggaran Pemerintah  (Pusat). Tetapi “memahami” bukan berarti bisa menerima dengan ikhlas manakala pencabutan tersebut ternyatamemberikan beban lebih berat pada kehidupan sehari-hari rakyat banyak. Dari pada beban rakyat bertambah berat, lebih baik dibiarkan pemerintah menanggung bebannya. Karena itu, suara yang bergaung saat ini adalah menolak kenaikan harga tersebut.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan suara masyarakat menentang kenaikan harga BBM tersebut, antara lain adalah:
Masyarakat melihat terus ketidakadilan yang sangat “telanjang” dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah berulang kali meninjukkan bahwa anggaran pemerintah dalam keadaan sangat sulit untuk membiayai berbagai pengeluaranya. Namun dalam keseharian rakyat melihat pejabat negara tidak mencerminkan keadan negara yang sulit tersebut.  Para pejabat umumnya masih menunjukkan gaya hidup mewah, fasilitas ang berlebihan, dan penyelewengan anggaran negara masih terus berlangsung.
Walaupun pemerintah selalu menyatakan bahwa pengurangan subsidi BBM itu akan dialokaskan ke sektor publik dan diberikan pula berbagai subsidi ke rakyat miskin, namun kenyataan empirik yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM lebih dirasakan sebagai beban berat bagi masyarakat miskin tersebut.  Kompensasi tidak menyentuh semua masyarakat miskin, dan kalaupun ada jumlahnya tidak sebanding dengan kenaikan beban berat yang diterimanya.
Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama Januari 2014 mencapai volume 675,7 kiloliter (kl), terdiri atas 53 kasus. Sementara itu, kasus selama 2013 mencapai 947 dengan volume 7.235 kl.
Terbanyak di Kalimantan; Dari data yang ada kasus terbanyak dugaan penyalahgunaan penyaluran BBM bersubsidi untuk awal Januari 2014 adalah di Kalimantan. “Untuk wilayah tersebut, kasus penyalahgunaan mencapai 45 persen. Kemudian berturut-turut disusul oleh Sumatera sebesar 32 persen, Bangka Belitung 16 persen, Papua 11 persen, Maluku Utara 7 persen. Sedangkan yang terendah ada di Pulau Jawa dan Bali, yang hanya sebesar 1 persen, serta Maluku 1,9 persen. [Majalah Hilir Migas edisi 13 tahun 2014]
Berikut ini adalah beberapa modus penyelewengan distribusi BBM bersubsidi yang ditemukan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas). Kelima modus yang diungkapkan Kepala BPH Migas Tubagus Haryono dalam rapat kerja dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, meliputi:
  1. Mengurangi takaran dengan cara mengatur meteran dispenser dengan alat khusus, mencampur sebagian BBM bersubsidi dengan BBM non-subsidi.
  2. Pembelian BBM bersubsidi oleh motor atau mobil melebihi kapasitas tanki standar, pembelian BBM yang berulang untuk kemudian ditimbun, dijual eceran, atau dijual ke industri. 
  3. Diselundupkan, menjual BBM bersubsidi di luar peruntukkannya, menjual BBM dengan menggunakan jeriken dan drum tanpa dilengkapi surat rekomendasi yang dipersyaratkan.
  4. Terjadi rush akibat adanya isu kelangkaan dan sebagainya.
  5. Terjadi pemaksaan pembeli untuk membeli BBM subsidi.

Menurut Tubagus, penyelewengan BBM bersubsidi kerap terjadi di SPBU Pasti Pas milik Pertamina. Dengan tegas dia menyatakan, apabila diketahui ada SPBU menyalurkan BBM subsidi secara illegal, pihaknya sebagai pengawas tidak akan segan-segan menjatuhkan sanksi kepada pihak yang terbukti terlibat.
"Tindak penyelewengan memang kerap dan rawan terjadi terutama untuk SPBU yang berada di dekat kawasan industri," kata dia. Atas tindakan tersebut, setidaknya negara diperhitungkan merugi sebesar Rp 20 juta per hari atau sekitar Rp 7,2 miliar per tahun hanya dari satu pom bensin.
MenaraNews melalui sebuah forum diskusi (Minggu, 23/11/2014) dengan para aktivis yang tergabung dalam Organisasi Kemahasiswaan seperti BEM dan DEMA, Organisasi Kepemudaan, LSM dan lainnya membahas lebih jauh penyelewengan BBM bersubsidi yang terjadi di Kalimantan Tengah. Dari berbagai laporan peserta diskusi menyatakan bahwa penyelewengan BBM terjadi karena aparat keamanan dianggap kurang tegas dan bahkan aparat menjadi jalan “pelicin” untuk melakukan penyelewengan, karena sebagian oknum aparat mudah dipengaruhi dengan sejumlah uang. Hal demikian juga disampaikan oleh peserta Dikusi Publik yang diadakan oleh DPD KNPI Kota Palangka Raya bekerjasama dengan LSM Empat Pilar (Kamis, 20/11/2014), yang melaporkan bahwa oknum aparat keamanan yang bertugas di SPBU justru yang menjadi jalan untuk mempermudah penyelewengan BBM bersubsidi tersebut, karena harga diri mereka telah terjualkan sejumlah uang yang diterima dari para pelangsir.
Masih banyak dan hingga sampai saat ini ditemukan para pengantri BBM di SPBU yang menggunakan dirijen dan tidak ada larangan oleh pihak SPBU, hal ini disinyalir pihak SPBU telah bekerjasama dengan pihak pengecer, atau merupakan kerabat dekat. Kadang hal ini yang menjadikan sebuah alasan “hukum” dikesampingkan, apalagi didaerah-daerah terpencil.
Aturan dari pemerintah tentang BBM bersubsidi dinilai telah sesuai, hanya saja pendistribusian dan sasarannya yang kurang tepat, hingga saat ini tidak ada ketegasan hukum tentang siapa yang sepantasnya menikmati BBM bersubsidi, pengendara sepeda motor atau pengendara mobil mewah atau mobil plat merah, yang tidak asing terlihat diantrian SPBU.

Oleh karenanya, para peserta diskusi MenaraNews sepakat jika keamanan lebih ditingkatkan oleh para aparat hukum yang bertanggung jawab, dan tentunya peran serta masyarakat juga dibutuhkan. Penyelewengan BBM Bersubsidi karena disparitas harga yang menjanjikan untuk dijadikan sebuah bisnis, tentunya hal yang sangat tepat untuk dijawab oleh masing-masing orang “BBM Bersubsidi untuk siapa? Apakah para mobil mewah layak menikmatinya?

Oleh : Debu Yandi
AKtivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kalimantan Tengah

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post