BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telah kita ketahui bersama bahwa sumber penetapan hukum di
masa Nabi adalah Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Dua hal tersebut merupakan rujukan
tertinggi dalam berfatwa dan memutuskan suatu hukum. Namun setelah Nabi wafat
dan Wahyu tidak turun lagi, maka kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan
agama, beralih ke tangan Khulafa al-Rasyidin dan pra sahabat yang terkemuka.
Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit dengan tugas yang berat.
Selanjutnya para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat
di Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, ketentaraan, perkawinan, pajak,
cara menetapkan hukum di pengadilan, dan lain-lain.
Dalam menjawab hukum persoalan yang baru, maka para sahabat
terlebih dahulu merujuk ke Al-Qur'an, bila tidak ada disana, mereka berpindah
ke Al-hadits dan setelah tidak ada al-hadits, maka para sahabat tersebut baru
Berijtihad.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
penetapan hukum pada masa Nabi?
2. Apa yang menjadi asas atau dasar tasyri’
dalam Al Qur’an?
3. Bagaimanakah penetapan hukum pada masa sahabat
generasi pertama?
4. Apa yang menjadi sumber hukum pada masa
sahabat generasi pertama?
C. Batasan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini tidak
terlepas dari judul atau rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Legislasi Al Qur’an : Proses Awal Pembentukan Hukum Islam
Khudri Bek, dalam tarikh Tasyri’ al-Islam
membagi sejarah pembentukan hukum Islam kepada enam periode yaitu :
1.
Pembentukan Hukum Islam pada masa hidupnya Nabi Muhammad
SAW
2.
Pembentukan Hukum Islam pada masa sahabat besar. Masa ini
berakhir dengan berakhirnya Khulafaur Rasyidin.
3.
Pembentukan hukum pada masa sahabat dan tabi’in yang
sejajar dengan mereka kebaikkannya. Masa ini berakhir dengan berakhirnya abad
pertama hijriyah atau sedikit sesudah itu.
4.
Pembentukan hukum pada masa fikih sudah menjadi cabang
ilmu pengetahuan. Periode ini berakhir dengan berakhirnya abad ketiga hijriyah.
5.
Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah
dimasukkan masalah-masalah yang berasal dari para imam, dan munculnya
karangan-karangan besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulat Abbasiyah
di Baghdad.
6.
Pembentukan hukum pada masa taklid semata-mata.
Masanya sesudah periode kelima sampai sekarang.[1]
Berdasarkan periode-periode di atas maka dapat
dipahami bahwasanya periode awal pembentukan Hukum Islam, harus melihat
kebenaran tasyri’ pada masa Rasul SAW., masih hidup dan kedudukan Al
Qur’an pada masa itu.
a.
Pengertian
Sebelum sampai kepada pembahasan ada baiknya
terlebih dahulu kita pahami beberapa istilah berikut secara singkat :
1) Legislasi
Dalam Faruqi’s Law Dictionary, kata legislasi
dimaknakan dengan “yasyra’u” yakni mengundangkan disebut juga dengan qanunan,
taqninan atau tasyi’an.[2]
Istilah ini dalam Kamus Edisi Lengkap: Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris,
sering disebut dengan “wet geving” yaitu perundang-undangan.[3]
Berdasarkan pengertian itu maka Legislasi Al Qur’an dapat
di artikan pemandangan Al Qur’an dalam proses awal pembentukan Hukum Islam.
2) Hukum Islam
Istilah Hukum Islam sering dipahami oleh orang Barat sebagai
terjemahan dari “Islamic Law” yang menyamakan dengan istilah syari’at,
tasyri’ dan fiqh.
1.
Syari’at : kata syari’at dalam bahasa Arab berarti tempat
air minum yang selalu menjadi tempat, baik tujuan manusia maupun binatang.
Syari’at dalam pengertian ini kemudian berubah menjadi sumber air dalam
arti sumber kehidupan yang dapat menjamin kebutuhan manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Oleh karena itu syari’at dalam arti hukum Islam berarti
hukum-hukum dan tat aturan yang disampaikan allah set., kepada hamba-hamba-Nya.
Syari’at berarti sumber hukum Islam yang tidak berubah sepanjang masa.[4]
2.
