Oleh
Andriani S.
Kusni
Dalam
bedah buku “Budaya Dayak: Permasalahan Dan Alternatifnya” pada 14 Oktober 2011 di Betang Eka
Tingang Bganderang,Palangka Raya, ada yang berang karena merasa dilecehkan oleh
Kusni Sulang yang mengatakan bahwa ‘filosofi budaya betang’ adalah sebuah istilah salah kaprah’.
‘Bétang’’, menurut Kusni Sulang, tidak mempunyai filosofi sebagaimana halnya
dengan ‘tongkonan’ di Toraja. Karena itu tidak ada yang disebut ‘filosofi huma betang’.
Mengenai
hal ini, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008
Tentang Kelembagaan Adat
Dayak Di Kalimantan Tengah (selanjutnya disingkat Perda No.16/2008)
menggunakan istilah ‘’falsafah hidup “Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat”.
(hlm. 49).
Yang
dimaksudkan oleh Perda No.16/2008 ‘’falsafah hidup “Budaya Huma
Betang atau Belom Bahadat” “adalah .perilaku hidup yang
menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat
pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam” (Perda No. 16/2008:
49). “Apabila telah mampu melaksanakan perilaku hidup “Belom
Bahadat”, maka akan teraktualisasi dalam wujud Belom Penyang
Hinje Simpei” yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk
kesejahteraan bersama” ( Perda No.16/2008:49).
“Perilaku”
berlangsung menurut kaidah, norma dan pedoman”. Seperti dikatakan oleh
J.W.M.Bakker,S.J. kaidah, norma dan pedoman atau kriterium ini diperlukan untuk
membimbing jalan kebudayaan ke arah perkembangan wajar, untuk menentukan mana
yang kebudayaan otentik, mana tidak, serta prinsip mana yang harus
direalisasi gar tujuan kebudayaan tercapai” (1984:12). Hal menetapkan
asas tujuan mahluk-mahluk insani dan menertibkannya dalam keseluruhan adalah
tugas filsafat. Filsafat kebudayaan mendekati hakekat sebagai sifat esensi
manusia yang untuk sebagian mengatasi ruang dan waktu empiris, dimensi sejarah
dan setempat. Dalam kata-kata J.V. Schall,
S.J: “Philosophy has some
very valuable, indeed essential contribution to make before there can be any adequate knowledge of what
s meant by culture” (Philosophical Aspects of Culture, New School, 1957: 211,
dikutip dari J.W.M.Bakker , S.J, 1984:12).
Artinya
filosofi kebudayaan menyangkut masalah nilai hakiki. Nilai hakiki inilah
yang merupakan sari kebudyaan yang membimbing “menetapkan asas tujuan mahluk-mahluk
insani dan menertibkannya dalam keseluruhan “, termasuk di dalamnya perilaku
manusia. Perilaku hanyalah salah satu pernyataan keluar dari nilai hakiki
atau pandangan filosofi. Perilaku bukalah hakekat itu sendiri;
Sehingga yang disebut “filosofi hidup huma betang atau belom bahadat”
oleh Perda No.16/2008 adalah salah satu wajah luar atau permukaan dari
filosofi, bukan filosofi itu sendiri. Wajah luar daeri yang disebut “Falsafah
Hidu Huma Betang” atau Belom Bahadat” atau yang sering juga disebut sebagai “Falsafah
Huma Betang” adalah “adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi
kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum
negara, hukum adat dan hukum alam”.
Keberadaan
hanya di permukaan yang tidak menjadi hakekat yang disebut “Filosofi
Budaya Huma Betang” ini akan lebih terlihat lagi jika dilihat
dengan menggunakan pandangan antropolog suami-istri Clyde Kluckhohn dan
Florence Kluckhohn dalam buku Variation in Value Orientation (1961). Menurut
kerangka pndangan suami-istri Kluckhohn , semua sistem nilai budaya di dunia
ini secara hakiki menyangkut lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima
masalah pokok atau hakiki itu adalah:
(1).
Masalah mengenai hakekat dari hidup mausia.
(2).
Masalah mengenai hakekat karya manusia.
(3).
Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu.
(4).
Masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitar.
(5).
Masalah mengeni hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (dari:
Koentjaraningrat 2004: 27-28).
