Meningkatnya
harga minyak dunia berimbas pada membengkaknya beban pemerintah untuk subsidi
Bahan Bakar Minyak(BBM). Hingga akhirnya harga BBM dinaikkan adalah sebuah
keputusan final. Makin
lebarnya disparitas harga bensin bersubsidi dan non bersubsidi inilah yang
mendorong banyak kasus penyelewengan distribusi BBM bersubsidi di lapangan.
Ditambah dengan kembali beralihnya
pemilik kendaraan bermotor dari menggunakan Pertamax ke Premium juga makin
mendorong lonjakan konsumsi BBM bersubsidi tersebut.
Rakyat pun
sadar bahwa kebijakan subsidi BBM selama ini sebenarnya bukan kebijakan populis karena yang
menikmati subsidi BBM justru mereka yang tidak miskin yang mampu memiliki
kendaraan bermotor termasuk mobil-mobil mewah, dan bahkan perusahaan-perusahaan
atau pabrik-pabrik yang banyak menggunakan BBM untuk mesin-mesin pabriknya.
Pendapatan tersebut
menunjukkan bahwa rakyat faham dan sadar bahwa subsidi tersebut tidak adil dan
menjadi beban pemerintah. Dengan pandangan tersebut apakah berarti rakyat bisa
menerima kalau saat ini pemerintah mengurangi subsidi BBM secara besar-besaran
dan menaikkan harga komoditi tersebut?
Jawaban yang
hampir pasti adalah bahwa rakyat banyak akan menolak kebijakan tersebut. Rakyat
memang “bisa memahami” kalau subsidi BBM yang demikian besar itu menjadi beban
anggaran Pemerintah (Pusat). Tetapi “memahami” bukan berarti bisa
menerima dengan ikhlas manakala pencabutan tersebut ternyatamemberikan beban
lebih berat pada kehidupan sehari-hari rakyat banyak. Dari pada beban
rakyat bertambah berat, lebih baik dibiarkan pemerintah menanggung bebannya.
Karena itu, suara yang bergaung saat ini adalah menolak kenaikan harga
tersebut.
Ada beberapa
alasan yang menyebabkan suara masyarakat menentang kenaikan harga BBM tersebut,
antara lain adalah:
Masyarakat
melihat terus ketidakadilan yang sangat “telanjang” dalam kehidupan
sehari-hari. Pemerintah berulang kali meninjukkan bahwa anggaran pemerintah
dalam keadaan sangat sulit untuk membiayai berbagai pengeluaranya. Namun dalam
keseharian rakyat melihat pejabat negara tidak mencerminkan keadan negara yang
sulit tersebut. Para pejabat umumnya masih menunjukkan gaya hidup
mewah, fasilitas ang berlebihan, dan penyelewengan anggaran negara masih terus
berlangsung.
Walaupun pemerintah
selalu menyatakan bahwa pengurangan subsidi BBM itu akan dialokaskan ke sektor
publik dan diberikan pula berbagai subsidi ke rakyat miskin, namun kenyataan
empirik yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM lebih
dirasakan sebagai beban berat bagi masyarakat miskin
tersebut. Kompensasi tidak menyentuh semua masyarakat miskin, dan
kalaupun ada jumlahnya tidak sebanding dengan kenaikan beban berat yang
diterimanya.
Badan
Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
selama Januari 2014 mencapai volume 675,7 kiloliter (kl), terdiri atas 53
kasus. Sementara itu, kasus selama 2013 mencapai 947 dengan volume 7.235 kl.
Terbanyak
di Kalimantan; Dari data yang ada kasus terbanyak
dugaan penyalahgunaan penyaluran BBM bersubsidi untuk awal Januari
2014 adalah di Kalimantan. “Untuk wilayah tersebut, kasus penyalahgunaan
mencapai 45 persen. Kemudian berturut-turut disusul oleh Sumatera sebesar 32
persen, Bangka Belitung 16 persen, Papua 11 persen, Maluku Utara 7 persen.
Sedangkan yang terendah ada di Pulau Jawa dan Bali, yang hanya sebesar 1
persen, serta Maluku 1,9 persen. [Majalah
Hilir Migas edisi 13 tahun 2014]
Berikut ini adalah beberapa modus penyelewengan distribusi
BBM bersubsidi yang ditemukan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas). Kelima
modus yang diungkapkan Kepala BPH Migas Tubagus Haryono dalam rapat kerja
dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, meliputi:
- Mengurangi takaran dengan cara mengatur meteran dispenser dengan alat khusus, mencampur sebagian BBM bersubsidi dengan BBM non-subsidi.