Tasyri’ : dalam bahasa Arab dijumpai kata syara’a yang
berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama. Dengan
demikian kata tasyri’ berarti pembuatan jalan raya. Dari pengertian tasyri’
seperti ini kemudian digunakan kalangan para ahli hukum Islam dalam arti
pembentuka garis-garis besar hukum Islam, pembentukan teori-teori hukum Islam.
Oleh karena itu tasyri’ berarti pembentukan hukum islam secara
sistematis, pembetukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. Tasyri’
terbagi dua yaitu tasyri’ samawy dan tasyri’ wad’id.[5]
3.
Fiqh: dalam bahasa Arab berarti pengertian atau pengetahuan. Fiqh
pada awalnya mencakup hukum-hukum agama secara keseluruhan, namun bersamaan
dengan perkembangan Islam, kata inipun berkembang hingga digunakan untuk
nama-nama sekelompok hukum-hukum yang bersifat praktis. Dalam
perundang-undangan Islam dan sisitem hukum Islam, fiqh didefinisikan
sebagai berikut: Hukum-hukum yang dibentuk berdaar syari’at yaitu
hukum-hukum yang penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman
atau pengetahuan dan ijtihad. Dengan demikian makna fiqh telah menjadi suatu
nama ilmu yang mempunyai makna tertentu atau istilah khusus dikalangkan
ahli-ahli hukum islam.[6]
b.
Tasyri’ Pada Masa Rasulullah
Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul
yang diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah
berhala, sistem masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah sangat
berhati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami cukup banyak hambatan dan
halangan yang dilakukan oleh suku Quraisy pada saat itu. Menurut Ahmad Syalabi,
ada lima faktor yang menyebabkan orang Quraisy termotivasi untuk menentang
seruan Islam tersebut:
1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian
dan kekuasaan.
2. Nabi Muhammad SAW., mendakwahkan persamaan hak
antara bangsawan dan hamba sahaya.
3. Para pemimpin quraisy tidak dapat menerima
ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang yang sudah berakar
pada bangsa Arab.
5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam
sebagai penghalang rezqi.[7]
Inilah yang mengakibatkan dalam penetapan
peraturan-peraturan maupun Syari’at Islam diperlukan adanya suatu proses
bertahap.
Tahap awal dari orientasi islam adalah
memenuhi aqidah yang merupakan landasan utama yang akan menjadi dasar bagi
semua aspek kehidupan masyarakatnya. Disamping itu, penghapusan sedikit demi
sedikit moral bejat mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah
mendarah daging di kalagan mereka. Ini merupakan awal pembentukan hukum Islam yang
menggunakan Al Qur’an sebagai sumber atau dasarnya.
Al Qur’an diturunkan menjadi petunjuk dan
pedoman hidup manusia. Ayat demi ayat yang diterima oleh Rasulullah saw.,
diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan oleh
kaum muslimin. Pada masa kenabian, terdapat dua periode pembinaan hukum Islam,
yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah sebagai periode
penanaman aqidah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang kepercayaan kepada Allah SWT.,
kepada hari akhir, kepada malaikat, kepada rasul, dan kepada qada dan qadar
dari Allah. Sementara itu akhlak berbicara tentang larangan membunuh, larangan
mengurangi timbangan dan menjauhi perilaku tercela. Kedua hal inilah yang
diutamakan Nabi dalam dakwahnya.
Hijrah Nabi SAW., ke Madinah merupakan periode
yang kedua dalam pembinaan hukum Islam. Periode Madinah dikenal sebagai periode
penataan dan pemapanan masyarakat. Oleh karena itu di periode Madinah inilah
ayat-ayat yang memuat hukum-hukum mulai diturunkan baik yang bersifat ritual
maupun sosial. Adapun faktor yang menyebabkan proyek hukum, banyak dibicarakan
dalam periode Madinah yaitu karena dalam periode ini orang Islam sudah memiliki
dasar akhlak dan aqidah yang kuat sebagai landasan terhadap aspek-aspek
lainnya.
