
Mukadimah |
Pembicaraan tentang sifat Allah adalah
pembicaraan yang penting, meskipun agak sedikit pelik. Dan kalau kita
memperhatikan berbagai penyimpangan akidah, ternyata kebanyakan disebabkan
karena salah persepsi tentang Allah, baik berkenaan dengan Dzat atau Sifat-Nya,
atau yang berkisar seputar tauhid asma' dan sifat. Penyebab pokok yang
mempengaruhi kesalahan dalam hal ini adalah karena Allah subhanahu wata’ala
bersifat ghaib, sementara akal manusia sangat terbatas untuk memahami perkara
ghaibiyah. Selain itu, nash yang menjelaskan tentang sifat Allah adalah
menggunakan Bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur'an.
Dua penyebab
inilah yang membuat manusia terjerumus dalam kesalahan pemahaman terhadap asma'
dan sifat Allah. Di antara mereka ada yang menolak semua atau sebagian sifat
Allah karena dirasa kurang pas atau tidak cocok dengan akal. Sebagian yang lain
ada yang menetapkan secara ekstrim, bahwa sifat Allah adalah sebagaimana yang
ada di dunia dan yang berlaku bagi makhluk. Padahal sebenarnya seorang mukmin
hanya diperintahkan untuk mengimani Allah subhanahu wata’ala sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya,
yakni sekedar ikut penjelasan yang ada dalam wahyu tanpa harus mengotak-atik
atau melebihi keterangan yang ada. Namun karena dorongan hawa nafsu dan bisikan
syetan, maka akal yang seharusnya tunduk kepada wahyu, ternyata ingin tahu lebih
mendalam lagi, ingin memasuki daerah yang bukan merupakan wilayah kerjanya,
sehingga justru malah salah dan terjerumus dalam kesesatan.
Metode dalam Memahami Asma’ dan Sifat Allah |
Manhaj Ahlus Sunnah bersikap pertengahan dalam
masalah asma' dan sifat Allah, tidak menolak dan tidak menetapkan dengan
berlebihan hingga tingkat menyerupakan. Ahlus Sunnah menetapkan setiap sifat
yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya dengan
tanpa tahrif (mengubah), ta'thil (meniadakan), takyif (menanyakan bagaimana) dan
tamtsil (menyerupakan). (lihat Kitab Tauhid Jilid I Ali, Syaikh al-Fauzan)
Maka ketika kita menetapkan sifat Allah subhanahu wata’ala hendaknya
dengan metode atau manhaj di atas, termasuk dalam menetapkan sifat kalam atau
berbicara. Dalam arti kita mengimani bahwa Allah subhanahu wata’ala memiliki
sifat kalam, sebagaimana adanya yang dikabarkan oleh Allah tanpa ada pengubahan
makna, tanpa penolakan, tanpa membagaimanakan dan tanpa menyerupakan perkataan
Allah dengan perkataan siapa pun.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani
bahwa Allah subhanahu wata’ala mempunyai sifat kalam, sebagaimana Allah sendiri
telah menjelaskan sifat itu di dalam al-Qur'an. Sifat kalam atau berfirman bagi
Allah subhanahu wata’ala adalah sesuatu yang niscaya dan dapat diterima oleh
akal dan fitrah. Secara logika, akal tidak mungkin menolak hal itu, sebab ketika
kita menolak sifat kalam berarti secara otomatis menetapkan sifat kebalikannya
yaitu bisu, dan hal tersebut sangat tidak mungkin bagi Allah subhanahu wata’ala
yang Maha Sempurna dan Maha Tinggi dari sifat tercela.
Sebagian manusia
yang tidak yakin atau meragukan sifat kalam bagi Allah subhanahu wata’ala karena
terjebak dalam alur pemikiran yang salah. Mereka mengira bahwa jika Allah
memiliki sifat berbicara, maka itu berarti sama dengan makhluk-Nya atau sama
dengan manusia yang berbicara. Yang pada akhirnya akan membawa mereka kepada
tamtsil dan tasybih (penyerupaan), yakni bahwa berbicara itu harus dengan alat
pembicaraan berupa mulut sebagaimana makhluk. Maka karena hal ini tidak mungkin
akhirnya sifat kalam yang telah Allah tetapkan mereka tolak dengan alasan bahwa
jika sifat kalam ada maka berarti Allah sama dengan makhluk, padahal Allah
subhanahu wata’ala adalah Khalik bukan makhluk.
Lalu, bagaimana cara
menetapkan sifat-sifat Allah yang benar, termasuk sifat kalam ini? Jawabannya
adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11)
Allah subhanahu
wata’ala telah menafikan atau menolak bahwa ada yang serupa dengan diri-Nya, dan
sekaligus Dia menetapkan bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Inilah resep
dalam memahami sifat Allah, yakni menetapkan dengan tanpa menyerupakan,
sebagaimana Allah subhanahu wata’ala telah menetapkan dan sebagaimana pula Dia
menolak adanya penyerupaan dengan yang lain.
Ada prinsip pokok dalam
memahami sifat Allah, al qaulu fi ba’dhis sifat kal qauli fil ba’dh,
bahwa pembicaraan tentang salah satu sifat adalah sama dengan pembicaraan sifat
yang lainnya, (dapat dirujuk di Risalah at-Tadmuriyah Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah). Jika dalam surat asy-Syura ayat 11 Allah subhanahu wata’ala menolak
penyerupaan dengan yang lain dan menetapkan sifat mendengar dan melihat, maka
sifat-sifat lain yang telah Allah tetapkan dalam al-Qur'an juga berlaku
demikian. Dan salah satu sifat yang telah Allah tetapkan adalah kalam atau
berbicara.
