Blogger Kalteng

PARADIGMA ILMU ISLAM 1


PARADIGMA ILMU ISLAM
Hidayat Nataatmadja

Ayat 1    :    Alif Laam Miim
Ayat 2    :    Ini Kitab yang  tiada keraguan di dalamnya, pedoman bagi orang yang taqwa.
Ayat 3    :    Yakni yang beriman kepada yang Ghaib, menegakkan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan.
Ayat 4    :    Dan beriman pada wahyu yang Kami turunkan padamu dan sebelum engkau, dan beriman pada Hari Kemudian.
1.        Ayat 1 dapat kita hubungkan dengan pernyataan Rene Descartes, yang menyatakan bahwa “berpikir mulai dari ragu”. Aneh, karena ayat 2 dapat dihubungkan dengan Thomas Kuhn yang menyatakan bahwa sains yang objektif itu harus berpijak pada landasan subjektif yang disebut paradigma yang dapat diinterpretasikan bahwa “berpikir mulai dari yakin”.
a)             Sebenarnya tidak ada yang aneh, karena ragu dan yakin , merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Bahkan ahli fisika meyakini kebenaran fisika dan sekaligus meragukannya? Dengan keyakinan dan keraguan yang berpasangan seperti itulah, sains bisa berkembang.
b)             Hanya Allah yang yakin tanpa keraguan dan hanya binatang yang ragu tanpa keyakinan.
c)             Dapat kita bedakan antara keyakinan dan keraguan awam dengan keyakinan dan keraguan profesional. Keyakinan dan keraguan profesional merupakan pasangan yang tidak terpisahkan, sedangkan keraguan dan keyakinan awam berhadapan sebagai lawan.
d)        Begitu kita menemukan satu komponen paradigma yang kita cari.
2.        Ayat 1 mengandung makna yang lebih dalam lagi, pengakuan yang fitri bahwa “kita tidak tahu” dan mohon kepada Yang Maha tahu untuk diberitahu.
a)            Di hadapan Allah tiada peluang bagi manusia kecuali bersikap sebagai seorang Ummi sebagaimana dicontohkan dalam Kerasulan Muhammad SAW;
b)            Pengakuan tidak tahu merupakan manifestasi kejujuran seorang Al-Amin di hadapan Allah, sekaligus sebagai manifestasi keterbukaan total, seperti dalam kias “Adam a.s yang hidup telanjang di Surga”.
3.        Ayat 2 dapat diartikan sebagai respons bahwa tiada Allah membiarkan manusia dalam keadaan Ummi, dan memberikan Al Qur’an yang tiada keraguan di dalamnya, agar keraguan manusia menemukan sumber keyakinan yang kokoh.
a)             Ayat itu juga memperingatkan bahwa Al Qur’an itu Al Hudan bagi orang taqwa, artinya manusia harus taqwa lebih dahulu untuk menggenal Al Qur’an sebagai Al Hudan. Hal ini juga mengandung peringatan, bahwa mustahil kaum Orientalis mengenal Al Qur’an sebagai Al Hudan. Karena itu, hati-hati belajar kepada kaum Orientalis mengenai agama.
b)             Al Hudan bukan sekedar untuk dibaca, melainkan terutama digunakan untuk membaca dunia yang kita alami.
c)              Al Qur’an tiada mengandung keraguan, tetapi ingat bahwa persepsi kita mengenai Al Qur’an tetap harus kita ragukan, karena ayat 1 tiada dicabut dengan turunya ayat 2.
4.        Ayat 3 langsung menerangkan makna “taqwa” dalam susunan kalimat yang mengandung makna analitik yang luar biasa.
a)            Iman kepada yang ghaib merupakan unsur pertama dari ketakwaan, agar manusia menyadari bahwa dunia empiris itu semu dan dunia ghaib itu nyata hukumnya.
b)            Beriman pada yang ghaib diikuti dengan menegakkan shalat, kias bahwa bukan sembarang yang ghaib yang diimani, melainkan kegaiban yang diimani pada waktu seorang hamba menegakkan shalat yang dikiaskan sebagai mi’rajnya kaum muslimin.
c)            Shalat langsung diikuti dengan tolak-ukur objektif, yakni datngnya rizki yang berlebihan sehingga bisa memberi bantuan kepada yang orang lain yang membutuhkan. Tampak bagaimana shalat diapit oleh anugerah dalam arti gaib maupun empiris agar kita tidak salah menegakkan shalat sekedar mencari kecapaian semata.
5.        Beriman kepada wahyu dan Hari Kemudian muncul sebagai penyempurnaan yang diungkapkan pada ayat 4 sehingga tidak ada gunanya kita beriman kepada wahyu dan Hari Kemudian, seandainya kita alpa menegakkan unsur-unsur ketakwaan yang disebut lebih dahulu.
6.        Bagi seorang pemula tidak soal bagaimana mengungkapkan tolak-ukur ketakwaan, bisa saja urutannya dibalik. Akan tetapi, bagi seorang pemikir susunan ayat dan susunan kata-kata dalam ayat-ayat itu tampak tidak bisa dirubah tanpa mengakibatkan kesalahan interpretasi yang fatal. Ayat-ayat itu tidak menyatakan “beriman kepada Allah”, karena pernyataan itu tidak operasional. Beriman kepada Allah langsung tercermin dalam arti operasional pada ayat 3. Ya, melalui shalat itulah manusia mengenal Allah dalam arti eksperimental.
7.        Ketakwaan itu dapat kita bulatkan dengan rukun Iman dan Rukun Islam, dalam konteks formulais ayat 1 s.d 4 surat Al baqarah.
8.        Coba anda renungkan luas dan dalamnya makna yang terkandung dalam keempat ayat itu sehingga bisa dijadikan landasan bagi semua ilmu yang tidak bisa ditulis dengan tinta tujuh lautan itu. Melalui pengalaman di dunia ilmu, pengenalan anda mengenai peran keempat ayat itu sebagai inti paradigma ilmu akan terus berkembang sehingga mustahil secara tuntas diterangkan dalam sebuah buku tebal sekalipun.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post