- Pembelian BBM bersubsidi oleh motor atau mobil melebihi kapasitas tanki standar, pembelian BBM yang berulang untuk kemudian ditimbun, dijual eceran, atau dijual ke industri.
- Diselundupkan, menjual BBM bersubsidi di luar peruntukkannya, menjual BBM dengan menggunakan jeriken dan drum tanpa dilengkapi surat rekomendasi yang dipersyaratkan.
- Terjadi rush akibat adanya isu kelangkaan dan sebagainya.
- Terjadi pemaksaan pembeli untuk membeli BBM subsidi.
Menurut Tubagus, penyelewengan BBM bersubsidi kerap terjadi
di SPBU Pasti Pas milik Pertamina. Dengan tegas dia menyatakan, apabila
diketahui ada SPBU menyalurkan BBM subsidi secara illegal, pihaknya sebagai pengawas
tidak akan segan-segan menjatuhkan sanksi kepada pihak yang terbukti terlibat.
"Tindak penyelewengan memang kerap dan rawan terjadi
terutama untuk SPBU yang berada di dekat kawasan industri," kata dia. Atas
tindakan tersebut, setidaknya negara diperhitungkan merugi sebesar Rp 20 juta
per hari atau sekitar Rp 7,2 miliar per tahun hanya dari satu pom bensin.
MenaraNews melalui sebuah forum diskusi (Minggu, 23/11/2014)
dengan para aktivis yang tergabung dalam Organisasi Kemahasiswaan seperti BEM
dan DEMA, Organisasi Kepemudaan, LSM dan lainnya membahas lebih jauh
penyelewengan BBM bersubsidi yang terjadi di Kalimantan Tengah. Dari berbagai
laporan peserta diskusi menyatakan bahwa penyelewengan BBM terjadi karena
aparat keamanan dianggap kurang tegas dan bahkan aparat menjadi jalan “pelicin”
untuk melakukan penyelewengan, karena sebagian oknum aparat mudah dipengaruhi
dengan sejumlah uang. Hal demikian juga disampaikan oleh peserta Dikusi Publik
yang diadakan oleh DPD KNPI Kota Palangka Raya bekerjasama dengan LSM Empat
Pilar (Kamis, 20/11/2014), yang melaporkan bahwa oknum aparat keamanan yang
bertugas di SPBU justru yang menjadi jalan untuk mempermudah penyelewengan BBM
bersubsidi tersebut, karena harga diri mereka telah terjualkan sejumlah uang
yang diterima dari para pelangsir.
Masih banyak dan hingga sampai saat ini ditemukan para
pengantri BBM di SPBU yang menggunakan dirijen dan tidak ada larangan oleh
pihak SPBU, hal ini disinyalir pihak SPBU telah bekerjasama dengan pihak
pengecer, atau merupakan kerabat dekat. Kadang hal ini yang menjadikan sebuah
alasan “hukum” dikesampingkan, apalagi didaerah-daerah terpencil.
Aturan dari pemerintah tentang BBM bersubsidi dinilai telah
sesuai, hanya saja pendistribusian dan sasarannya yang kurang tepat, hingga
saat ini tidak ada ketegasan hukum tentang siapa yang sepantasnya menikmati BBM
bersubsidi, pengendara sepeda motor atau pengendara mobil mewah atau mobil plat
merah, yang tidak asing terlihat diantrian SPBU.
Oleh karenanya, para peserta diskusi MenaraNews sepakat jika
keamanan lebih ditingkatkan oleh para aparat hukum yang bertanggung jawab, dan
tentunya peran serta masyarakat juga dibutuhkan. Penyelewengan BBM Bersubsidi
karena disparitas harga yang menjanjikan untuk dijadikan sebuah bisnis,
tentunya hal yang sangat tepat untuk dijawab oleh masing-masing orang “BBM
Bersubsidi untuk siapa? Apakah para mobil mewah layak menikmatinya?
Oleh : Debu Yandi
AKtivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kalimantan Tengah
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.