Ayat-ayat pembinaan hukum tersebut merupakan
jawaban peristiwa-peristiwa dalam masyarakat Islam. Peristiwa-peristiwa itu
dikenal dalam Asbabun Nuzul, kadang-kadang ayat-ayat itu juga sebagai
jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan oleh sebagian orang mukmin. Adapun
contoh dari ayat-ayat hukum yang turun pada periode Madinah seperti :
1.
Peristiwa Martsad Ganawi. Martsad Ganawi adalah utusan Rasulullah
sawdari madinah ke makkah. Setibanya dia di kota tersebut ia dilamar oleh
seorang wanita musyrik yang kaya dan cantik, namun Martsad Ganawi tidak segera
memberikan putusan karena wanita tersebut belum masuk Islam. Selanjutnya dia
melaporkan hal tersebut kepada Nabi dan turunlah hukum tentang perkawinan antar
agama yang melarang perkawinan dengan wanita musyrik begitu juga sebaliknya
perempuan beriman yang dinikahi oleh laki-laki musyrik.[8]
2.
Peristiwa janda sa’ad bin rahi’. Janda ini mempunyai dua orang anak perempuan
dan mempunyai warisan dari suaminya. Menurut kebiasaan orang-orang Arab, mereka
tidaklah mendapat apa-apa dari warisan tersebut dan beralih kepada saudara
laki-laki dari Sa’ad. Maka hal ini diadukan janda sa’ad kepada Nabi saw., dan
kemudian turunlah ayat tentang hukum warisan.[9]
3.
Turunya ayat Al Qur’an tentang hukum larangan berperang
pada bulan-bulan dan tempat-tempat yang diharamkan oleh Allah SWT., untuk
berperang.[10]
Adapun metode yang diterapkan pada masa
pertembuhan dari pembinaan hukum pada periode Rasulullah saw., adalah:
1.
Perubahan yang ditetapkan dilakukan secara revolusi
ataupun bertahap (tadwin) terhadap adat istiadat yang telah berurat
berakar dalam masyarakat. Salah satu contoh dari hal ini adalah tentang
permasalahan minuman khamar dan judi. Pada tahap pertama menjelaskan tentang
kerugian (mafsadat) yang lebih besar dari pada keuntungannya. Pada tahap
berikutnya tidak boleh mendekati shalat ketika dalam keadaan mabuk dan pada
akhirnya dinyatakan sebagai perbuatan syaitan dan mesti menjauhi. Kemudian
penjelasan hukum yang diberikan oleh Nabi SAW., lebih banyak dalam bentuk
pertanyaan yang diajukan dan memerlukan jawaban.
2.
Bersifat tegas dalam bidang-bidang tertentu terutama
dalam ibadah maupun aqidah.
3.
Metode yang diterapkan dalm penetapan hukum tidak
berpandangan picik (berwawasan luas).
4.
Penyederhanaan aturan-aturan atau untuk keringanan beban
manusia. Inilah metode yang diterapkan Rasulullah saw., dan juga bersandarkan
tuntunan Allah SWT., dalam menerapkan ataupun membina hukum islam pada masa Nabi
saw., umatnya.
2.
Asas Tasyri’ dalam Al Qur’an.
¢OèO
y7»oYù=yèy_
4n?tã
7pyèΰ
z`ÏiB
ÌøBF{$#
$yg÷èÎ7¨?$$sù
wur
ôìÎ7®Ks?
uä!#uq÷dr&
tûïÏ%©!$#
w
tbqßJn=ôèt
Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada
di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Ayat inilah
yang menjadi asas atau dasar Tasyri’ dalam Al Qur’an, yang kemudian berkembang kedalam Hukum Islam lainnya.[11]
3.
Penetapan dan Sumber Hukum Pada Masa Sahabat
a.
Penetapan
Hukum Pada Masa Sahabat
Perkembangan Tasyri’
pada masa sahabat dimulai sejak wafatnya Rasulullah saw yaitu tahun 11 H (632
M) dan berakhir pada akhir abad 1 H. Pada periode ini disebut periode sahabat
sebab kekuasaan perundang-undangan dimotori oleh para tokoh sahabat. Diantara ada sahabat yang hidup
sampai akhir abad 1 H seperti Anas bin Malik yang wafat pada tahun 93 H (714
M).