Dilihat
dari sudut pandang suami-istri Kluckhohn, yang disebut “falsafah hidup budaya
betang” yang dirumuskan sebagai “adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi
kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum
negara, hukum adat dan hukum alam” , sama sekali tidak mencakup kelima
masalah hakiki tersebut. Perumusan ini sangt jauh dari yang disebut
“filosofis”. Karena perumusan demikian hanya berada di permukaan, maka ia tidak
mampu menjawab pertnyaan mendasar mengapa harus berperilaku demikian? Sehingga
bukan tidak mungkin permusuan yg disebut ‘’filosofis’’ demikian
bisa berbalik menjadi seperti “keris makan tuan” , bagi Orang Dayak sendiri.
Saya khawatir denga perulusan demikian, neo-fedalisme menjadi subur sebgai
menuntut kepatuhan membuta. Di pihak lain bisa digunakan sebagai alat agresi
budaya oleh penganut “besar-isme”. Dan terhadap agresi “besar-isme” ini, semua
orang diminta menerimanya karena harus “toleran”, harus “taat pada hukum”.
Sedangkan kenyataan menunjukkan, lebih-lebih sekarang,tidak dengan sendirinya
hukum itu mencerminkan dan apalagi identik dengan keadilan (lihat: Carl Joachim
Friederich, 1969). Perumusan “falsafah hidup budaya betang” yang demikian
juga berkibat menghambat perkembang budaya kritis. Kritik bisa dipandang
sebagai tidak “taat” pada hukum. Sehingga manusia digiring untuk menjadi alat
jinak (docile
tool) pihak yang berdominasi. Dalam cara kerja ia mencerminkan diri
pada model “top-down”,
buka “bottom
up”, Maka demokrasi pun terdesak ke pojok. Padahal kalau memang
yang disebut “budaya huma betang” itu suatu flsafah, filsafat itu meurut
Dr. Stephen Palmquis adalah suatu “dialog rasional” (Dr. Stephen Palmquis
2007:46).
Adalah
Stephen Palquis juga yang berpendapat bahwa filsafat itu mengandung empat unsur
. “Dua unsur pertama bersifat teoritis.Unsur pertama, ialah metafisika,
dan pertanyaan yang menetapkan tugas metafisika adalah “Apa yang
merupakan realitas puncak?”. Unsur kedua, logika. Penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai
“Bagaimana kita memhmi makna kata-kata?”.
“Dua
unsur terkhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat disebut “filsafat
terapan”.Penerapan kata-kata itu mestinya menimbulkan pengetahuan; kata Inggris
“science” berasl dari kata Latin sciens yang berarti “mengetahui”, sehingg kita bisa
menamakan unsur ketiga ini science (ilmu)). Pertanyaan filosofis mengenai ilmu
dalah “Di makah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan
kebebalan?”. Unsur keempat ialah ojtologi, yag mengajukan pertanyaan “Apa makna ada”?.
Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan
phamn kita tentang sifat dasar berbagai benda (umpamanya , Tuhan, manusia;
hewan), atau tipe pengalaman berlainan (contohnya, keindahan, cinta,
kematian)” (Dr. Stephen Palmquis, 2007:6). Apakah yang disebut “falsafat
budaya huma betang” dalam Perda No.16/2008 seperti di atas yang
bertitikberat pada “perilaku” saja, mengandung empt unsur filsafat yang
dikatakan oleh Dr. Stephen Palmquis? Kalau tidak, karena unsur-unsur falsafat
tidak dipenuhinya, lalu bisakah falsafah budaya huma betang” disebut sebagai
falsafah?
Dalam
sejarahnya, istilah “budaya betang” atau “falsafah budaya huma betang“ ini,
muncul dengan latar politik pada tahun 1990-an. Waktu itu “budaya betang”
dirumuskan sebagai “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Di mana bumi
dipijak di situ langit dijunjung”. Perumusan ini jauh lebih miskin lagi dari
perumusan yang dikembangkan oleh Perda No.16/2008.
Pepatah
“di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” lebih di arahkan kepda para
pendatang (waktu itu mendominasi kekuasaan di Kalteng. Penggunaan pepatah ini
menyiratkan tujuan politik menjelang pemilihan Gubernur bahwa “putera
daerah”lah yang mestinya berkuasa, sedangkan pihak pendatang harus menjunjung
langit di mana bumi mereka pijak. Sedangkan pepatah “duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi” merupakan sanggahan terhadap anggapan umum pada waktu itu bahwa
Orang Dayak tidak mampu menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Kalteng. Artinya
perumusan “falsafah budaya betang” pada waktu itu seperti halnya yang terdapat
pada Perda No. 16/2008 sangat berlatarbelakangkan kepentingan politis.
