MASALAH perjudian
Dadu Gurak (Dagur) dan prostitusi hingga kini masih menjadi fenomena tersendiri
di tengah kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Kota
Palangka Raya. Adalah suatu hal yang nyata terpampang di depan mata, bak
fenomena gunung es. Terlihat kecil namun nyatanya adalah besar dan akan
berbahaya apabila dibiarkan. Ya, bahaya yang tentunya akan menyentuh
sendi-sendi kehidupan manusia.
Jempol saya sempat teracung,
tatkala melihat gencarnya pemberantasan korupsi di Kalteng. Meskipun masih
terkesan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tapi miris, untuk masalah Dagur dan
PSK terkesan sulit. Sehingga, nurani saya pun berontak dan melontar kata,apa susahnya sih?
Bicara tentang perjudian Dadu
gurak (Dagur) perlu diingatkan kembali, dagur bukanlah bagian dari adat Dayak
dan bukan pula tradisi jemaat Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Tidak ada
dianjurkan di Alkitab, tidak ada pula dianjurkan di tata cara dan pasal hukum
adat dayak. Sangat miris saya rasa, bendera hitam berlambang salib putih
identik dengan perjudian dagur.
Secara tegas, pernah disepakati
oleh tokoh adat Dayak, GKE, Masyarakat, Akademisi, Pengamat hukum dan tokoh tua
serta muda. Bahkan instruksi Kapolri Jenderal Pol Sutarman untuk “memerangi’ praktik Dagur itu.
Secara tegas pula, telah diatur
dalam hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303
KUHP, Junto UU No 7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Junto PP nomor 9 tahun
1981 dan Junto Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 5
tanggal 1 April 1981.
Menengok penegakan hukumnya, masih melempem. Sangat
ironis memang. Seakan aparat Kepolisian maupun Pemerintah tak berdaya
memberantas, sepenuhnya. Demikian juga jeratan hukuman di Pengadilan yang
tergolong masih terlalu ringan. Kelompok Gereja pun mulai gerah dan mulai
melakukan penertiban sendiri. Seperti yang dilakukan kelompok GKE Pangarinah
dipimpin Ririn Binti.
Salah sau tokoh Dayak yang gencar
menentang Dagur, Sabran Achmad melalui pemikirannya yang di muat di surat kabar
pun pernah memberikan solusinya kepada aparat. Cukup sederhana, aparat
berwenang ketika melakukan penertiban dagur dengan cara penyamaran dan
bukannya terang-terangan.
“Ya, kalau pakai seragam pasti
saja ketahuan dan mereka bandar dagur itu pasti kabur. Coba, lakukan
pemberantasan seperti cara kerja menciduk bandar narkoba. Yakni dengan cara
menyamar, mengintai dan menciduk,” kata Sabran yang juga Ketua Dewan Adat Dayak
(DAD) Provinsi Kalteng, saat dibincangi penulis kala itu.
Wali Kota HM Riban Satia juga
pernah mencoba bersolusi soal itu, pernah terlontar ide darinya agar dagur
direlokasi saja ke sebuah lokasi. Lagi-lagi, ide yang cemerlang menurut saya
ini mendapat tentangan dari berbagai kalangan dan hingga kini, wacana itu
akhirnya tenggelam begitu saja.
Soal Prostitusi? Belakangan
terakhir ini tak bisa dimungkiri, mengalami perkembangan pesat di Kota cantik
ini khususnya dan juga menjadi fenomena tersendiri. Pasca lebaran kemarin, data
dari Dinsos Palangka Raya, jumlah PSK mengalami peningkatan di lokalisasi Bukit
Sungkai Km 12 Jalan Tjilik Riwut Palangka Raya. Banyak orang mengira, lokasi
prostitusi itu legal alias resmi. Padahal, tidak!
Dalam Perda Kota Palangka Raya No
26 tahun 2002 tentang penertiban dan rehabilitasi terhadap PSK di daerah Kota
Palangka Raya, tidak ada satu pasal pun yang memberikan legalitas lokalisasi
Bukit Sungkai Km 12 tersebut. Begitu juga Kantor Pemko Palangka Raya tidak
pernah mengeluarkan izin sebagai tempat praktek prostitusi alias arena
pelacuran bebas. Bukannya munafik. Tapi, nurani kembali bertanya. Kenapa
dibiarkan, kenapa malah memamah biak??
Selain lokasi itu, pantauan
terakhir di lingkar luar juga semakin menjamur dengan Prostitusi berkedok
warung remang-remang. Bahkan, bangunan baru terus bermunculan di lokasi itu.
Belum lagi, praktek prostitusi lainnya yang terus menggeliat dengan berbagai
modus di Kota ini. Melihat ini, mengingatkan saya dengan sebuah kisah Sodom dan
Gomora yang termuat di Alkitab perjanjian lama.
Kota itu, terkenal prostitusi
bebasnya yang pada akhirnya membangkitkan murka TUHAN yang kemudian
menghancurkannya, dengan cara menurunkan api dari langit. Jangan sampai terjadi
di Kota Kita.
Warga lokal, dalam hal ini
masyarakat Dayak, termasuk saya. Bukannya tak peduli atau masa bodoh atas kedua
topik masalah itu. Tapi untuk sementara mempercayakan penanganannya kepada
aparat dan pemerintah. Namun semuanya ada batasnya. Jangan sampai terjadi, “Lepah Kasabar” (habis
kesabaran) sehingga bertindak dengan cara sendiri.
Kenapa? Karena, khususnya Dagur
dianggap telah menghina dan mencoreng citra Adat Dayak dan Agama (GKE). Jadi,
segera mungkin aparat dan pemerintah harus menemukan dan menerapkan solusi yang
tepat dan akurat.(Kamis_law@yahoo.com)
Penulis : Jemmy Y Kamis SH
Publikasi : Kalteng Pos 6 Oktober 2014 - 16:57:38
Judul Asli : “Lepah Kasabar”
*Telah mendapat
izin dari penulis untuk dipublikasikan.
Post a Comment
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.