Periode ini adalah periode interpretasi terhadap
Undang-undang (tasyri’) dan terbukanya pintu-pintu pengakajian
hukum-hukum terhadap peristiwa yang ada ketetapan hukumnya secara jelas. Dan
tokoh-tokoh sahabat memunculkan banyak persepsi dalam menginterpretasi
teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah yang merupakan bahan referensi
pandangan yuridis bagi penafsiran. Dari para sahabat inilah timbul fatwa-fatwa
hukum dalam berbagai problema yang tidak ada ketetapan nasnya secara jelas yang
kemudian dianggap sebagai dasar dalam berijtihad dalam mengistimbatkan suatu
hukum.[12]
b.
Pemegang
Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Sahabat
Pada periode Tasyri’ yang pertama (Rasulullah saw)
yang telah mewariskan kepada umat Islam suatu undang-undang yang produknya dari
teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah. Tetapi, tidak setiap muslim secara
individu mampu merujukkan seluruh persoalannya kepada materi undang-undang
pokok tersebut bahkan tidak sanggup memahami hukum-hukum yang ditunjuki nas-nas
disebabkan oleh 3 faktor:
1. Kebanyakan umat Islam adalah orang
awam yang belum mampu memahami nas-nas tersebut kecuali dengan bantuan
orang-orang yang mengajarkan kepadanya.
2. Materi undang-undang tersebut belum
tersebar luas dikalangan umat Islam sehingga setiap individu belum dapat
mempelajarinya, sebab teks Al-Qur'an pada awal periode ini baru dihimpun dalam
lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah kediaman Rasulullah saw dan di
rumah sebagian sahabat-sahabatnya, dan sunnah pun belum dikodifikasikan sama
sekali.
3. Materi undang-undang hanya
mensyariatkan hukum-hukum tentang berbagai peristiwa dan urusan-urusan
peradilan yang terjadi itu dan belum mensyariatkan hukum-hukum tentang
peristiwa yang belum dan yang mungkin akan terjadi. Sementara umat Islam terus
menerus akan dihadapkan oleh sejumlah kebutuhan hukum tentang kejadian baru
serta urusan peradilan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi saw, dan
ketetapan hukumnya pun belum ada dirumuskan dalam nas-nas.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka para ulama dari
kalangan sahabat dan tokoh-tokoh nya berkewajiban menegakkan Tasyri’
itu. Kewajiban tersebut berupa:
1)
Menjelaskan
kepada umat Islam tentang persoalan-persoalan yang membutuhkan penjelasan dan
interpretasi dari teks-teks hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah.
2)
Menyebarluaskan di kalangan umat Islam tentang hal-hal yang
mereka hafal dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah saw.
Menfatwakan kepada masyarakat tentang peristiwa-peristiwa
hukum dan urusan-urusan peradilan yang belum ada ketetapan hukumnya.[13]
c.
Sumber
Hukum Pada Masa Sahabat
Adapun sumber hukum dalam penetapan hukum pada periode
sahabat ini ada 3 (tiga) yaitu sebagai berikut:
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
3. Ijtihad Sahabat
Apabila terjadi suatu peristiwa baru atau persengketaan,
maka para ahli Fatwa mencari ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an. Apabila mereka
mendapatkan ketetapan hukumnya di dalam nas Al-Qur'an itu, mereka menerapkan
hukum tersebut. Akan tetapi, apabila mereka tidak mendapatkan ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur'an, maka mereka mencari keterangan dalam sunnah. Dan
kalau keterangan tentang ketetapan hukumnya itu terdapat dalam sunnah, maka
mereka melaksanakan hukum tersebut.
Selanjutnya apabila mereka dalam menetapkan hukum tidak
mendapatkan keterangan baik dalam Al-Qur'an ataupun dalam sunnah, maka mereka
menempuh langkah dengan Ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan cara
menganalogikan (mengqiyaskan) terhadap peristiwa yang baru itu dengan peristiwa
yang sudah ada ketetapan hukumnya atau dengan sesuatu yang dikehendaki oleh
jiwa dan semangat tasyri’ Islam serta berdasar atas pertimbangan kemaslahatan
umat manusia.