Perumusan-perumusan
yang dilakukan tanpa kajian serius atas kebudayaan dan sejarah Dayak
demikianlah yang berkembang sehingga menjadi pemahaman umum (common
sense), tanpa menyimak apa bagaimana sesungguhnya sari kebudayaan
Dayak itu atau filosofi Manusia Dayak yang sesungguhnya. Studi dan peelitian
budaya serta sejarah malangnya masih belum berkembang benar di daerah yang
mempunyai 31 universitas dan perguruan tinggi ini. Dengan kata lain, telah
terjadi politisasi budaya untuk kepentingan politik praktis.
Ketika
ia menjadi pemahaman umum, sekali pun tidak mencerminkan sari budaya Dayak itu
sendiri, maka terjadilah yang oleh Kusni Sulang “salah kaprah”. Bukan
penjelasan begini yang menyudutkan tapi sebaliknya “salah kaprah” itu yang
secara tidak disadari merupakan senjata budaya penyudutan masyarakat Dayak.
Ketersudutan makin dipermudah oleh kebingungan menghadapi perkembangan
masyarakat Kalteng. Ketersudutan yang kian menjadi, membuat
masyarakat Dayak sangat sensitif dan gampang mengamuk serta mendekat pada jalan
pintas bernama kekerasan, dan berbagai bentuk eskapisme. Masyarakat secara umum
kehilangan orientasi.
Di
hadapan keadaan begini, maka Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah
memandang perlunya ada suatu politik kebudayaan yang tanggap dan aspiratif
untuk penduduk yang sangat heterogen.. Malangnya kebudayaan dianggap tidak
penting dan dipahami secara dangkal di daerah ini. Sedangkan kebudayaan pada
hakekatnya adalah masalah pembangunan manusia. Pembangunan dilakukan oleh dan
untuk manusia. Terabaikannya masalah kebudayaan, melahirkan yang disebut oleh
Kusni Sulang sebagai “kemapanan di atas kerusakan”. Dari bedah buku “Budaya
Dayak: Permasalahan Dan Alternatifnya’’ pada 14 Oktober 2011 lalu,
gejala-gejala di atas memperagakan diri dengan jelas.
Apakah
betang sebagai sebuah bangunan mempunyai filosofis?
Secara
arsitektur, betang dilahirkan oleh untuk pemenuhan kepentingan. Bangunan yang
dibngun untuk menghadapi bahaya banjir;, ancaman binatang buas, ancaman kayau.
Bangunan begini dari sudut pandang arsitektur disebut bangunan vernakuler. Di
samping betang dalam sebuah kampong, léwu, terdapat bangunan-bangunan individual .
Berbeda dengan tongkonan di Tanah Toraja yang secra arsitektur disebut rumah
tradisional. Rtinya bentuk tongkonan mengandung konsep kosmis
Manusia Toraja yag memandang kosmos terdiri dari tiga bagian: Dunia tas,
dunia tengah dan bawah. Karena betang tidak mengdung konsep kosmis begini maka
betang tidak bisa disebut rumah tradisional Dayak.
Lalu
bagaimana kemudian?
Bisa
saja istilah “budaya betang” dipertahankan, tapi ia harus diisi dengan
pengertian baru, sehingga tidak terjadi salah kaprah. Yang lebih kena
barangkali Budaya Dayak dan Filosofi Dayak.Untuk memastikn isinya, penelitian
sungguh-sungguh, menyusunnya secara sistematik, merupakan pekerjaan medesak.
“Kira-kira”, “katanya”, tidak memberikan makna nyata dan tidak bisa
dijadikan landasan untuk membangun Kalteng jadi bermutu. “Kira-kira”,
“katanya”, asing dari kenyataan sesungguhnya, membuat kita bangun tidur masih
di tempat semula. Setelah penelitian, mensistematikkannya, menganalisanya
dengan tajam, diminta pula kerajinan dan keberanian berpikir.
Masalah-masalah hari ini lebih memerlukan kerja otak yang keras daripada
bersandar pada ketajaman mandau. Bagaimana menggunakan kekuasaan di
tangan pun meminta kendali otak dan komitmen keadilan manusiawi. Kemudian,
tidak kalah penting bahwa dapatan itu dimasyarakatkan. Untuk itu, kita perlu
berani mengatakan apa yang oleh orang lain tidak dikatakan. Mengubah common sense
menjadi good
sense, re-humaisasi untuk transformasi sosial pembebasan jauh lebih
utama dari citra semu. Apalagi kita memang hidup dalam apa yang oleh
antropolog Perancis Mac Augé disebut sebagai “la guerre de l’image” (perang citra). ***
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.