Nabi Musa ’alaihissalam Kalimullah |
Setelah mengetahui bagaimana cara kita
mengimani dan menetapkan sifat Allah, maka tidak perlu lagi ada keraguan bagi
kita untuk mengatakan bahwa Allah subhanahu wata’ala telah berbicara dengan Nabi
Musa ’alaihissalam. Kaum muslimin telah sepakat sejak dahulu bahwa Nabi Musa
’alaihissalam mendapatkan gelar Kalimullah, yakni Nabi yang diajak berbicara
secara langsung oleh Allah subhanahu wata’ala. Dan dalil yang menunjukkan hal
itu amatlah banyak, yaitu:
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada 'Isa putera Maryam beberapa mu'jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus.”“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. 4:164)“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu menyeru Musa (dengan firman-Nya), "Datangilah kaum yang zalim itu.” (QS. 26:10)“Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa, Tatkala Rabbnya memanggilnya di lembah suci ialah lembah Thuwa; Pergilah kamu kepada Fir'aun, susungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun), "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)" (QS. 79:15-18)“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al-Kitab (al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi. Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” (QS. 19:51-52)
Ayat-ayat di atas
menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa Allah subhanahu wata’ala telah
berbicara secara langsung kepada Nabi Musa ’alaihissalam. Sehingga merupakan
keharusan bagi seorang mukmin untuk mengimani bahwa Allah mempunyai sifat kalam
atau berbicara. Adapun tentang bagaimana Allah berbicara maka hal itu tidak
boleh dipertanyakan dan tidak ada yang mengetahui karena Allah dan Rasul Nya
tidak menjelaskan tentang hal itu. Yang jelas dan pasti tidak sama dengan
pembicaraan makhluk-Nya.
Kalau Imam Malik mengatakan tentang Istiwa’
bahwa ia adalah maklum, sedang bagaimananya tidak diketahui, mengimaninya wajib
dan bertanya tentangnya adalah bid’ah maka dalam sifat kalam juga berlaku
seperti ini, sesuai kaidah di atas.
Jawaban Untuk Ahli Tahrif |
Sebagian orang yang menolak sifat kalam bagi
Allah subhanahu wata’ala melakukan tahrif (penyelewengan atau pengubahan)
terhadap nash-nash al-Qur'an. Mereka mengatakan bahwa yang berbicara itu bukan
Allah tetapi Nabi Musa, sehingga ayat yang berbunyi, "wa kallamallahu Musa
taklima" mereka ubah menjadi, "wa kallamallaha Musa taklima," yaitu dengan
mengganti harakat dhammah “(hu)” menjadi harakat fathah “(ha)”. Bedanya adalah
jika dengan lafal kallamallahu, Allah subhanahu wata’ala sebagai Subyek atau
pelaku (fa'il) sedangkan jika dirubah menjadi kallamallaha Allah subhanahu
wata’ala menjadi obyek (maf'ul) dan pelakunya adalah Nabi Musa ’alaihissalam.
Pengubahan lafal seperti ini adalah meniru kaum yahudi yang disifati
oleh Allah dengan "yuharrifunal kalima 'an maudli'ihi (menyelewengkan dari
teks aslinya) sehingga mengubah makna dan maksud ayat. Hal ini berbeda
dengan variasi bacaan al-Qur'an yang kita kenal dengan al-qir'ah al-sab'ah, yang
hanya berbeda dalam lafal namun tidak berubah maknanya.
Tahrif terhadap
ayat-ayat al-Qur'an sangatlah berbahaya, karena merupa kan bentuk pengingkaran
terhadap ayat. Demikian juga mengubah bunyi ayat sebagaimana contoh di atas juga
merupakan bentuk kelancangan dan perkataan atas nama Allah dengan tanpa ilmu.
Bagaimana tidak? Allah subhanahu wata’ala telah menyatakan bahwasanya Dia telah
berbicara, sementara orang ini menolak bahwa Allah itu berbicara.
“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu menyeru Musa (dengan firman-Nya), "Datangilah kaum yang zalim itu.” (QS. 26:10)
Dan ayat, artinya,
“Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa, Tatkala Rabbnya memanggilnya di lembah suci ialah lembah Thuwa; Pergilah kamu kepada Fir'aun, susungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun), "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)" (QS. 79:15-18)
Ayat di atas tidak
mungkin dipahami bahwa yang berbicara adalah Nabi Musa ’alaihissalam, sebab jika
dipahami bahwa yang menyeru atau berbicara adalah Nabi Musa bukan Allah
subhanahu wata’ala, maka berarti Nabi Musa menyuruh Allah untuk mendatangi kaum
yang Zhalim yaitu Fir'aun.
Selain itu, jika dipahami bahwa yang
berbicara adalah Nabi Musa ’alaihissalam maka tidak ada yang istimewa dari ayat
ini, karena seluruh nabi dan bahkan seluruh kaum muslimin berdoa, berbicara,
menyeru dan bermunajat kepada Allah.
Padahal pembicaraan Allah terhadap
Nabi Musa secara langsung merupakan salah satu yang menunjukkan keutamaan dan
kelebihan Nabi Musa ’alaihissalam, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-
Baqarah 253. Bahwa di antara para rasul ada yang dilebihkan oleh Allah , minhum
man kallamallahu, di antara mereka ada yang diajak berbicara oleh Allah
subhanahu wata’ala, yakni Nabi Musa ’alaihissalam.
Assalamualaikum wr.wb,
ReplyDeleteBukan hanya nabi musa a.s saja yg diajak berbicara oleh Allah,umat Muhammad pun dpt juga.
seperti sabda rasulAllah bahwa ummatku akan di ajak berbicara oleh Allah.
wassalamualaikum wr.wb,
sayyid
Wa'alaikumsalam saudara ku... terima kasih.
DeletePost a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.