Adapun dasar argumentasi yang menjadikan ijtihad sahabat merupakan
bagian dari sumber hukum adalah:
1. Mereka ikut menyaksikan tindakan dan
sikap Rasulullah saw. Ketika menggunakan kekuatan ijtihadnya disaat Wahyu tidak
turun kepadanya pada saat ada problematika yang muncul di kalangan umat Islam.
2. Bahwa mereka memahami berdasarkan
adanya penyebutan illat pada sebagian ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an dan
sunnah sehingga dengan konteks demikian, mereka memahami bahwa tujuan penetapan
hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah adalah untuk kemaslahatan umat.
d.
Berbagai
Keputusan Hukum Periode Sahabat
a) Memerangi orang yang tidak mau
membayar zakat pada masa Abu Bakar yang merupakan khalifah pertama.
b) Pembagian Harta rampasan perang yang
terjadi pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
c) Satu orang dibunuh beberapa orang,
yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
d) Hukuman diyat karena pengampunan
salah seorang wali, juga yang terjadi pada masa Umar bin Khattab.
e) Pernikahan seorang wanita yang
sedang dalam Iddah.
f) Bagian zakat orang muallaf.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sumber hukum
Islam pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi itu sendiri. Yang menjadi
sumber dalam penetapan hukum oleh umat pada saat itu, baik dari ayat-ayat Al
Qur’an yang di turunkan Allah SWT maupun dengan pertanyaan yang di ajukan oleh
umat kepada Nabi kemudian di jawab oleh Nabi dengan berdasar sumber utama.
Namun pada
perkembangannya setelah Nabi wafat, hukum Islam berkembang. Perkembangan ini
terjadi karena keadaan yang semakin berbeda apalagi pasca wafatnya Nabi, para
sahabat mendapatkan kesulitan dalam hal penetapan hukum dan tidak ada lagi Nabi
untuk mereka menanyakan tentang hal permasalahan tersebut, oleh karena inilah
maka sumber hukum Islam yang awalnya hanya Al Qur’an dan Sunah,
berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunah dan Ijtihad.
B.
Saran
Tulisan ini kami serahkan
kepada pembaca untuk dipelajari dan kami mengharapkan suara-suara yang
berfaedah untuk memperbaiki segala sesuatu yang dirasa perlu. Kami tidak lupa
mengucapkan terimakasih kepada siapa saja yang menambah pengertian kami
mengenai Tarikh Tasyri’ yang lebih khusus pada bagian pembahasan Penetapan
Hukum pada Masa Nabi, asas Tasyri’ dalam Al Qur’an, Penetapan dan Sumber Hukum
pada Masa sahabat periode pertama yang kami singgung dalam penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
-Muhammad Ali As-Soayis, Sekh, Pertumbuhan
dan perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
-Abdul Wahab Khallaf, Sejarah
Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
-As-Sayis,
Syekh Muhammad Ali, Tarikh al-Fiqh al-Islam (Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam), Jakarta: Akademika Pressindo, 1996
-Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983).
-Sumber Internet
[1] Khudri Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islam, alih
bahasa Mhd. Zuhri, (Indonesia: darul Ikhya, t.t), h.4.
[2] Harith Suleiman faruqi, Faruqi’s Law
Dictionary English-Arabic, ed.IV, (Beirut: Librarie Duliban, 1991), h.415.
[3] Yan Paramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi
Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, (Jakarta: Aneka Semarang,
1977), h.916.
[4] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung:
Unisba, 1995), h.10.
[6] Fazlur Rahman, Islam, ed.II, (Chicago-Lpndon:
Chicago University Press, 1979), h.100.
[7] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, (Jakrata: Pustaka Al-Husna, 1983), h.87-90.
[8] Q.S Al Baqarah/2:221
[9] Q.S An-Nisa/4:11-12
[10] Q.S Al Baqarah/2:217
[11] Zakaria Al-Bisri, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah,
(Kairo: dar Al_Ittihad Al-Arabi Littiba’ah, 1975), h.16.
[12] Khalaf, 2002: h.44.
[13] Khallaf, 2002; h.44-45
[14] Zuhri; 1996, h.34-44
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.